2. Hakikat Pendekatan Kontekstual 
a. Pengertian Pendekaan Kontekstual 
Menurut Nurhadi bahwa pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi 2002: 1) Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu merke memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Hasilnya diharapkan lebih bermakna dan bermanfaat. (http://www,google,co,id/search?hl:id&q:pendekatan kontekstual and bt). diunduh tanggal 18 Januari 2008 pukul 10.00 WIB. 211 Peran guru di kelas dengan pendekatan kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya, guru harus memikirkan strategi pembelajaran daripada beceramah di kelas untuk menyampaikan informasi. Dalam hal ini guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk inovasi-inovasi baru bagi siswa dengan cara menemukan sendiri bukan datang dari guru. Proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional. (http://www:padang ekspres.co.id/content(view/7745/129). Diunduh tanggal 18 Januari 2008 pukul 10.00 WIB. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari “menemukan sendiri” bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran seperti pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berlajan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. (Depdiknas 2008, Pembelajaran Kontekstual http://akhmad sudrajat.wordpress.com/ 2008/01/29/ pembelajaran -kontekstual Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi strategi belajar. 

Untuk itu diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan 212 siswa. Sebuah strategi belajar yang mendorong siswa mengkonstrusikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui landasan filosofi kontruktivisme, Contextual Teaching and Learning (CTL) dipromosikan menjadi alternatif strategi pembelajaran yang baru. Melalui strategi Contextual Teaching and Learning (CTL) siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal. Knowledge is constukcted bu humans. Knowledge is not a set of facts, conceptc, or laws waiting to be discovered. It is not something that exist independent of a knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made (Zahorik, 1995). Knowledge is konjectural and fallible. Since knowledge is a construction of humans constanly undergoing new experiences, knowledge can never by stable. The understandings that we invent are always tentative and incomplete. Knowledge is growing through exposure. Understand becomes deeper and stronger if one test is againt new encounters (Zahorik, 1995). Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 
  1. proses belajar, 
  2. transfer belajar, 
  3. siswa sebagai pembelajar, 
  4. pentingnya lingkungan belajar, 
  5. hakikat pembelajaran kontekstual, 
  6. motto, 
  7. kata-kata kunci pembelajaran CTL, dan 
  8. lima eleman belajar yang konstruktivistik. 
Yang dimaksud dengan proses belajar adalah belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Anak belajar mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja dari guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan baru yang dimiliki oleh seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter). Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Proses belajar dapat mengubah struktur 213 otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus digunakan akan mempengaruhi struktur otak yang pada akhirnya mempengaruhi cara orang berperilaku. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Transfer belajar siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. 

Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit. Yang penting bagi siswa tahu untuk apa ia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. Siswa sebagai pembelajar. Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit strategi belajar amat penting. Peran guru membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. Pentingya lingkungan belajar. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton siswa akting, bekerja dan berkarya guru mengarahkan. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. 214 Hakikat pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran afektif yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inkuiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Nurhadi 2005: 105). Sejalan dengan pendapat tersebut Whitelegg dan Parry dalam Sumarwati dan Suyatmi menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu dosen / guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata mahasiswa / siswa dan mendorong mereka membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menjalankan profesinya (Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 2007: 54) Motto pembelajaran kontekstual “Student learn best by actively constructing their own understanding (CTL Academy Fellow, 1999 dalam Nurhadi, 2005: 105)(cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya). Kata-kata kunci pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL): (1) real world learning, (2) mengutamakan pengalaman nyata, (3) berpikir tingkat tinggi, (4) berpusat pada siswa, (5) siswa aktif kritis dan kreatif, (6) pengetahuan bermakna dalam kehidupan, (7) dekat dengan kehidupan nyata, (8) perubahan perilaku, (9) siswa praktik bukan menghafal, (10) learning bukan teaching, (11) pendidikan 215 (education) bukan pengajaran (instruction), (12) pembentukan manusia, (13) memecahkan masalah, (14) siswa akting guru mengarahkan bukan guru akting siswa menonton, (15) hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes. (Nurhadi, 2005: 105-106). Strategi pengajaran yang berasosiasi dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah cara belajar siswa aktif, pendekatan proses, life skill education, authentik instruction, inquiry based learning, cooperatif learning dan service learning. Lima eleman belajar yang konstruktivistik, menurut Zahorik dalam E.Mulsa, (2006: 138) (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), (2) pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya, (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu, (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, (4) mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), dan (5) melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. (Elaine B. Johnson dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” memberi definisi CTL sebagai berikut : “The CTL system is an educational process that aims to help student see meaning in the academic material there are studying by concing academic subjects the with the context their daily lives, that is with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To archieve this aim, the system encompasses the following eight component: making meaningful connections, doing significant work, 216 self-regulative learning, reaching high standards, using authentic assessment” (Elaine B. Johnson, 2006: 67). Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademi yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut : membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pekerjaan yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan penilaian autentik. CTL adalah sitem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang terselubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Seperti halnya biola, cello, clarinet, dan alat musik yang lain dalam sebuah orkestra yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda yang secara bersama-sama menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika digunakan secara besama-sama, memampukan para siswa yang membuat hubungan menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat materi akademik. (Elaine B. Johnson, 2005: 65). James Le Marquad mengemukakan bahwa aplikasi pembelajaran kontekstual di dalam kelas di Amerika pertama kali dilakukan oleh John Dewey. Pendapatnya 217 tentang pembelajaran kontekstual terdapat dalam Yulia Krisnawati dan Suwarsih sebagai berikut : “People have used such term as discovery learning, experiential learning, real world education to mean similar ideas ... “ (jurnal penelitian dan evaluasi, 2004: 55). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada pemberdayaan siswa secara aktif untuk dapat menemukan dan membangun pengetahuan yang baru dengan cara mengaitkan dunia nyata siswa dalam berbagai bentuk kegiatan agar siswa mengalami sendiri. b. Komponen Utama Pendekaan Kontekstual Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran efekti yaitu: konstruktivisme (constructivisme), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Nurhadi, 2005: 105). Ketujuh komponen tersebut lebih lanjut diuraikan sebagai berikut : 
a) Konstruktivisme (Constructivisme) Konstruktisme merupakan landasan berpikir atau filosofi pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, tidak sekonyongkonyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus menemukan dan menstransformasikan suatu informasi itu dalam situasi lain. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut. Pengetahuan tumbuh dan berkembang 218 melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Secara sederhana konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita itu merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Seseorang yang belajar itu membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru mereka) dan terus menerus (Paul Suparno 2006: 11). 
b) Bertanya (questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Dengan bertanya dapat menggali informasi, membangkitkan respon, mengecek pemahaman, memfokuskan perhatian, mengetahui hal-hal yang sudah diketahui dan menyarkan kembali pengetahuan siswa. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran CTL. Bagi guru dengan bertanya akan mendorong, membuktikan dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa dengan bertanya untuk mendapatkan informasi, menginformasikan apa yang sudah siswa ketahui, dan dapat mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Depdiknas, 2003 : 13-14). Untuk mencapai tujuan di atas terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan guru. Dalam upaya meningkatkan partisipasi siswa dalam proses atau kegiatan pembelajaran, guru perlu menunjukkan sikap kehangatan dan keantusiasan, baik pada waktu mengajukan pertanyaan maupun ketika menerima jawaban siswa. Dalam kaitan ini kemampuan guru dalam memberikan penguatan dan penghargaan baik secara verbal maupun non verbal sangat dibutuhkan. Berkenaan dengan strategi bertanya, beberapa hal kebiasaan yang perlu dihindari dalam bertanya. Kebiasaan itu adalah (a) mengulangi pertanyaan sendiri, (b) mengulang jabawan siswa, (c) menjawab pertanyaan sendiri, (d) 219 pertanyaan yang memancing jawaban serentak, (e) pertanyaan ganda, (f) menentukan siswa tertentu untuk menjawab. 

c) Menemukan (inquiry) Menenemukan merupakan kegiatan inti dari CTL. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Inquiry sering dipertukarkan dengan discovery. Sund berpendapat bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip sedangkan inquiry adalah proses perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam (B. Suryo Subroto, 2002: 193). Dari pendapat itu dapat dijelaskan bahwa inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya saja proses mental dalam discovery siswa mengamati sesuatu obyek, maka memasuki proses mental dalam inquiry anak tidak hanya sekedar mengamati obyek tetapi juga mampu menemukan data dan menarik kesimpulan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penemuan itu merupakan metode dalam proses belajar mengajar yang mengkaryakan siswa untuk menemukan sendir pengetahuan dan keterampilan dari bahan yang dipelajari. Pengtahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta yang diberikan oleh guru. Siswa diharapkan menemukan sendiri apapun materinya. Dalam usaha siswa untuk menemukan itu guru hendaknya menerapkan langkah-langkah dalam kegiatan menemukan antara lain: (1) mengetahui masalah yang dibahas, (2) mengamati atau melakukan observasi, untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, (3) menganalisis dan menyajikan dalam bentuk tulisan, gambar atau karya yang lain, (4) mengkomunikasikan dengan menyajikan hasil karya dengan teman sekelas, guru 220 atau orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta koreksi teman melakukan refleksi dan menempelkan karyanya itu pada dinding kelas (Depdiknas, 2003: 12-13). Namun perlu dingat, betapa hebatnya suatu metode tetap memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan metode inquiry antara lain: pengetahuan yang diperoleh siswa sangat kuat dan mendalam, membantu siswa mengembangkan keterampilan dan proses kognitif siswa, membangkitkan gairah pada siswa karena dengan jerih payahnya mereka berhasil menemukan, dan memperkuat rasa percaya diri. Sedangkan kelemahannya, perlu persiapan mental untuk cara belajar, kurang tepat untuk mengajar kelas besar karena waktu terbuang banyak untuk beberapa siswa saja, tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang berarti (B. Suryo Subroto, 2002: 200-202). Senada dengan B. Suryo Subroto Nurhadi (2005: 122-123) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan penemuan (inquiry) merupakan suatu pilar penting dalam pendekatan konstruktivistik yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan atau inquiry, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Penganjur Pembelajaran dengan Basis Inquiry menyatakan idenya sebagai berikut: kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan suatu perpustakaan hidup tentang bahan kajian, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berpikir ... untuk diri mereka sendiri, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang sejarawan, mereka turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui 221 adalah suatu proses bukan suatu produk. Belajar dengan penemuan dapat diterapkan dalam banyak mata pelajaran. Keuntungan menggunakan pendekatan inquiry memacu keinginan siswa untuk mengetahui, memotivasi siswa untuk melanjutkan pekerjaannya hingga menemukan jawaban. Siswa juga memecahkan masalah secara mandiri dan memiliki keterampilan berpikir kritis karena mereka harus selalu menganalisis dan menangani informasi. Inquiry adalah seni dan ilmu bertanya dan menjawab. Selama proses inquiry berlangsung, seorang guru dapat mengajukan pertanyaan atau mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan bersifat open – ended memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki sendiri dan mencari jawaban sendiri (tetapi tidak hanya satu jawaban yang benar). Manfaat inquiry memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang nyata dan aktif kepada siswa. Siswa diharapkan mengambil inisiatif. Mereka dilatih bagaimana memecahkan masalah membuat keputusan dan memperoleh keterampilan. Inquiry memungkinkan siswa dalam berbagai tahap perkembangannya bekerja dengan masalah-masalah yang sama dan bahkan bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah. Setiap siswa harus memainkan dan memfungsikan talentanya masing-masing. 
d) Masyarakat Belajar (learning community) Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terdapat proses komunikasi dua arah dan adanya hubungan dialogis. Kegiatan saling belajar bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada yang menganggap paling tahu dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. 222 Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke yang belum tahu (Depdiknas, 2003: 15). Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen. Menurut John Dewey, sekolah adalah miniatur masyarakat sudah selayaknya anak didik belajar mengenai tata cara bermasyarakat dalam konteks-konteks yang sesungguhnya semasa di sekolah. (Anita Lie, 2004: 15). Mendasarkan pemikiran dari John Dewey tersebut maka masyarakat belajar dapat diterapkan dengan metode cooperative learning atau pembelajaran gotong royong. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk membina pembelajaran siswa dalam mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan pembelajaran yang lain. Untuk itu ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru yakni: (1) mengelompokkan siswa secara heterogen, (2) menimbulkan semangat gotong royong, dan (3) penataan ruang kelas (Anita Lie, 2004: 38). Uraian lebih lanjut mengenai ketiga hal tersebut akan dijelaskan berikut ini. Selama ini telah menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah unggulan yang ingin menonjolkan kelas khusus yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat. Kelas ini yang sekarang terkenal dengan kelas akselerasi. Pengelompokan semacam ini memang sangat disukai karena sangat praktis dan mudah pengadministrasiannya. Selain itu juga mudah dalam pengajarannya namun dibalik manfaat itu ada dampak negatifnya. Pertama, hal itu bertentangan dengan misi pendidikan, yang tidak bisa mencerminkan kemampuan siswa secara individu. Kedua, oleh John Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur 223 masyarakat, karena itu dalam masyarakat kelas mencerminkan keanekaragaman. Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran kooperatif. Hal ini karena beberapa alasan yaitu dengan kelompok yang heterogen memberi kesempatan siswa saling mendukung dan meningkatkan relasi interaksi (Anita Lie, 2004: 39-44). Agar kelompok dapat secara efektif dalam proses pembelajaran maka diperlukan semangat gotong royong. Kelompok merasa bersatu jika masingmasing anggota kelompok mengenalkan keunikan rekan-rekannya. Hal lain yang terpenting adalah penataan ruang kelas. Bangku perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Siswa bisa melihat rekan-rekan kelompoknya. Kelompok bisa berdekatan tetapi tidak mengganggu kelompok lain. Dalam kelas CTL siswa tidak harus selalu duduk menghadap papan tulis. Siswa bebas begerak dalam rangka menyelesaikan tugasnya. 
e) Pemodelan (Modelling) Dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa guru bukanlah satu-satunya model dalam kelas. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Misalnya jika ada siswa yang sudah dapat menguasai kemampuan terlebih dahulu, ditunjuk untuk menjadi model bagi temannya. Atau guru bisa mendatangkan model dari luar misalnya tukang kayu, pengrajin, sastrawan, dan para ahli lainnya yang mau dimintai untuk bekerja sama (Depdiknas, 2003: 16). Dalam pembelajaran guru perlu memberi contoh sebelum siswa melaksanakan tugas. Ketika guru mendemonstrasikan sesuatu, siswa mengamati dengan penuh perhatian. Dengan begitu diharapkan siswa tahu. Inilah yang 224 disebut pemodelan. Ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa sebelum siswa berlatih sendiri. 
f) Penilaian Otentik (Authentic Assessment) Dalam CTL, penilaian tidak dilaksanakan pada akhir periode, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran (Sarwiji Suwandi, 2004: 33). Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa menggambarkan perkembangan belajar siswa. Hal ini perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Apabila ditemui siswa mengalami hambatan, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat. Data yang dikumpulkan melalui penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran (Nurhadi, 2005: 168). Dengan demikian kemajuan belajar dinilai dari proses bukan melulu hasil. Siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Prinsip utama assessment dalam KTSP tidak hanyak menilai apa yang diketahui siswa, tetapi juga apa yang dapat dilakukan siswa. Penilaian ini mengutamakan kualitas hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tugas. Tes bukan merupakan satu-satunya alat penilaian. Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai: pekerjaan rumah, kuis, presentasi dan hasil karya. Ciri penilaian yang otentik antara lain sebagai berikut : 
  1. Mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk. 
  2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. 
  3. Menggunakan berbagai cara dan sumber. 225 
  4. Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. 
  5. Tugas yang diberikan kepada siswa berhubungan dengan keseharian kehidupan siswa. 
  6. Menekankan ke dalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasaannya. 
Ketentuan pokok yang harus ditaati dalam menerapkan penilaian otentik adalah sebagai berikut : 
  1. Penilaian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran bukan terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from instuction). 
  2. Penilaian mencerminkan masalah dunia nyata (rel world problems ) bukan masalah dunia sekolah (school work king of problems) 
  3. Penilaian menggunakan berbagai ukuran, metode, dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar. 
  4.  Penilaian bersifat holistik yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan sensori motorik. Alat penilaian yang disarankan adalah sebagai berikut : 
  • Hasil karya (product) : berupa karya seni, laporan, gambar, bagan, tulisan, dan benda. 
  • Penugasan (project) yaitu bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menyelesaikan sebuah proyek. 
  • Unjuk Kerja (performance) yaitu penampilan diri dalam kelompok maupun individual dalam bentuk kedisiplinan, kerja sama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum. 
  • Test Terlulis (paper and pencil test), yaitu penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, atau akhir program. 226 
  • Kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), yaitu kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda, karya tulis, isian, tabel-tabel, dan lainlain. Beberapa sumber data penelitian otentik: proyek/kegiatan dan laporan; hasil tes tulis (ulangan harian, semester, atau akhir jenjang pendidikan); portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun); pekerjaan rumah; kuis; karya siswa; presentasi atau penampilan siswa; demonstrasi; laporan; jurnal; karya tulis; kelompok diskusi; dan wawancara. g) Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang segala sesuatu yang sudah dilakukan. 

Pada saat itu siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajarinya sebagai pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Siswa memperluas pengetahuan yang dimilikinya melalui konteks pembelajaran yang diperluas sedikit demi sedikit. Sementara guru membantu menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru itu. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Bukti bahwa telah dilakukannya refleksi di akhir pembelajaran dapat berupa pernyataan langsung siswa tentang apa yang telah diperoleh hari ini, catatan di buku/ jurnal, kesan dan saran, hasil karya dan diskusi antara teman. 227 c. Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Menulis di Sekolah Dasar Pembelajaran merupakan aktualisasi kurikulum yang menuntut keakftifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan (E. Mulyasa, 2006: 117). Guru harus menguasai prinsipprinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil-hasil belajar peserta didik, serta memilih dan menggunakan strategi pembelajaran. Guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaan. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa pembelajaran berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Karena itu guru harus mendampingi peserta didik menuju kesuksesan belajar atau penguasaan sejumlah kompetisi tertentu. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik pada umumnya mewakili taraf perkembangan yang berbeda, yang menuntut materi yang berbeda pula. Selain itu aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi konsep, belajar, sikap, dan seterusnya Gagne dalam E. Mulyasa (2006: 117). Perbedaan tersebut menuntut pembelajaran yang berbeda, sesuai dengan jenis belajar yang sedang berlangsung. Aspek didaktis menunjuk pada pengaturan belajar peserta didik oleh guru. Pembelajaran efektif dan bermakna dapat dilakukan dengan prosedur pemanasan dan apersepsi, eksplorasi, konsolodasi pembelajaran , pembentukan kompetensi, sikap dan perilaku, dan penilaian formatif. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teching and Learning) yang sering disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang dapat digunakan mengefektifkan pembelajaran. 228 Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning - CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kedalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar (Nurhadi, 2004: 103). Menurut pandangan Nurhadi (2005: 106) penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar langkah-langkahnya sebagai berikut. 
  1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya! 
  2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik! 
  3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya! 
  4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)! 
  5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran! 
  6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan! 
  7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara! 
Nurhadi memberikan contoh langkah-langkah pembelajaran kontekstual sebagai berikut. Langkah-langkah/ skenario pembelajaran yang dilakukan adalah pengorganisasian siswa, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian. Pada langkah pengorganisasian, siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok kecil, tiap-tiap kelompok anggotanya empat sampai dengan lima orang. Setelah terbentuk kelompokkelompok kecil, pembelajaran segera dimulai. Pertemuan pertama, mengadakan tanya jawab tentang materi pelajaran, penjelasan penggunaan alat, melakukan kegiatan percobaan, mengamati dan melaporkan hasil pengamatan, menyimpulkan hasil kegiatan, dan memberi contoh terapan. Pada pertemuan kedua, mengadakan tanya jawab tentang materi pelajaran, penjelasan penggunaan alat, melakukan 229 kegiatan percobaan, mengamati dan melaporkan hasil pengamatan, menyimpulkan hasil kegiatan, dan memberi contoh terapan. Alat dan bahan disiapkan untuk mengefektifkan pembelajaran. Kemudian melakukan penilaian. Penilaian berupa penilaian kinerja, dan penilaian produk. Kemampuan profesional yang harus dikuasai seorang guru bahasa Indonesia, pada garis besarnya, yaitu (1) menguasai materi pelajaran, (2) mampu merencanakan program belajar mengajar, (3) mampu mengelola proses belajar mengajar, (4) mampu melaksanakan proses belajar mengajar, (5) mampu menggunakan media dan sumber belajar, (6) mampu melaksanakan evaluasi prestasi siswa, (7) mampu menyusun program bimbingan dan penyuluhan, (8) mampu mendiagnose kesulitan belajar siswa, (9) mampu melaksanakan administrasi guru. Menurut E. Mulyasa (2006: 73-80) seorang guru yang akan melaksanakan kurikulum 2004 diharapkan memiliki kemampuan mengembangkan persiapan mengajar, melaksanakan pembelajaran, dan menguasai sistem evaluasi. Persiapan mengajar pada hekikatnya merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan. Fungsi persiapan mengajar adalah mendorong guru lebih siap melaksanakan pembelajaran dengan perencanaan yang matang. Oleh karena itu, setiap akan melakukan pembelajaran guru wajib memiliki persiapan, baik persiapan tertulis maupun persiapan tidak tertulis. Selain itu, persiapan mengajar berfungsi untuk mengefektifkan proses pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal: pre tes, proses, dan post tes. (E. Mulyasa, 2006: 126-131). Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai berikut : 230 
1. Pre Tes (tes awal) Pre tes ini memiliki banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Fungsi pre tes ini antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut : 
  • Untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, karena dengan pre tes maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus mereka jawab/kerjakan. 
  • Untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan. 
  • Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik mengenai bahan ajaran yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran. 
  • Untuk mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan-tujuan mana yang telah dikuasai peserta didik, dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus. 
2. Proses Proses di sini dimaksudkan sebagai kegiatan ini dari pelaksanaan proses pembelajaran, yakni bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan melalui modul. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, untuk memenuhi tuntutan tersebut pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan yang tinggi, semangat yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, pekembangan masyarakat, dan pembangunan. 
3. Post Tes 231 Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post tes. Fungsi post tes antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut : 
  1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan antara hasil pre tes dan post tes. 
  2. 2Untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh peserta didik, serta kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya. Sehubungan dengan kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasai ini, apabila sebagian besar belum menguasainya maka perlu dilakukan pembelajaran kembali (remedial teaching). 
  3. 3Untuk mengetahui peserta didik-peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remidial, dan peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan pengayaan, serta untuk mengetahui tingkat kesulitan dalam mengerjakan modul (kesulitan belajar). 
  4. Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap komponenkomponen modul, dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. 
terdiri dari delapan komponen: membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, berpikir kritis dan kreatif membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian yang autentik (Elaine B. Johnson, 2002: 15) Demi CTL, ada sejumlah strategi yang masih ditempuh. Ketujuh strategi/ayat pendidikan kontekstual tersebut meliputi, pengajaran berbasih problem; menggunakan konteks yang beragam; mempertimbangkan kebhinekaan siswa; memberdayakan siswa untuk belajar sendiri; belajar melalui kolaborasi; menggunakan penilaian autentik; dan mengejar standar tinggi (Elaine B. Johnson, 2006: 21-22). Berbeda dengan Elaine B. Johnson, Nurhadi (2005: 105) mengemukakan pembelajaran berbasis CTL, melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). 232 Nurhadi dalam E. Mulyasa (2006: 137-138) mengemukakan dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi yang pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memugkinkan peserta didik belajar. 

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa dalam diri peserta didik (internal), dan dari luar dirinya atau lingkungan di sekitanya (eksternal). Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual secara keseluruhan. Pendapat Nurhadi dalam E. Mulyasa (2006: 138) tentang lingkungan belajar dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”. Pembelajaran harus berpusat pada “bagaimana siswa” menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Zahorik dalam E. Mulyasa (2006: 138) mengungkapkan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, sebagai berikut : 
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik. 
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagian secara khusus (dari umum ke khusus). 
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara : 
  • menyusun konsep sementara. 
  • Menyusun sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain. 
  • Merevisi dan mengembangkan konsep. 233 
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apaapa yang dipelajari. 
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Sistem pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah tentang pencapaian intelektual yang berasal dari partisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, pengalaman yang memperkuat hubungan antara sel-sel otak yang sudah ada dan membentuk hubungan saraf. Elaine B. Johnson (2006: 181). Kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika filosofi belajarnya adalah konstruktivisme, selalu ada unsur bertanya, pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari kegiatan menemukan, terbentuk masyarakat belajar, ada model yang ditiru, dan dilakukan penilaian sebenarnya. 

Nurhadi (2005: 107) berpendapat bahwa kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual mempunyai ciri-ciri pembelajarannya memberikan pengalaman nyata, ada kerja sama, saling menunjang, suasananya gembira, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan kritis, menyenangkan, tidak memosankan, sharing dengan teman, dan guru kreatif. Pendekatan kontekstual tidak hanya diterapkan di kelas khusus yang jumlah peserta didiknya sedikit, tetapi juga dapat diterapkan di kelas yang peserta didiknya banyak/besar. Sri Harjani (2005: 155-156) dalam tesisnya yang berjudul “Pengembangan Kemampuan Membaca dan Menulis Permulaan dengan Pendekaan Kontekstual” menyatakan bahwa pendekatan kontekstual memberi pengaruh positif terhadap proses pembelajaran. Penerapan pendekatan kontekstual dalam setiap siklusnya menunjukkan peningkatan kemampuan yang dicapai oleh siswa. Secara keseluruhan siswa yang tadinya belum bisa membaca dan menulis, setelah mengalami proses 234 pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa mampu membaca dan menulis kalimat sederhana. Penerapan pendekatan kontekstual yang kuncinya mengutamakan pengalaman nyata diterapkan dalam pembelajaran menulis, yaitu menulis pengalaman. 

Hal ini sesuai dengan pendapat Sudartomo M.yang dikutip Pangesti Wiedarti (2005: 9-11) tentang pembelajaran menulis, mengemukakan bahwa anak dapat diajak menuliskan aneka fenomena yang dekat anak termasuk pengalamannya sendiri yang pasti dikuasai. Sudartomo M. Mengimplementasikannya ke dalam bentuk surat kepada Tuhan dan buku harian. Buku harian memiliki potensi sebagai mitra, belantara, dan lautan tempat mencurahkan rasa sukacita, dukacita, kesal, cemburu, puas, kecewa, sesal, dan sebagainya.
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: