Articles by "desa"
Showing posts with label desa. Show all posts
no image
EVALUASI PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI DESA SIDOREJO KECAMATAN PENAJAM KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA
Abstrak
Mitra Puspita Sari, Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. Bimbingan Ibu Dr. Fajar Apriani, S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Santi Rande, S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing II. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo dan untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif. Fokus penelitian dalam Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajm Paser Utara adalah Layanan Program, Pencapaian Target Program, dan Strategi Pelaksanaan Program. Sumber data yaitu Kepala Desa Sidorejo Bapak Muhaji selaku key informan, Kaur Pembangunan Ibu Eka Agus Riana beserta para staf kantor Desa Sidorejo dan masyarakat Desa Sidorejo selaku informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Work Research) dengan teknik: observasi, wawancara, dokumentasi. Analisis data yang digunakan yaitu alat analisis data model interaktif.

Kesimpulan dari Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara yaitu evaluasi program pembangunan infrastruktur telah berjalan dengan cukup baik, dimana layanan pada program pembangunan hampir secara keseluruhan telah berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan, pencapaian target program pembangunan infrastruktur telah mencapai target yang ditentukan meskipun baru sebagian masyarakat yang dapat menikmati hasil pembangunan, serta dalam strategi pelaksanaan program pembangunan cukup berjalan dengan baik dengan menggunakan strategi swakelola desa dengan bekerja secara mandiri. 
Kata Kunci : Evaluasi Program dan Pembangunan Infrastruktur

PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan suatu usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa dan negara serta pemerintah saat ini dalam rangka pembinaan bangsa. Terkait dengan pembangunan infrastruktur, pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara merujuk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai revisi dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, mengakui adanya otonomi yang dimiliki desa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara membuat suatu kebijakan tentang pembangunan yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perencanaan Pembangunan Desa

Evaluasi program dimaksudkan untuk menganalisis, menilai, dan melihat pencapaian target program. Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai yang dijadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan. 

Namun pembangunan tersebut belum semua dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan sehingga target dari dari program pembangunan yang direncanakan belum dapat dilayani secara maksimal dan merata, hal ini dapat dilihat dari program pembangunan infrastruktur yang ada di Desa Sidorejo seperti:
  1. Jalan Usaha Tani yang sebagian keadaannya masih berupa jalan tanah biasa sehingga ketika musim hujan kondisinya menyulitkan petani untuk melakukan kegiatan pertanian. Serta beberapa jalan areal pemukiman masyarakat masih berupa jalan setapak dan sebagian masih berupa tanah biasa atau tanah urug.
  2. Drainase, di beberapa titik lokasi pemukiman masyarakat masih terjadi genangan air dan saluran parit tidak digunakan secara optimal sebagai saluran pembuangan air oleh masyarakat desa. 
  3. Ketersediaan air bersih yang belum memadai untuk kebutuhan seluruh masyarakat karena masih banyak masyarakat yang mengandalkan air hujan serta harus membeli air bersih dengan harga yang cukup mahal sementara daya beli masyarakat masih terbatas
Adanya kendala dana dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur merupakan salah satu faktor yang membuat pemerintah desa belum mampu menyelesaikan program pembangunan infrastuktur sesuai waktu yang ditentukan dan tepat sasaran. Hal ini membuat program tersebut belum dapat dirasakan dan menghasilkan perubahan yang diharapkan oleh masyarakat.

Berdasarkan permasalahan yang dijelaskan di atas, peneliti ingin mengkaji tentang evaluasi proses dari program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo karena program pembangunan infrastruktur sesuai dengan RPJM Desa belum semua dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan serta target dari program pembangunan tersebut belum dapat dilayani sepenuhnya sehingga secara menyeluruh belum mengalami perubahan secara optimal dalam pembangunan. Berdasarkan latar belakang inilah, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian yang berjudul “Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara “.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang tertera di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
  1. Bagaimana Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara?
  2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengevaluasi program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara.
  2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. 
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini yang dilaksanakan baik untuk penulis maupun pihak lain yang memerlukannya antara lain:
  1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian-kajian dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya tentang pembangunan infrastruktur di daerah. 
  2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi instansi di Kantor Desa Sidorejo dan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara dalam mengevaluasi program pembangunan Infrastruktur.
KERANGKA DASAR TEORI
Pengertian Kebijakan Publik
Menurut Agustino (2006:8) mengembangkan beberapa karakteristik utama definisi kebijakan publik. Pertama, pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Ketiga, kebijkaan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat bukan apa yang maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan. Keempat, kebijakan publik dapat membentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. 

Dari definisi kebijakan publik yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan atau tindakan-tindakan yang dibuat pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sebagai alternatif dalam memecahkan masalah untuk memenuhi kepentingan publik guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Tahap-tahap Kebijakan Publik
Untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahapan. Menurut Winarno (2012:35-37) tahapan-tahapan kebijakan publik adalah sebagai berikut:
1. Tahap Penyusunan Agenda
Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan sebagai fokus pembahasan atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap Formulasi Kebijakan 
Dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. 
3. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. 
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. 
5. Tahap Evaluasi Kebijakan 
Pada tahap ini kebijakan yang telah diljalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. 

Berdasarkan penjelasan di atas tentang tahapan kebijakan dapat disimpulkan tahapan kebijakan publik tersebut terbagi menjadi: 
  1. tahap penyusunan agenda yaitu menempatkan masalah ke dalam agenda publik; 
  2. tahap formulasi kebijakan yaitu mendefinisikan masalah-masalah kemudian dicari pemecahan masalah terbaik; 
  3. tahap adopsi kebijakan yaitu dari berbagai alternatif kebijakan yang ada dipilih salah satu alternatif kebijakan untuk diadopsi; 
  4. tahap implementasi kebijakan yaitu keputusan alternatif yang telah diambil kemudian diimplementasikan oleh badan-badan administrasi pemerintah; 
  5. tahap evaluasi kebijakan yaitu kebijakan yang telah dilaksanakan kemudian dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauhmana keberhasilan dari suatu kebijakan dalam memecahkan masalah.
Pengertian Evaluasi
Menurut Wirawan (2011:7) evaluasi sebagai riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi.

Dari definisi evaluasi di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses mengumpulkan, menganalisis dan mengkaji informasi untuk menentukan alternatif dalam mengambil keputusan kebijakan dari keseluruhan program guna menyelesaikan masalah dan merencanakan kegiatan akan datang mengenai suatu objek evaluasi yang telah ditentukan. 

Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut Indiahono (2009:145) evaluasi kebijakan publik adalah menilai keberhasilan atau kegagalan kebijakan berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan. Indikator-indikator untuk mengevaluasi kebijakan biasanya merujuk pada dua aspek: aspek proses dan hasil. Aspek proses menunjuk bahwa apakah selama implementasi program, seluruh pedoman kebijakan telah dilakukan secara konsisten oleh para implementor di lapangan? Aspek hasil menunjuk apakah kebijakan yang diimplemntasikan telah mencapai hasil seperti yang telah ditetapkan (ouput dan outcomes). 

Dari pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas tentang evaluasi kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan kegiatan menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan mencakup substansi, implementasi dan dampaknya.

Pengertian Evaluasi Program
Menurut Arikunto (2009:325) evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Dengan kata lain, evaluasi program dimaksudkan untuk melihat pencapaian target program. Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang dilakukan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan.

Dari definisi evaluasi program yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara sistematik dengan mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk melihat seberapa jauh tingkat keberhasilan program yang menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan dasar program telah membawa perubahan sesuai yang diharapakan dan ditetapkan.

Tujuan Evaluasi Program
Menurut Arikunto (2009:326) evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya.

Dari tujuan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk menilai dan melihat secara sistematis pencapaian target program sudah dilaksanakan dan sesuai dengan standar yang ditentukan agar dapat digunakan dalam mengambil keputusan selanjutnya mengenai program.

Jenis Evaluasi Program
Menurut Wirawan (2011:17) evaluasi program dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Evaluasi proses (process evaluation), evaluasi proses meneliti dan menilai apakah intervensi atau layanan program telah dilaksanakan seperti yang direncanakan dan apakah target populasi yang direncanakan telah dilayani. Evaluasi ini juga menilai mengenai strategi pelaksanaan program.
  2. Evaluasi manfaat (outcome evaluation) evaluasi manfaat meneliti, menilai dan menentukan apakah program telah menghasilkan perubahan yang diharapakan.
  3. Evaluasi akibat (impact evaluation) evaluasi akibat ini meneliti dan menilai apakah program telah menghasilkan akibat atau dampak yang membawa perubahan baik atau buruk dari suatu program.
Ukuran atau Indikator Evaluasi Program
Vedung (dalam Wirawan, 2011:9) mengemukakan empat kriteria merit dalam evaluasi program sebagai berikut: 1)Efektif, 2)Produktivitas, 3)Efisiensi (cost-benefit), 4)Efisiensi (cost-effectiviness). 

Pengertian Pembangunan
Menurut Haryono (2002:17) pembangunan adalah merupakan suatu proses konsep perubahan sosial yang berlangsung terus-menerus menuju kearah perkembangan dan kemajuan serta memerlukan masukan-masukan yang menyeluruh dan berkesinambungan dan merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tujuan negara.

Dari pendapat para ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan merupakan proses yang dilakukan secara terus-menerus menuju kearah perubahan yang lebih baik sesuai dengan kehendak yang ingin dicapai oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilaksanakan secara sadar dan terencana mewujudkan pertumbuhan dan perubahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.

Pengertian Infrastruktur
Menurut Grigg (dalam Kodoatie, 2005:8), infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyedikan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung, dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem. Dimana infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Dari penjelasan tersebut di atas jadi dapat disimpulkan bahwa sistem infrastruktur merupakan hal yang selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat baik di dalam sistem sosial maupun sistem ekonomi guna untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara fisik dengan menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan dan fasilitas publik lainnya yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Hubungan Pembangunan dengan Perencanaan Infrastruktur
Rekayasa pembangunan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang berdasarkan analisis dari berbagai aspek untuk mencapai sasaran dan tujuan dengan hasil seoptimal mungkin. Sistem infrastruktur terbagi menjadi bermacam-macam sub-sistem. Tahapan mulai dari studi, perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan sekaligus pemeliharaan. Infrastruktur sendiri dalam sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus menjadi penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, infrastruktur perlu dipahami sebagai dasar-dasar dalam mengambil kebijakan (Kodoatie, 2005:102).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan pembangunan dengan perencanaan infrastruktur merupakan sebuah sistem perubahan menuju kearah yang lebih baik sebagai sistem yang menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus menjadi penghubung dengan sistem lingkungan yang ada di dalam sistem ruang yang pada akhirnya membangun perkembangan ekonomi suatu kawasan wilayah.

Pengertian Desa 
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.72 Tahun 2005 tentang Desa, yaitu desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas tentang desa peneliti menyimpulkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang menetap pada suatu wilayah yang mempunyai sosial budaya yang sama, asal usul yang istimewa dan saling berinteraksi serta mempunyai pengaruh timbal balik terhadap daerah-daerah lainnya.

Pembangunan Desa 
Menurut Siagian (2003:108), mendefinisikan bahwa pembangunan desa adalah keseluruhan dari proses yang berupa rangkaian usaha-usaha yang dilakukan dalam lingkungan desa dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa serta memperbesar kesejahteraan dalam desa.

Dari pendapat para ahli di atas tentang pembangunan desa, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembangunan desa adalah keseluruhan rangkaian kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat di dalam lingkungan desa dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan sosial.

Definisi Konsepsional
Berdasarkan beberapa teori dan konsep yang dikemukakan oleh beberapa ahli, maka yang menjadi konsep dalam penelitian ini dari “Evaluasi program pembangunan infrastruktur merupakan rangkaian kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan dari tindakan yang dibuat oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sebagai alternatif dari suatu program yang telah dilaksanakan seperti yang direncanakan dan mencapai target populasi yang direncanakan yang merujuk pada penyediaan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik dalam lingkup sosial dan ekonomi.”

Evaluasi yang dilakukan penulis dalam penelitian ini merujuk pada evaluasi terhadap proses dari program pembangunan infrastruktur di lokasi penelitian, yang berdasarkan teori Wirawan (2011:17) meliputi penilaian atas layanan program, pencapaian target program dan strategi pelaksanaan program.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian 
Dalam penelitian ini jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu jenis penelitian yang berusaha memaparkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya dengan tujuan menggambarkan serta menjelaskan tentang variabel yang diteliti.

Fokus Penelitian 
Yang menjadi fokus dalam penelitian “Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara” adalah:
1. Evaluasi program pembangunan infrastruktur: 
  • Layanan program
  • Pencapaian target program
  • cStrategi pelaksanaan program 
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Program Pembangunan Infrastruktur di Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara.

Sumber dan Jenis Data
Setiap penelitian memerlukan data karena data merupakan sumber informasi yang memberikan gambaran utama tentang ada tidaknya masalah yang akan diteliti. Sumber data penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder

Data Primer yaitu data yang diperoleh melalui narasumber dengan cara melakukan tanya jawab langsung dan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan fokus penelitian yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Sumber data primer dalam penelitian ini yaitu Kepala Desa Sidorejo sebagai key informan, Kaur Pembangunan dan staf kantor Desa Sidorejo beserta masyarakat Desa sebagai informan melalui metode Purposive Sampling dan snowball sampling.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk penulisan skripsi ini, dalam mengumpulkan data penulis menggunakan beberapa cara atau teknik sebagai berikut: 
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu mengumpulkan dan mempelajari bahan dari literatur yang berhubungan dengan penelitian.
2. Penelitian Lapangan (Field Work Research) yaitu penelitian langsung ke lokasi yang menjadi objek penelitian sebagai berikut:
  • Observasi, yaitu pengumpulan data melalui pengamatan langsung
  • Wawancara, yaitu tanya jawab antara dua pihak yaitu pewawancara dan narasumber untuk memperoleh data, keterangan atau pendapat tentang suatu hal.
  • Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data atau arsip yang relevan.
Teknik Analisis Data 
Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014:31-33) di dalam analisis data kualitatif terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Aktivitas dalam analisis data yaitu : Data Condensation, Data Display, dan Conclusion Drawing/Verifications. 
1. Kondensasi Data (Data Condensation)
Kondensasi data merujuk pada proses memilih, menyederhanakan, mengabstrakkan, dan atau mentransformasikan data yang mendekati keseluruhan bagian dari catatan-catatan lapangan secara tertulis, transkip wawancara, dokumen-dokumen, dan materi-materi empiris lainnya.
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data adalah sebuah pengorganisasian, penyatuan dari infomasi yang memungkinkan penyimpulan dan aksi. Penyajian data membantu dalam memahami apa yang terjadi dan untuk melakukan sesuatu, termasuk analisis yang lebih mendalam atau mengambil aksi berdasarkan pemahaman. 
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusions Drawing)
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan penjelasan, konfigurasi-koritigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti, dan tuntutan-tuntutan pemberi dana.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Sidorejo Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara
Desa Sidorejo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Penajam Kabupaten Paser Utara yang merupakan daerah transmigrasi pada tahun 1957/1958 Desa Sidorejo merupakan desa yang tidak begitu luas dan memiliki hamparan seluas 696,75 Ha dengan jumlah penduduk tahun 2014 berjumlah 2.040 jiwa yang terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 1.038 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan 1.002 jiwa. Yang memiliki batas wilayah sebagai berikut:
  • Sebelah Utara : Kelurahan Petung
  • Sebelah Selatan : Kelurahan Tanjung Tengah
  • Sebelah Timur : Desa Girimukti dan Kelurahan Saloloang
  • Sebelah Barat : Kelurahan Petung
Berdasarkan luas wilayah dan lahan dari total luas wilayah Desa Sidorejo seluas 696,75 Ha terbagi menjadi areal yang dikhususkan untuk pertanian atau persawahan seluas 665,10 Ha, untuk areal khusus perkebunan seluas 15,00 Ha, dan khusus untuk tanah basah seluas 70,00 Ha sementara sisanya untuk fasilitas umum seluas 10,40 Ha.

HASIL PENELITIAN
Layanan Program
Dari hasil pengumpulan data primer di atas tentang layanan program terhadap pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo dapat disimpulkan bahwa layanan program pembangunan infrastruktur yang ada di Desa Sidorejo hampir secara keseluruhan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan direncanakan. Program pembangunan tersebut seperti pembangunan rumah Gakin, pembangunan jembatan, pembangunan sekretariat bersama, pembangunan drainase gorong-gorong, peningkatan jalan pemukiman dan lain-lain. Di dalam perencanaan maupun pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak baik dari aparat pemerintah desa, Ormas, LPM, serta masyarakat desa setempat walaupun terkadang di dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur terdapat halangan yang membuat penundaan kegiatan pembangunan tersebut dilaksanakan.

Pencapaian Target Program
Dari hasil pengumpulan data primer dan data sekunder di atas dapat dikatakan bahwa pencapaian target program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo pada umumnya telah mencapai target yang ditentukan meskipun tidak semua masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan tersebut hanya sebagian masyarakat yang merasa kebutuhannya terpenuhi namun terdapat kemajuan secara perlahan terutama di akses jalan dalam bidang transportasi dan mobilisasi lebih mudah. Dengan demikian kita harus bekerjasama untuk lebih meningkatkan lagi pelaksanaan program pembangunan infrastruktur Desa Sidorejo agar dalam mencapai targetnya dapat lebih optimal dan merata. 

Strategi Pelaksanaan Program
Dari hasil pengumpulan data primer di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pelaksanaan program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo dapat dikatakan telah berjalan dengan cukup baik. Dengan menggunakan strategi swakelola desa yaitu pemerintah desa mengatur sendiri anggaran dana desa dengan mempunyai tim pembangunan yang melibatkan LSM secara mandiri tanpa adanya ikut campur pihak luar. Hal ini dapat dilihat adanya pengawasan secara langsung yang dilakukan pemerintah desa jika pembangunan infrastruktur berasal dari dana ADD namun jika berasal dari dana APBD pemerintah desa tidak ikut campur karena itu merupakan urusan PU. Dengan adanya peningkatan pembangunan infrastuktur di Desa Sidorejo, banyak kemajuan terutama bidang transportasi. 

Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Program Pembangunan Infrastruktur
Dari hasil pengumpulan data primer di atas mengenai kendala-kendala program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo, dapat dikatakan bahwa pencairan dana ADD yang terkadang sedikit terlambat sehingga menghambat pelaksanaan pembangunan, kurangnya konsultan dalam pembangunan infrastruktur dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pelaksana yang kurang memahami RAB dan sketsa gambar, adanya tumpang tindih aset pembangunan desa, kemudian cuaca serta bahan material yang tidak menentu membuat pelaksanaan program pembangunan infrastruktur terhambat. Tidak hanya itu, kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam bermusyawarah dan bekerjasama membangun desanya sendiri.

PEMBAHASAN
Layanan Program
Berdasarkan hasil penelitian mengenai layanan program di Desa Sidorejo dalam Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur bahwa layanan program hampir secara keseluruhan berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jenis layanan program pembangunan infrastruktur yang ada di Desa Sidorejo cukup banyak baik dalam bidang infrastruktur, pengelolaan potensi sumberdaya alam dan ekonomi desa serta peningkatan kualitas aparatur pemerintah desa. Setiap tahunnya banyak program pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan baik dari dana ADD, APBD maupun PNPM. Pembangunan infrastruktur tersebut seperti pembangunan rumah Gakin, pembangunan jembatan, pembangunan sekretariat bersama, pembangunan drainase gorong-gorong, peningkatan jalan pemukiman dan lain-lain. 

Dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur pemerintah desa di dalam perencanaan maupun pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak. Jumlah dan volume pembangunan pun sesuai dengan aturan dan rencana yang telah ditetapkan di dalam RAB (Rancangan Anggara Biaya). Pelaksanaan pembangunan dimana pembangunan paling cepat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan paling lambat diselesaikan dalam waktu 1,5 bulan lamanya walaupun terkadang terdapat halangan yang membuat penundaan kegiatan pembangunan tersebut dilaksanakan.

Pencapaian Target Program
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pencapaian target program dalam Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur Desa Sidorejo bahwa pencapaian target program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo pada umumnya telah mencapai target yang ditentukan meskipun tidak semua masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan tersebut hanya sebagian masyarakat yang merasa kebutuhannya terpenuhi namun terdapat kemajuan secara perlahan terutama di akses jalan dalam bidang transportasi dan mobilisasi karena masyarakat lebih mudah dalam melaksanakan segala kegiatan dan aktivitasnya contonya seperti jembatan yang menghubungkan antara wilayah yang dulunya tidak dapat dilalui atau berbahaya sekarang dapat dilalui dengan mudah dan tenang. 

Strategi Pelaksanaan Program
Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi pelaksanaan program di Desa Sidorejo dalam Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur bahwa strategi pelaksanaan program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo dapat dikatakan telah berjalan dengan cukup efisien dan efektif. Dengan menggunakan strategi swakelola desa yaitu pemerintah desa mengatur sendiri anggaran dana desa yang diberikan oleh pemerintah desa dengan mempunyai tim pembangunan yang melibatkan LSM bekerja secara mandiri tanpa adanya ikut campur pihak luar. Semua pelaksanaan progam pembangunan infrastruktur mengacu pada RAB (rancangan anggaran biaya) dengan sketsa gambar. Kemudian diakhir dilakukan evaluasi program pembangunan tidak hanya itu, pengawasan dilakukan secara langsung yang dilakukan pemerintah desa jika pembangunan infrastruktur berasal dari dana ADD namun jika berasal dari dana APBD pemerintah desa tidak ikut campur karena itu merupakan urusan PU. Dengan adanya peningkatan pembangunan infrastuktur di Desa Sidorejo, banyak kemajuan terutama bidang transportasi. 

Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kendala-kendala dalam program pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Pencairan dana ADD yang terkadang terlambat.Ketidaksesuaian pencairan alokasi dana desa dengan waktu yang telah ditentukan menjadi salah satu faktor yang menghambat proses pelaksanaan pembangunan infrastruktur hal ini dapat dikarenakan berbagai macam hal seperti Surat Pertanggungjawaban (SPJ) tahun sebelumnya belum selesai atau masih terdapat kendala, penyusunan APBDes belum selesai atau belum disahkan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) karena anggaran yang menjadi kebutuhan atau prioritas belum jelas sehingga dianggap Badan Permusyawaratan Desa belum maksimal dan Rancangan Anggara Biaya untuk melaksanakan pembangunan belum terselesaikan.
  2. Pelaksana kegiatan kurang memahami RAB (Rancangan Anggaran Biaya) dan sketsa gambar. Kurang memahami RAB dan sketsa gambar merupakan kendala yang terjadi karena kurangnya sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan pada bidang yang dibutuhkan disebabkan tingkat pendidikan yang masih rendah.
  3. Kurangnya konsultan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Minimnya konsultan dikarenakan sulitnya mencari konsultan, tidak adanya konsultan yang dikirim oleh pemerintah setempat serta kurangnya anggaran untuk penyediaan konsultan. 
  4. Adanya tumpang tindih aset pembangunan desa. Tumpang tindih aset pembangunan desa ini terjadi ketika Dinas PU melaksanakan suatu pembangunan infrastruktur namun belum dapat terselesaikan karena anggaran yang tidak mencukupi sehingga proses pembangunan tersebut terhenti. Kemudian Dinas PU tidak melimpahkan pembangunan tersebut kepada pihak pemerintah desa.
  5. Keadaan cuaca yang tidak menentu. Cuaca merupakan kendala yang tidak dapat ditebak karena setiap saat dapat berubah membuat pelaksanaan program pembangunan dapat mundur dari jadwal yang ditentukan sebelumnya. 
  6. Harga bahan material yang tidak menentu. Naiknya harga bahan material menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur karena membuat pengeluaran pembangunan tidak sesuai dengan RAB (rancangan anggaran biaya) yang telah disetujui dan disahkan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan oleh penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 
  1. Layanan program dalam pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo hampir secara keseluruhan berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jenis layanan program pembangunan cukup banyak baik dalam bidang infrastruktur, pengelolaan potensi sumberdaya alam dan ekonomi desa serta peningkatan kualitas aparatur pemerintah desa. 
  2. Pencapaian target program dalam pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo pada umumnya telah mencapai target yang ditentukan meskipun hanya sebagian masyarakat yang menikmati hasil pembangunan dan merasa kebutuhannya terpenuhi namun terdapat kemajuan secara perlahan terutama di akses jalan dalam bidang transportasi dan mobilisasi. 
  3. Strategi pelaksanaan program dalam pembangunan infrastruktur di Desa Sidorejo menggunakan strategi swakelola desa yaitu pemerintah desa mengatur sendiri anggaran dana desa yang diberikan oleh pemerintah desa dengan mempunyai tim pembangunan yang melibatkan LSM bekerja secara mandiri tanpa adanya ikut campur pihak luar.
  4. Kendala-kendala dalam program pembangunan infrastruktur Desa Sidorejo adalah pencairan dana ADD yang terkadang terlambat, kurangnya konsultan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur, pelaksana yang kurang memahami RAB dan sketsa gambar, adanya tumpang tindih aset pembangunan desa, keadaan cuaca serta harga bahan material yang tidak menentu serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam bermusyawarah dan bekerjasama membangun desanya sendiri.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya:
  1. Pemerintah Desa Sidorejo seharusnya lebih meningkatkan kegiatan musyawarah kepada masyarakat desa agar masyarakat dapat ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan.
  2. Pemerintah Desa Sidorejo diharapakan lebih memperhatikan aspirasi yang diberikan masyarakat Desa Sidorejo.
  3. Pemerintah Desa Sidorejo dalam melaksanakan program pembangunan infrastrukturnya lebih mengedepankan skala prioritas yang dibutuhkan masyarakat desa. 
  4. Pemerintah Desa Sidorejo diharapkan dapat lebih meningkatkan pengawasan dalam pembangunan agar kepuasan masyarakat dapat tepat sasaran. 
  5. Pemerintah Desa Sidorejo diharapkan dapat menjalin kerjasama yang lebih baik dengan Badan Permusyawaratan Desa agar kebijakan yang dibuat dapat mencapai tujuan dan tepat sasaran.
  6. Pemerintah Desa Sidorejo diharapkan dapat lebih meningkatkan kerjasamanya dengan berbagai pihak agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan secara lancar, efektif dan efisien.
  7. Pemerintah Desa Sidorejo diharapakan dapat lebih meningkatkan pemberdayaan masyarakat agar keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dapat lebih optimal.
Daftar Pustaka
  • Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
  • Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  • Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Daryanto. 2007. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Indrawijaya, Adam Ibrahim dan Juni Pranoto. 2011. Revitalisasi Administrasi Pembangunan. Bandung: Alfabeta.
  • Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media.
  • Kodoatie, Robert J. 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Mardapi, Djemari. 2000. Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Mitra Cendikia.
  • Miles, Matthew B, A. Michael Huberman dan Johnny Saldana. 2014. Qualitative Data Analysis, A Methods Sourcebook Edisi Ketiga. Sage Publications: Inc.
  • Mulyatiningsih, Endang. 2011. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabet
  • Prihatin, Eka. 2011. Teori Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
  • Pasalong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
  • Soenarko. 2005. Public Policy Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press.
  • Siagian, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Sudriamunawar, Haryono. 2002. Pengantar Study Administrasi Pembangunan. Bandung: Mandar Maju.
  • Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
  • . . 2011. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
  • Tayibnapis, Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Wasistiono, Sadu dan Irwan Tahir. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: CV. Fokus Media.
  • Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS.
  • Widjaja, Haw. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Butuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia.
  • Wirawan. 2011. Evaluasi Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta: Rajawali Pers.
Dokumen-Dokumen:
  1. Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
  2. Naskah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sidorejo 2012-2016.
  3. Profil Desa Sidorejo “Potensi dan Perkembangan Desa dan Kelurahan Tahun 2014.”
  4. [1] Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: mitrapuspitasari605@gmail.com
no image
PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN DALAM KETAHANAN NASIONAL
Pendahuluan
Wawasan-pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan pedesaan menurut GBHN 1983 dan 1993 hampir tidak pernah berubah. Aspek pembangunan pedesaan dan perkotaan dimanteli dengan pembangunan daerah. Dalam GBHN 1983, terlihat pengulangan kembali harapan-harapan dalam peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan swadaya dan prakarsa masyarakat pedesaan, peningkatan kemampuan berproduksi, mengolah serta memasarkan hasil. Hanya dalam GBHN 1993, lebih ditekankan pada peranan kelembagaan di desa, seperti koperasi dan lembaga keuangan untuk mendukung peranan pedesaan dalam pembangunan nasional. Pengertian kelembagaan seyogyanya tidak terbatas pada lembaga yang bersifat fisik, tetapi juga nonfisik, seperti, nilai-nilai adat dan budaya yang masih dapat dilestarikan dan dikembangkan dalam mendukung kemajuan. Pernyataan GBHN masih bersifat umum, dan perlu penjabaran lebih lanjut terutama menyangkut konsep dan metodologi pembangunan. Boleh jadi, jika dua atau tiga orang menafsirkannya, tidak mustahil akan diperoleh dua atau tiga tafsiran, baik dalam bentuk rencana, pelaksanaan maupun evaluasi. Oleh karena itu, yang tiga hal pokok tadi (perencanaan. pelaksanaan dan evaluasi) sangat tergantung kepada gaya kepemimpinan, baik nasional, regional, maupun kepala desa. Perubahan-perubahan gaya kepemimpinan inilah tampaknya diharapkan berubah secara berarti untuk menghadapi masalah-masalah pembangunan bangsa dalam Pejangka II mendatang. Gaya itu tampaknya harus berubah baik karena pengaruh ekstemal maupun intemal.  Gaya itu pun akan mempunyai pengaruh yang berarti pula terhadap segmen-segmen dan prioritas pembangunan, baik nasional maupun regional. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep Wawasan Nusantara yang semakin terbuka dalam gelombang globalisasi. Hal itu pun diharapkan akan lebih berarti pula mempengaruhi "dua wajah" pembangunan pada dua kawasan yang tampak tidak seimbang secara sempurna. Kedua wajah itu pun tidak akan pemah sama, tetapi perlu seimbang, untuk tidak melahirkan hambatan, ancaman, dan gangguan. Kenyataan pada akhir-akhir ini, setelah Pakto 1988, dispraritas kinerja pembangunan ekonomi pada wilayah perkotaan dan pedesaan cenderung semakin tinggi. Pengertian dua wajah itu berkait dengan dualisme wilayah, desa dan kota. Kalau dirinci, dualisme itu menyebar ke dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial-budaya, politik, atau juga teknologi. Membicarakan aspek-aspek itu paling tidak untuk beberapa aspek, akan mengenang satu nama, yakni Boeke. Boeke waktu itu lebih menekankan segi struktur dan pelilaku sosial masyarakat, yang menghambat motivasi ekonomi. Selanjutnya, jika keadaan itu dikaitkan dengan gatra-gatra Ketahanan Nasional, kedelapan gatra itu dapat muncul dalam struktur, perilaku, dan kinerja yang berbeda. Walaupun kedua wilayah (perkotaan dan pedesaan) itu merupakan satu kesatuan geografis dan demografis, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan politik dan hankam dalam lingkungan Wawasan Nusantara, tetapi di antara kedua wilayah itu terdapat jurang, walaupun, dalam jangka pendek tampaknya masih merupakan masalah yang dapat dikendalikan. Tapi, jangka panjang, kalau jurang itu tidak diperkecil, dapat menjadi gangguan dan ancaman yang lebih serius, tidak saja dalam stabilitas ekonomi, tetapi juga ketahanan nasional. Apakah ini warisan sejarah, atau bisakah kita duga hal itu sebagai peninggalan kolonial? Atau paling tidak merupakan "structural-lagged" masa lalu yang masih mempengaruhi pengambilan keputusan pembangunan? Atau karena kebijakan yang secara tidak sengaja bersifat diskriminatif? Ataukah karena dampak sampingan dari suatu strategi pembangunan yang telah ditetapkan? 

Apapun jawabannya, tanggung jawab itu terletak pada kita semua. Disparitas yang semakin buruk dan berkepanjangan akan dapat menimbulkan gangguan dan ancaman terhadap keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Apapun sebabnya, generasi sekarang dan mendatang mempunyai kewajiban penuh untuk mengatasinya. Ini tampaknya, hanyalah sekelumit persoalan yang sudah sering diungkapkan di berbagai media-massa, seminar, lokakarya dan rapat-rapat kerja. Dalam kesempatan ini saya ingin mengungkapkannya kembali. Jadi, tidak ada yang baru dalam makalah ini. Tetapi sepeni pepatah orang dulu mengatakan: "Hafal kaji karena diulang, pasal jalan karena ditempuh". Oleh karena itu, dalam rnakalah ini saya ingin melihat bahwa pembangunan ekonomi pedesaan mempunyai kaitan dengan ketahanan nasional. Pertama, ingin menyampaikan tentang adanya sikap implisit, dan juga dapat menjadi kelemahan implementasi idiologis, dan membawa sakwasangka, yang menjadi kelemahan yang dialami pembangunan desa. Kedua, menyampaikan peranan desa dalam gatra kandungan gatra alam, dan gatra sosial. walaupun tidak lengkap. Ketiga, adanya gangguan dan ancaman yang potensial, yang tercermin dalam berbagai bentuk disparitas kinerja pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Terakhir sebuah buhul simpul sekedar sumbang-saran. 

Implementasi Idiologi dan Sakwasangka 
Zaman Fisiokrat yang merindukan bumi adalah ibu sumber produktif, dimana sektor pertanian dipandang sebagai satu-satunya sektor yang produktif, sedangkan sektor-sektor ekonomi lainnya adalah steril. Tetapi, zaman itu telah lama lewat, dan yang terjadi dewasa ini adalah semua sektor ekonomi adalah produktif. Sedangkan sektor pertanian dimana sebagian besar penduduk dan sumberdaya alam berada, sering dipandang sebagai wilayah yang inferior. Namun demikian, di Indonesia, pembangunan sektor pertanian identik dengan pembangunan pedesaan. Dan umumnya, kawasan pedesaan relatif terbelakang. 

Globalisasi telah merambah dengan cepatnya wilayah pedesaan melalui sistem komunikasi. Proyek-proyek pembangunan telah memperluas wawasan pembangunan pedesaan di satu pihak, tetapi dari aspek lain dalam kadar tenentu telah mulai menghancurkan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetiakawanan, karena perilaku individu pengelola pembangunan itu sendiri. Perjudian dan penjualan SDSB telah menghisap dana-dana yang tersedia di desa menuju dunia jasa modern di daerah perkotaan. Disamping itu, sistem rentenir jauh lebih pesat berkembang di wilayah yang relatif terbelakang bila dibandingkan dengan peranan lembaga-lembaga keuangan formal. Malahan berbagai perilaku yang diketegorikan modern telah merusak bagian-bagian kehidupan desa. 

Walaupun Revolusi Hijau telah berhasil secara makro, yakni meningkatkan produktivitas pangan, tetapi revolusi itu telah meninggalkan berbagai-kerawanan sosial, seperti kesenjangan dan semakin memperbesar sikap individualisme. Revolusi Hijau telah berhasil memperkaya kelompok tani besar, sementara petani kecil cenderung tersingkir dan keluar dari sektor pertanian, ia berusaha beralih ke luar pertanian, terutama menjadi migran ke lempat lain atau ke kota-kota terdekat, sehingga mempercepat arus urbanisasi. Arus urbanisasi makin cepat, yang didukung perbaikan pendidikan di pedesaan. Disamping, masalah masalah moralitas tergoncang tidak hanya di wilayah perkotaan, tetapi lebih jauh telah merasuk ke wilayah pedesaan. 

Memang konsep dan pendekatan pembangunan itu sudah jelas, tetapi sering kabur dalam menafsirkan, lalu terjadi deviasi dari rencana, sehingga memperlambat proses tercapainya tujuan ideal pembangunan. Demikian juga halnya dalam pembangunan ekonomi pedesaan, yakni terjadi perbedaan antara konsep dan tafsiran, terjadi perbedaan antar rencana dan aksi atau implementasi. Hal ini lazimnya terjadi karena ingin lebih praktis dan pragmatis, yang tercermin dalam kendala "biaya terbatas". Deviasi itu kemungkinan akan makin besar dalam kondisi "informasi yang relatif tertutup". 

Sebagai gambaran tentang hal itu, secara singkat dikemukakan sekedar ilustrasi. Memang, ada ajaran yang agak idiologis tcntang kemungkinan akan mendorong atau menghambat pembangunan ekonomi desa. Ajaran klasik, misalnya, dimana dalam kondisi masyarakat yang feodalislik, kalau pembangunan pertanian dipercepat, ternyata yang mendapatkan hasil-hasilnya yang berlimpah adalah kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah. Ini berarti pembangunan pertanian akan memperbesar jurang antara petani dan penyewa tanah dengan pemilik tanah. Oleh karena itu perlu secepatnya dikembangkan sektor-sektor di luar pertanian. Namun demikian, dengan lahirnya kaum kapitalis baru, kelompok ini melakukan eksploitasi ke sektor pertanian dan sektor-sektor primer lainnya. Sedangkan sektor-sektor yang dieksploitasi ini tidak atau kurang mendapat perlindungan. Oleh karena itu upaya peningkatan kesejahteraan penduduk pedesaan atau para petani semakin sulit. Kaum klasik baru, yang sebenamya telah dimulai dalam zaman Klasik, mengingatkan bahwa pembangunan pertanian sangat dibatasi dengan tahap decreasing-returs, sehingga perlu sektor-sektor di luar pertanian yang mengalami increasing-return dikembangkan secepatnya Namun demikian, tercapainya tahap-tahap itu sangat tergantung pada teknologi.

Kemudian ada lagi, karena orang-orang komunis anti-feodalisme, anti tuan tanah, dan anti borjuasi maka setiap gagasan-gagasan membela petani dipojokkan: "Ini adalah orang kiri". Begitu pula, jika ada gagasan dan gerakan untuk membela yang kecil, maka timbul sakwasangka, gagasan itu membela kaum proletar, atau paling tidak "ada marhaenisme", hati-hati. Kita pernah mengalami itu, malahan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sering dicap produk Komunis. Sehingga implementasinya lebih dari 30 tahun tetap terlantar. Namun demikian, tidak ada kemauan yang berwenang untuk mengubah atau memperbaharuinya. Sebaliknya, berbagai macam UU dari berbagai sektor modern di luar petanian harus segera diciptakan. Dengan adanya "perasaan yang demikian", maka puluhan tahun peluang-peluang kegiatan di pedesaan oleh petani kecil dan gurem terjepit. Harapan-harapan untuk kemandirian desa sebagai satuan ekonomi, sosial dan budaya semakin sulit terjangkau. Sikap "menunggu" proyek menjadi lebih dominan, sehingga menciptakan "budaya ketergantungan" pembangunan di pedesaan dan makin menguatnya sifat paternalistik yang didukung pula dengan sistem-sistem yang sentralistik. 

Selanjutnya, ada berbagai sebutan yang mewakili pihak yang memandang inferior terhadap suatu pedesaan. Dalam berbagai buku Teori Ekonomi Pembangunan, desa itu digambarkan secara umum adalah inferior terhadap kota. Gambaran itu walaupun sering tidak benar, tetapi masih diulang-ulang, sehingga citranya seolah-olah memang serba rapuh dan rendah. Seperti halnya penduduk desa itu malas, kurang produktif, nilai sosial mereka berkedudukan lebih tinggi daripada nilai-nilai ekonomi; tradisional, irrasional, tidak melihat jauh ke depan, beranak relatif banyak, motivasi kerja lemah, dan sebagainya. Ini menyebabkan mereka jatuh miskin. Masih banyak sebutan-sebutan lain yang diungkapkan. Itu semua, menggambarkan sikap angkuh dan sombong. Timbul pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak menggambarkan berbagai tuduhan tadi. Misalnya, ekonomi siapakah yang mendukung perang gerilya kemadekaan itu? Bukankah tentara rakyat waktu itu sebagian besar berasal dan dilahirkan dari wilayah pedesaan? Kalau jawabannya cenderung, Ya, apakah tidak ada sesuatu yang perlu diluruskan dalam berbagai pandangan itu? Atau secara makro adalah strategi, pendekatan dan kebijakan pembangunan Indonesia itu perlu mendapat penyempurnaan atau revisi? 

Ketergantungan dan Partisipasi 
Ketergantungan anggaran pembangunan desa sangat ditentukan oleh pihak atas. Ini terlihat dengan adanya desa dimasukkan ke dalam kesatuan negara. Jadi, intervensi begitu kuat, sehingga ketergantungan pada pihak atas cenderung membesar. Sulit untuk membicarakan dan menemukan bentuk-bentuk keputusan pembangunan tingkat desa, tanpa intervensi dari atas. Di luar Jawa, misalnya tampak lembaga-lembaga adat hampir seluruhnya dibekukan. 

Lahirnya UU No. 5 tahun 1979 tentang perangkat pemerintahan desa tampaknya sangat baik, tapi tidak didukung oleh sumberdaya manusianya. Kelembagaan desa secara formal amat lengkap, ada pemerintahan desa, LKMD, PKK, Karang Taruna, dan rembug desa. Tiap desa disediakan Koperasi, Sekolah Dasar, Pasar, Mesjid, kelompok tani, kelompok arisan, pramuka, Puskesmas, pelayanan KB, dan sebagainya. Seorang ibu rumah tangga bebas dengan leluasa menjadi anggota organisasi-organisasi sosial itu. Tidak ada tuduhan anggota rangkap, malahan dianjurkan. Ini pun termasuk jenis partisipasi. 

Seorang Kades dipilih langsung oleh warga desa yang berhak memilih. Ini merupakan bentuk partisipasi politik lokal. Namun demikian, masuknya budaya komersialisasi menambah "budaya bisnis" dalam pemilihan. Tidak mengherankan, kalau seorang calon Kades mencari atau mempunyai sponsor pihak-pihak yang mempunyai dana. Pemilih itu dapat dibeli suaranya (Rahardjo, 1991). Pada banyak desa, persaingan dalam pemilihan Kades (pilkades) menjadi tidak wajar. Disamping itu, pengaruh budaya lama masih kuat pula, para pemilih lazimnya masih berkaitan darah yang mencerminkan "nepotisme" baru. Paham nepotisme menjadi pedoman yang implisit dalam menentukan personalia perangkat kelembagaan di desa. Hal ini perlu dalam upaya menjamin kestabilan pemerintah desa (dapat juga dibaca menjamin stabilitas kepentingan pribadi). Kades juga menjadi Ketua LKMD, sedangkan isteri Kades menjadi ketua PKK, disamping anggota LKMD. Kalau ditelusuri, sulit mendapatkan anggota perangkat lembaga-lembaga desa yang bukan kerabat yang masih berhubungan daerah atau teman-teman dekat, yang kira-kira tidak berani/tidak mau melakukan kritik. Pola ini tampaknya tidaklah menjadi hal-hal yang merugikan desa, jika mereka yang lebih pantas dari segi kemampuan dan ketrampilan tidak tersingkir. 

Sering terlihat bahwa Kades tidak begitu mempunyai tanggung jawab kepada rakyatnya. Oleh karena Kades lebih cenderung memupuk loyalitasnya kepada Camat dan Bupati. Bupatilah yang mengeluarkan Surat Keputusan sahnya seorang Kades. Kades tahu benar, bahwa kalau tidak demikian, penggantinya dapat direkayasa dari Atas. Begitu pula dia tahu, proyek selalu datang dari Atas. Dalam pelaksanaan proyek pun lebih penting pula petunjuk-petunjuk dari Atas. Rakyat juga tahu bahwa uang proyek yang sampai ke dalam tahap realisasi proyek, sudah disunat dulu. Oleh karena mereka merupakan warga desa yang masih dekat, maka mereka pun bertambah pengetahuannya tentang budaya "rente proyek". 

Lahirnya, Undang-Undang tentang pemerintahan Desa pada tahap awal tampaknya diharapkan semakin tinggi kadar mengurus rumah tangga desa sendiri, tetapi dalam prakteknya dominasi Atas tetap begitu kuat, sehingga banyak hal terjadi kekakuan-kekakuan, seperti melemahnya partisipasi, melemahnya demokrasi desa, dan berkurangnya inisiatif karena sering dirundung "takut tidak sesuai dengan petunjuk". Walaupun ada proyek-proyek dengan berbagai macam bentuk proyek Inpres dan berbagai proyek sektoral lainnya, tetapi bila diteliti lebih jauh, keputusan-keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, ternyata partisipasi masyarakat desa relatif sangat lemah. 

Pengertian partisipasi, seyogyanya terpadu pula, tetapi dalam implementasi cenderung pada partisipasi sebagian pada tahap pelaksanaan. Dalam pelaksanaan pun sering pula terjadi kolusi antara Kades-Atasan-LKMD. Atasan yang seyogyanya lebih intensif dalam pengendalian, rnalahan di sana-sini mempengaruhi pula mulai dari perencanaan sampai ke tahap pelaksanaan. Tampak dengan jelas fungsi Kades sering terlibat banyak dalam mengerahkan sumberdaya manusia dan alam, seperti dalam kerja borongan, menyiapkan bahan bangunan, mengumpulkan warga desa untuk diceramahi karena atasan yang sektoral makin banyak masuk desa. Ikatan yang paling sulit dilepaskan seorang Kades adalah banyaknya "petunjuk", tetapi sangat mengikat. Tampak dengan jelas ada hambatan-hambatan psikologis-ideologis yang tenanam dalam masa-masa tertentu untuk mengembangkan pedesaan. 

Disparitas Desa-Kota
Jika memperhatikan kocenderungan perkembangan perluasan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi wilayah perkotaan akan terus berkembang, baik secara struktur geografis, demografis maupun fungsi-fungsi ekonomi dan sosial-budaya begitu juga hankam. Perubahan-perubahan itu lebih terarah, jika didukung oleh perencanaan yang bersifat indikatif. Namun demikian, khusus untuk pembangunan pedesaan, kurang mantap dan kurang jelas digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Tetapi, ini pun dapat dibuat alasan untuk fleksibilitas. Pembangunan pedesaan tampaknya terselip dalam mantel pembangunan daerah. Sebagai sub-pembangunan daerah, dapat berakibat prioritas dapat saja menjadi bias. Sifat bias itu, lazimnya, lebih cenderung ke wilayah perkotaan. Ini mudah dipahami, karena di wilayah perkotaan tersedia kecukupan fasilitas dan di sini pula para pengambil keputusan berdomisili. 

Selama hampir 25 tahun terakhir ini, angka-angka statistik membuktikan kecenderungan-kecenderungan itu. Jika strategi dan kebijakan pembangunan Indonesia tidak lebih memprioritaskan pembangunan wilayah pedesaan, maka kecenderungan bias itu akan semakin besar. Hal ini akan membawa kondisi disparitas yang semakin melebar dan lebih dalam. Belajar dari masa lalu, hampir dalam semua kinerja pembangunan, kinerja desa berjalan relatif rendah atau terbelakang. Ukuran-ukuran sosial-ekonomi yang sering diajukan misalnya, harapan hidup, tingkat kematian, rasio dokter dengan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan melek huruf, beban tanggungan dan sebagainya. Memang, kurang tepat membandingkan kinerja pembangunan Kota-Desa hanya dengan satu-dua indikator. Namun demikian pada tahap awal dan juga secara ekonomis, membandingkan peningkatan konsumsi penduduk desa kota masih merupakan salah satu ukuran yang relevan. 

Disparitas pertumbuhan "kemakmuran" kota dan desa dalam periode 1987- 1990 semakin tinggi bila dibandingkan dengan periode 1980-1990 (Mubyarto, 1991). Secara nasional pertumbuhan kemakmuran kota dalam periode 1987- 1990 adalah sekitar 26%, sedangkan Desa tumbuh hanya sekitar 11,4%. Jadi, walaupun investsi ditingkatkan dua kali lipat di pedesaan untuk masa datang, sedangkan di wilayah perkotaan dianggap tetap, masih belum juga akan mencapai tingkat pertumbuhan yang sama. Ini pun dengan anggapan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga penduduk diperlukan sebagai proksi pendapatan. 

Apalagi adanya upaya menyamakan pendapatan kota-desa tentu sangatlah sulit. Tetapi jika dilihat dari konsep keseimbangan, maka banyak aspek-aspek lain yang perlu mendapat perhatian yang lebih diprioritaskan di masa datang, sehingga disparitas itu tidak makin membesar dan mendalam, tetapi lebih menuju ke arah konvergensi yang lebih wajar. Untuk menghadapkan persaingan kota desa terdapat resiko tinggi. Sebaliknya, disandingkan terlebih dulu, sehingga efek tetesan itu semakin besar, baik yang berasal dari kegiatan pembangunan swasta maupun pemerintah. 

Sensus penduduk 1990, memperlihatkan pula jurang tingkat pendidikan penduduk desa dan kota. Angkatan kerja yang tidak/belum sekolah dan yang belum/tidak tamat SD di wilayah kota hanya sekitar 44% dari jumlah angkatan kerja, sedangkan di pedesaan 65%. Jadi, jelaslah bahwa perangkat pemerintahan desa belum dapat memenuhi beban yang dipikul, sehingga kualitas pemerintahan yang partisipatif masih sulit untuk dilakukan. 

Profil kependudukan Indonesia (BPS, 1993) menyajikan perubahan dalam kemajuan variabel demografis selama 20 tahun terakhir. Angka kelahiran total per 1000 wanita menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yakni 5.160 pada tahun 1968, telah berkurang menjadi 2.691, sedangkan di wilayah pedesaan penurunan itu agak lamban, yakni dari 5.745 menjadi 3.664. Selanjutnya, angka kematian bayi di wilayah perkotaan telah menurun, yakni dari 119 per seribu kelahiran pada tahun 1970, menjadi 53 pada tahun 1990. Pada wilayah pedesaan disamping jumlah kematian yang secara absolut tinggi, juga turunnya relatif lamban, yakni 123 menjadi 77 bayi. 

Hal yang sangat dikuatirkan adalah pemerintah jauh lebih maju dalam membantu pembangunan desa, tetapi swasta berperilaku lebih eksploitatif, atau pihak oknum perangkat pemerintah berkolusi dengan swasta. Hal ini merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan pembangunan pedesaan. Tidak disangsikan bahwa selama sekitar dua-setengah dekade terakhir ini, wilayah pedesaan mendapat perhatian pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, irigasi, listrik dan komunikasi. Hal itu dibarengi penyediaan berbagai sarana produksi pertanian terutama tanaman pangan. Semua prasarana dan sarana itu disediakan dengan subsidi dan diperkenalkan pula teknologi pertanian (terutama pangan). Berbagai sistem paket seperti Bimas, Inmas, Supra Insus dan berbagai macam pola PIR untuk beberapa komoditas pertanian. Hal ini telah menunjukkan hasil-hasil yang luar biasa, seperti swasembada pangan peningkatan ekspor hasil pertanian, penyediaan bahan-bahan agro-industri, dan peningkatan pengetahuan serta ketrampilan petani dalam penerapan teknologi pertanian. 

Namun demikian, dibalik berbagai sukses itu, muncul berbagai dampak yang masih memerlukan perhatian lebih serius. Seperti dampak-dampak ekonomi dan sosial-budaya. Dampak-dampak itu tidak saja terbatas secara lokal, tetapi juga melebar secara regional. Adalah sulit untuk memandang wilayah pedesaan sebagai wilayah yang homogen. Padahal dipahami bahwa struktur dan potensi desa atau desa-desa dalam suatu wilayah dengan wilayah lain amat berbeda. Paling tidak ada wilayah pedesaan Jawa dan Luar lawa, atau desa-desa di IBT dan di IBB. Disamping ada desa-desa pada dataran rendah dan tinggi, desa-desa yang sering dikelompokkan pada wilayah pantai dan perbatasan. Namun demikian, ada juga desa yang relatif maju dan yang masih tertinggal. 

Desa-desa terakhir tadi sering dibicarakan dalam konteks desa miskin. Namun demikian, desa yang tidak miskin pun terdapat kelompok miskin. Kelompok terakhir ini diukur dengan indikator fisik. Tetapi, penduduk miskin sering juga diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita, yang jumlah masih sekitar 27,2 juta lagi. Sekitar 66% kelompok miskin itu bermukim di wilayah pedesaan. Oleh karena penduduk itu (yang 66%) bermukim di wilayah pedesaan, maka dibuat ukuran ganda untuk orang-orang miskin di perkotaan dan yang di pedesaan. Orang-orang kota, pada tahun 1990 disediakan garis kemiskinan sekitar Rp 21.000, sedangkan mereka yang di desa dibuatkan garis kemiskinan sekitar Rp 13.000,-. 

Garis kemiskinan tersebut sangat kritis dan sensitif. Bila ditingkatkan saja beberapa ratus rupiah, akan menghasilkan angka-angka jumlah kemiskinan yang lebih tinggi. Disamping itu, ukuran ini pun sangat bersifat politis. Kebutuhan atau pengeluaran konsumsi rumah tangga itu masih terbatas, sehingga gambaran kesenjangan pembagian pengeluaran rumah tangga masih banyak belum diperhitungkan. Selain itu, kualitas barang-barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk kota dan desa dianggap tetap terwakili dalam harga. 

Dalam hal itu, daya beli penduduk pada kedua wilayah itu sulit untuk dibandingkan. Setiap ukuran akan selalu mempunyai kelemahan masing-masing. Tetapi yang jelas, pengeluaran itu belum dapat mewakili kebutuhan dasar yang lain seperti kebutuhan akan adanya kebebasan memilih dan juga bebas dari rasa takuk. Jika rasa takut itu relatif tinggi maka lazimnya diikuti dengan pengeluaran lebih tinggi untuk perlindungan atau berjaga-jaga. Di wilayah perkotaan, kesempatan untuk mempunyai kebebasan memilih relatif terbuka daripada di wilayah pedesaan. Hal ini pun mencerminkan kehidupan demokrasi, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. 

Secara ekonomis, dengan sadar kualitas hidup mereka di desa direndahkan, karena kebutuhan mereka sangat terbatas. Karena mereka kurang ke salon, hampir tidak pernah menonton ke bioskop, jarang bepergian jauh dari desa, sedangkan listrik semakin langka, sebagian wanitanya memakai pupur yang diolah dari tepung beras, minum air kali atau sumur bukan air dari PAM, minyak rambut sebagian dari minyak goreng, dan sebagainya. Oleh karena itu nilai rupiah kebutuhan konsumsi penduduk miskin relatif sangat rendah. Begitu pula untuk bahan bakar, mereka menggunakan kayu, walaupun berasal dari hutan, gratis, dianggap tidak mempunyai nilai rupiah. Walaupun dinilai dengan rupiah tentunya mereka rasakan jauh lebih mahal minyak tanah atau gas listrik, oleh karena harus mengorbankan sejumlah rupiah. 

Dengan belum adanya perkiraan pendapatan nasional desa dan kota yang terpisah, maka sulit untuk mengukur produktivitas penduduk pedesaan dan perkotaan dalam menciptakan nilai tambah. Namun demikian, dengan mengambil sektor pertanian sebagai proksi, sebagai gambaran kegiatan utama di pedesaan, masih dapat mengemukakan wajah kesenjangan antara ekonomi perkotaan dan pedesaan. Disamping itu, ada beberapa ukuran sosial ekonomi yang juga dapat diajukan, seperti sebaran penduduk, kualitas/tingkat pendidikan, pengeluaran rumah tangga, distribusi kemiskinan, tingkat kematian, dan kebutuhan gizi. Semua indikator itu, membuktikan inferiotitas kondisi penduduk di wilayah pedesaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang sudah sering dipertanyakan. Misalnya, mengapa hal itu mesti terjadi? 

Jawabannya, mudah-mudah sulit. Kalau diikuti jawaban-jawaban tradisional, lebih sering dikemukakan aspek-aspek serba inferiomya berbagai gatra pembangunan khususnya pembangunan ekonomi di wilayah itu. Namun demikian, berbagai penjelasan itu mengalami kurang taat asas. Kadang-kadang terselip juga penjelasan idiologis yang diselubungi ketakutan untuk memaparkannya. Untuk menjelaskan lebih lanjut, di utarakan sebagian saja indikator sosial-ekonomi. Diperkirakan sampai dengan akhir Pembangunan Jangka Panjang Kedua (Pejangka II), jumlah penduduk Indonesia sebagian besar masih bermukim di wilayah pedesaan. Dewasa ini bagian penduduk Indonesia yang termasuk wilayah perkotaan adalah sekilar 30%. Beberapa daerah yang bagian penduduk kotanya di atas 30%, antara lain adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur. Namun demikian, walaupun semakin meluasnya wilayah perkotaan bukan berarti berkurangnya kerawanan sosial ekonomi. Kasus yang agak lain adalah bagian penduduk di perkotaan di propinsi Kalimantan Timur, yakni sekitar 49% dewasa ini, yang sepuluh tahun yang silam telah mencapai 40%. Wilayah pedesaan yang luas tetapi sepi penduduk. Penduduk perkotaan sebagian besar berrnukim di sepanjang Pantai Timur dan sebagian besar pedesaan di sepanjang sungai dan di kawasan perbatasan. Penduduk DKI Jakarta telah lengkap 100% menjadi penduduk kota, walaupun masih digelari dengan "Big-village". 

Jika kondisi penduduk yang demikian dikaitkan dengan aspek ketahanan nasional, maka saya teringat dengan strategi penaklukkan suatu wilayah: "Jangan diserang pada lokasi yang dipertahankan dengan kuat". Kalau demikian, kerawanan itu semakin jelas, pada wilayah yang sangat luas, tetapi penduduknya begitu jarang. Apalagi pada wilayah-wilayah perbatasan. Karena itu pula relevansi program transmigrasi sangat tepat. Tetapi itupun belum memadai, karena transmigrasi yang direncanakan dan dibiayai dari APBN, bukan transmigrasi spontan, kemungkinan motivasinva relatif lemah. 

Kalau diperhatikan dari segi tenaga kerja, maka struktur ekonomi Indonesia masih cenderung bersifat agraris. Pada Sensus terakhir, tenaga kerja Indonesia sekitar 49% masih pada sektor pertanian, tetapi nilai tambah yang disumbangkannya pada produk nasional bruto hanya sekitar 22% (dengan migas), atau sekitar 26% (tanpa migas). Semakin jelas kesenjangan sektoral yang terjadi, yakni 49% pekerja dengan nilai tambah hanya 22%. Sebaliknya, secara kasar, 51% bagian penduduk memproduksi 78% kue nasional. Ini baru kesenjangan antara sektor pertanian dan sektor-sektor lain. Padahal pada sektor-sektor lain itu masih terdapat pula pekerja-pekerja "gurem", seperti buruh harian, pekerja keluarga, dan pekerja pada sektor informal. 

Hal itu akan menimbulkan trade-off dengan hal-hal lain. Namun demikian, dewasa ini terjadi pula sumber-sumber pengangguran tertinggi di wilayah pedesaan. Kalau Revolusi Hijau telah berhasil mengantarkan Indonesia pada tahap Swasembada pangan, bebas dari impor beras pada tahun 1984, dewasa ini mulai mengimpor lagi, tetapi terjadi konsentrasi penguasaan lahan yang semakin tinggi. 

Perkiraan hasil sensus pertanian 1987 dan 1983 memperlihatkan bahwa penguasaan lahan di atas setengah ha telah meningkatkan dari sekitar 36% menjadi 66%. Tentunya dengan rasa berdebar kita menunggu hasil Sensus Pertanian 1993 ini. Ini berarti bahwa penguasaan harta produktif telah semakin langka bagi petani kecil dan dengan sendirinya meningkatkan jumlah buruh tani. Tingkat upah yang rendah di wilayah pedesaan, tanpa perlindungan dari pemerintah, telah mendorong lagi kecepatan urbanisasi. Telah banyak kebijakan dan program pembangunan Indonesia yang tercurah untuk kawasan pedesaan. Walaupun banyak program, namun bila dilihat dari jumlah dana baik dari APBN maupun dari kredit perbankan, ternyata jumlah dana itu jauh lebih kecil daripada berbagai kredit perbankan ke sektor-sektor perdagangan, industri dan perkotaan. Oleh karena itu timbul pula berbagai analisis struktural. Sektor pedesaan dengan kegiatan utamanya pertanian telah "diperas" untuk sektor kota. Dengan ciri-ciri yang dikemukakan di atas beserta analisis struktural tampaknya kurang konsisten, tetapi ada benarnya. 

Penutup 
Seperti telah diutarakan tadi bahwa program-program pembangunan pedesaan selama 25 tahun terakhir terus berkembang, walaupun dalam anggaran yang masih tetap terbatas. Hampir tiap Departemen mempunyai program untuk wilayah pedesaan, namun kondisinya, hampir dalam semua aspek pembangunan masih tertinggal dari kinerja pembangunan di wilayah perkotaan. Ada beberapa sebab yang tampaknya menjadi penghambat ke arah kemajuan: Pertama, kondisi geografis yang sedemikian luas, sehingga sulit dalam jangkauan operasional. Kedua, sebaran dan jumiah penduduk yang berkombinasi dengan kondisi pertama tadi. Ketiga, orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi, sehingga prioritas terletak pada segi-segi yang mendukung efisiensi. Keempat, potensi desa belum dikelola secara optirnal, oleh karena kendala pertama, kedua dan ketiga tadi. Kelima, kondisi sosio-budaya yang masih membelenggu para perencana ekonomi, sebagai akibat adanya "structural-lagged" masa lalu. Keenam, belum jernihnya pandangan tentang desa, sehingga ada sikap pandangan yang serba inferior terhadap pedesaan dan serba superior terhadap perkotaan. Ketujuh, pembangunan pedesaan lebih cenderung pada pendekatan penyiapan prasarana dan sarana fisik daripada non fisik. Kedelapan, partisipasi masyarakat sulit berkembang karena sistim pemerintahan yang relatif serba sentralistik, baik pusat terhadap daerah, dan juga daerah terhadap desa. Kedelapan, faktor SDM yang sangat lambat berkembang kualitasnya, dan terjadi brain-drain tenaga-tenaga yang relatif berkualitas, karena kesenjangan insentif. 

Kalau demikian, pembangunan pedesaan di masa datang memerlukan terobosan-terobosan. Pertama, mengubah pandangan bahwa (agak sedikit radikal) dengan mengutamakan yang di belakang, sehingga secara berangsur pepatah "adhoh watu, cedha ratu" dapat direduksi secara lebih berarti. Kedua, pembangunan pedesaan yang terintegrasi perlu, tetapi perlu waktu yang lebih panjang dan kesabaran. Oleh karena itu, keterpaduan dalam waktu perlu dimasukkan. Proyek tidak hanya berdasarkan anggaran tahunan, kemudian "selesai", kalau perlu ada kesinambungan yang terintegratif juga. Ketiga, memprioritaskan wilayah yang kurang tidak berdaya secara ekonomis, apakah karena terisolasi atau over eksploitasi terhadap sumberdaya alamnya. Keempat, pengembangan sumberdaya manusia saja belum cukup, tanpa didukung distribusi harta produktif dan penyediaan prasarana dan sarana di pedesaan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan buruh tani yang semakin meningkat. Program transmigrasi tampaknya merupakan salah satu penjabaran yang dimaksud. Kelima, membangkitkan budaya bersaing, tetapi tetap bersanding dalam asas kekeluargaan, sehingga hal ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Keenam, pembenahan kembali prasarana dan struktur pemerintahan desa, dan kalau perlu Undang-Undangnya pun direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan keterbukaan guna mendukung munculnya demokrasi desa yang mendorong sikap dan perilaku partisipatif yang utuh. Ketujuh, gaya kepemirnpinan parternalistik yang positif kadang-kadang memang perlu, tetapi seyogyanya dikurangi dan pendekatan atas-bawah pun perlu diimbangi dengan pendekatan bawah-atas sesuai dengan kemajuan pembangunan desa masing-masing.

Daftar Kepustakaan 
  • Chambers, R. (1980). Rural poverty unperceived: Problems and Remedies, Work Bank Staff Working Paper No. 400: Washington. 
  • Danusaputro, ST. Munadjat. (1977). Hubungan timbal-balik antara Hukum dan kenyataan-kenyataan masyarakat untuk hukum ketahanan nasional, Majalah Ketahanan Nasional, 20(6), 30-56. 
  • Djojohadikusumo, Sumitro (1977). Ketahanan Nasional di bidang ekonomi, makalah pada wawancara TVRI, 25 April: lakarta. 
  • Hadiwegeno, Soetatwo dan Agus Pakpahan (1993). Identifikasi wilayah miskin di Indonesia, Prisma, 3(12). 23-56. 
  • Hasibuan, Nuriman. (1989). Industrialisasi pedesaan Luar Jawa: Kondisi Kinerja dan Prospek. Makalah pada simposium Industrialisasi pedesaan, IPB: Bogor. 
  • _____________.(1990). Peranan Industri Kerajinan pada Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Kawasan Sumatra dan Sekitarnya. Makalah pada seminar nasional tentang Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sumatra, 5-8 Maret: Brastagi. 
  • _____________. (1992). Social Development and income distribution in Indonesia. Makalah seminar pada The third convention of The East Asian Economic Association 20-21 Agustus: Seoul. 
  • Mubyarto. (1991). Masalah dan tantangan pembangunan pedesaan dalam PJP II, Makalah Seminar pada Pembangunan Masyarakat Desa Dalam Menyongsong Pembangunan nasional Jangka Panjang Tahap II. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa: Yogyakarta. 
  • Rahardjo, Dawam (1991). Pemerintahan desa dalam perubahan sosial budaya, Makalah Seminar tentang Optimalisasi Peranan Desa: Malang. 
  • Sayogyo. (1993). Pemikiran tentang kemiskinan di Indonesia, Prisma, 3 (12).3-9
  • Swarso. (1980). Tinjauan tentang kebutuhan akan teori ketahanan nasional, Majalah Ketahanan Nasional, 29(9), 68-84. 
  • Soebroto, R. (1986). Kepemimpinan pamong desa sebagai komunikator dalam distribusi pemerataan hasil-hasil pesbangunan di pedesaan, Makalah seminar, FISIPOL UGM: Yogyakarla. 
  • Tjondronegoro, Sediono P. (1990). Revolusi hijau dan perubahan sosial di pedesaan Jawa, Prisma, 2(9). 3-14. 
  • _____________ .(1991). Kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia, 1976-1990, Biro Pusat Statistik: Jakarta. 
  • _____________.(1993). Profil kependudukan lndonesia, Biro Pusat Statistik: Jakarta. 
  • _____________.(1982). Pokok-pokok pengertian dan sejarah perkembangan wawasan nusantara, Majalah Ketahanan Nasional, 37(11). 28-35. 
  • _____________ . (1992). World Development Report Development and The Environment, World Bank: Washington.