Articles by "makalah"
Showing posts with label makalah. Show all posts
no image
1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat.

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil. 

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) pengelolaan pulau-pulau kecil diharapkan dapat berfungsi sebagai referensi nasional (national reference) atau pedoman bagi kegiatan lintas sektor baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan pulau-pulau kecil. Sampai saat ini belum ada referensi yang integratif dan disepakati secara nasional sebagai dasar kebijakan dan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil, sehingga menyebabkan upaya pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.

Dalam mengembangkan kerjasama lintas sektor pusat dan daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, maka Jakstranas menjadi acuan dalam penyusunan rencana strategis, rencana tata ruang dan zona, rencana pengelolaan, rencana aksi dan rencana bisnis.

1.2. RUANG LINGKUP
Dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil maka diperlukan suatu landasan yang kuat dan terpadu sebagai pedoman atau panduan bagi pemangku kepentingan dalam mengembangkan pulau-pulau kecil. Landasan tersebut haruslah merupakan kebijakan dan strategi nasional, sehingga dapat diadopsi dan dilaksanakan baik oleh kalangan Pemerintah, masyarakat maupun swasta/dunia usaha. Landasan tersebut menjadi sangat strategis mengingat peraturan perundangan yang khusus tentang pengelolaan pulau-pulau kecil belum tersedia.

Pada dasarnya kebijakan dan strategi nasional diarahkan untuk dapat menjawab berbagai isu dan permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia seperti keterbatasan sarana dan prasarana wilayah, keterbatasan ketersediaan dana pembangunan, konflik antarpihak dan lain lain. 

Dokumen kebijakan dan strategi nasional pengelolaan pulau-pulau kecil ini tidak menyajikan jenis-jenis pengelolaan pulau-pulau kecil yang spesifik termasuk rincian kegiatannya karena hal tersebut merupakan putusan yang harus diambil daerah disesuaikan dengan situasi, kondisi dan karakteristik pulau-pulau kecil bersangkutan. Dokumen ini lebih diarahkan kepada para pemegang kebijakan di daerah agar dapat mengelola pulau-pulau kecil di wilayahnya sesuai dengan peruntukannya dengan memperhatikan kepentingan daerah, regional dan nasional sehingga pengelolaannya berkelanjutan dan menimbulkan dampak positif terhadap aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

1.3. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dan sasaran penyusunan Jakstranas pengelolaan pulau-pulau kecil adalah menyediakan pedoman/panduan dan acuan/referensi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu : pemerintah, masyarakat, dan swasta/dunia usaha dalam penyusunan rencana strategis, rencana tata ruang dan zona, rencana pengelolaan, rencana aksi dan rencana bisnis untuk mencapai tujuan nasional dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.

1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat.

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil. 

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) pengelolaan pulau-pulau kecil diharapkan dapat berfungsi sebagai referensi nasional (national reference) atau pedoman bagi kegiatan lintas sektor baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan pulau-pulau kecil. Sampai saat ini belum ada referensi yang integratif dan disepakati secara nasional sebagai dasar kebijakan dan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil, sehingga menyebabkan upaya pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.

Dalam mengembangkan kerjasama lintas sektor pusat dan daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, maka Jakstranas menjadi acuan dalam penyusunan rencana strategis, rencana tata ruang dan zona, rencana pengelolaan, rencana aksi dan rencana bisnis.

1.2. RUANG LINGKUP
Dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil maka diperlukan suatu landasan yang kuat dan terpadu sebagai pedoman atau panduan bagi pemangku kepentingan dalam mengembangkan pulau-pulau kecil. Landasan tersebut haruslah merupakan kebijakan dan strategi nasional, sehingga dapat diadopsi dan dilaksanakan baik oleh kalangan Pemerintah, masyarakat maupun swasta/dunia usaha. Landasan tersebut menjadi sangat strategis mengingat peraturan perundangan yang khusus tentang pengelolaan pulau-pulau kecil belum tersedia.

Pada dasarnya kebijakan dan strategi nasional diarahkan untuk dapat menjawab berbagai isu dan permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia seperti keterbatasan sarana dan prasarana wilayah, keterbatasan ketersediaan dana pembangunan, konflik antarpihak dan lain lain. 

Dokumen kebijakan dan strategi nasional pengelolaan pulau-pulau kecil ini tidak menyajikan jenis-jenis pengelolaan pulau-pulau kecil yang spesifik termasuk rincian kegiatannya karena hal tersebut merupakan putusan yang harus diambil daerah disesuaikan dengan situasi, kondisi dan karakteristik pulau-pulau kecil bersangkutan. Dokumen ini lebih diarahkan kepada para pemegang kebijakan di daerah agar dapat mengelola pulau-pulau kecil di wilayahnya sesuai dengan peruntukannya dengan memperhatikan kepentingan daerah, regional dan nasional sehingga pengelolaannya berkelanjutan dan menimbulkan dampak positif terhadap aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

1.3. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dan sasaran penyusunan Jakstranas pengelolaan pulau-pulau kecil adalah menyediakan pedoman/panduan dan acuan/referensi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu : pemerintah, masyarakat, dan swasta/dunia usaha dalam penyusunan rencana strategis, rencana tata ruang dan zona, rencana pengelolaan, rencana aksi dan rencana bisnis untuk mencapai tujuan nasional dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.

2. GAMBARAN STRATEGIS PULAU-PULAU KECIL
2.1. PENGERTIAN UMUM PULAU-PULAU KECIL
Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat nelayan. 

2.2. POTENSI PULAU-PULAU KECIL
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau (mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia.

2.2.1. Potensi Sumberdaya Hayati Pulau-pulau Kecil
Terumbu karang
Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat.

Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah dan asuhan), batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika. Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.

Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. 

Di kawasan pulau-pulau kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia bagian timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll).

Padang Lamun (Seagrass)
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara sexual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun dan berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang. 

Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen detritus dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.

Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat pasir.

Hutan Mangrove
Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Disamping itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya.

Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan organiknya) relatif rendah dan memiliki substrat pasir.

2.2.2. Sumberdaya Perikanan
Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub-tropis berasosiasi dengan terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain-lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.

2.2.3. Potensi Sumberdaya Nir Hayati
Pertambangan
Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil di dunia maupun di Indonesia pada propinsi-propinsi tertentu. Dalam pemanfaatan potensi mineral di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang ketat dan dilakukan secara berkelanjutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain-lain.

Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain : timah di P. Kundur, P. Karimun (Riau); nikel di P. Gag (Papua), P. Gebe (Maluku Utara), P. Pakal (Maluku); batubara di P. Laut, P. Sebuku (Kalsel); emas di P. Wetar, P. Haruku (Maluku) dan migas di P. Natuna (Riau).

Energi Kelautan
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah Konversi Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut.

2.2.4. Jasa-jasa Lingkungan
Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. Jenis-jenis pariwisata yang dapat dikembangkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah :

Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya.

Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang sangat sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef, kawasan negara-negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti Hawai, serta Kawasan Meditterranean. Belajar dari pengalaman di kawasan tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil (Small Islands State)”, kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterranea. 

Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang cukup potensial. Beberapa diantaranya telah dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk Cendrawasih, TN Kep. Wakatobi (Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep. Kapoposang (Sulsel), TWA Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer, Trawangan (NTB), TWA P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.

Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di pulau-pulau kecil misalnya TN Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World Herritage Site) merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di P. Rinca dan P. Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari (diving). Kondisi Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata sebagai kawasan “Ekowisata Terestrial”. Dikawasan tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda, sehingga merupakan “wisata camping” yang dikemas secara mewah. Paket wisata di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat terkenal di mancanegara sehingga dapat memberikan devisa bagi negara.

Wisata Kultural
Pulau-pulau kecil merupakan suatu prototipe konkrit dari suatu unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salahsatu komponennya yang sangat signifikan adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil tentunya mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi.

Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di Pulau Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik “Berburu Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut. Keunikan budaya dan kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para wisatawan.

2.3. ARTI PENTING PULAU-PULAU KECIL
2.3.1. Fungsi Pertahanan dan Keamanan
Dari sudut pertahanan dan keamanan, pulau-pulau kecil terutama di perbatasan memiliki arti penting sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran orang dan barang misalnya di Sabang, Sebatik dan Batam yang juga rawan terhadap penyelundupan barang-barang ilegal, narkotika, senjata, dan obat-obatan terlarang. Sebanyak 92 buah pulau kecil terletak di perbatasan dengan negara lain yang berarti bahwa pulau-pulau kecil tersebut memiliki arti penting sebagai garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan NKRI. 

2.3.2. Fungsi Ekonomi
Wilayah pulau-pulau kecil memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan, pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang ramah lingkungan. Di samping itu, pulau-pulau kecil juga dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah.

2.3.3. Fungsi Ekologi
Secara ekologis, ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif, dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Hal ini terkait erat dengan potensi/karakteristik penting pulau-pulau kecil, yang merupakan habitat dan ekosistem (terumbu karang, lamun, mangrove) yang menyediakan barang (ikan, minyak, mineral logam) dan jasa lingkungan (penahan ombak, wisata bahari) bagi masyarakat.

2.4. ISU-ISU PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
Pengelolaan pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan isu-isu yang sedang berkembang baik dari segi politik, pertahanan, keamanan, lingkungan, maupun sosial, ekonomi dan budaya.

2.4.1. Isu Global
Beberapa Konvensi Internasional menjadi dasar dalam pengelolaan pulau-pulau kecil seperti konvensi yang berkaitan dengan perlindungan spesies tertentu, penetapan kawasan terlarang dan/atau kawasan terbatas, emisi senyawa kimia yang dapat menimbulkan iklim global, hukum pengendalian pencemaran akibat angkutan di laut dan lain lain.

Hasil-hasil KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil telah menghasilkan beberapa dokumen penting antara lain ; Prinsip-prinsip Rio, Konvensi Perubahan Iklim dan Konvensi Keanekaragaman Hayati, Prinsip-prinsip Kehutanan, dan Agenda 21. Pertemuan World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diprakarsai oleh PBB juga menghasilkan dokumen-dokumen penting yang menjadi dasar dan panduan upaya bersama masyarakat dunia menjalankan pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam Sidang Khusus Majelis Umum PBB ke-22 tahun 1999 yang membahas pelaksanaan Program Aksi Barbados mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Negara-negara Berkembang Kepulauan Kecil (SIDS), telah menghasilkan State of Progress and initiatives for the Future Implementation of the Programme of Action for Sustainable Development of Small Island Developing States, untuk jangka waktu 5 tahun (1999-2004). Beberapa masalah prioritas yang membutuhkan perhatian khusus yaitu : a) perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut, b) bencana alam dan kerusakan lingkungan, c) sumberdaya air bersih, d) ekosistem pesisir dan terumbu karang, e) sumberdaya energi terbarukan, dan f) pariwisata untuk melindungi lingkungan dan budaya.

Kenaikan suhu permukaan bumi yang dikenal dengan fenomena pemanasan global (global warming) telah menyebabkan naiknya permukaan air laut karena ekspansi thermal permukaan air laut dan terjadinya pencairan es di kutub akibat berbagai aktivitas di daratan seperti industrialisasi, penebangan dan kebakaran hutan, pencemaran udara dan penggunaan gas/bahan-bahan kimia lainnya. Kecenderungan global naiknya permukaan air laut mencapai 13 cm per 10 tahun, sedangkan kenaikan suhu dunia mencapai 0,019 oC per tahun. Di Indonesia, gejala kenaikan permukaan air laut mencapai 1-3 cm per tahun dan kenaikan suhu mencapai 0,03 oC per tahun.

Naiknya permukaan air laut dapat menyebabkan dampak yang serius terhadap keberadaan pulau-pulau kecil, karena sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia berupa dataran rendah dan memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut (dpl). Dengan naiknya permukaan laut beberapa cm, akan berdampak pada berkurangnya luasan daratan pulau-pulau kecil secara signifikan.

Isu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ) akan memacu percepatan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah perbatasan karena sangat strategis dalam menarik investor luar negeri sehingga arus barang dan jasa meningkat. Sebagai contoh, potensi Kawasan Sabang sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

2.4.2. Isu Regional
Pengelolaan pulau-pulau kecil yang kurang memperhatikan aspek lingkungan dan mempunyai keterkaitan dengan wilayah lain dalam lingkup regional, misalnya kegiatan penambangan pasir di laut yang tidak terkendali dapat menyebabkan lenyapnya pulau-pulau kecil terluar (misalnya Pulau Nipa, di Riau) sehingga akan mempengaruhi keberadaan titik dasar (TD) yang merugikan dalam penetapan batas maritim dengan negara tetangga.

Dengan akan diberlakukannya pasar bebas ASEAN dan Asia Pasifik serta meningkatnya kerjasama ekonomi sub-regional IMT-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan AIDA, maka akan memacu pengembangan pulau-pulau kecil terutama dalam kegiatan investasi.

Masalah geo-politik yang berkaitan dengan belum tuntasnya penetapan sebagian perbatasan maritim dengan negara tetangga, sampai saat ini masih menjadi potensi sumber sengketa. Penetapan batas maritim antar negara dan pemeliharaan Titik Dasar (Base Point) di pulau-pulau perbatasan yang menjadi titik referensi bagi penarikan batas maritim negara harus segera dituntaskan. Dengan demikian akan mereduksi potensi permasalahan perbatasan dengan negara lain.

2.4.3. Isu Nasional
Dengan jumlah pulau dan potensi sumberdaya alamnya yang besar serta lokasinya yang tersebar sehingga sulit untuk mencapainya, maka sudah saatnya Pemerintah memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu nasional yang berkaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu :
  1. Belum terkoordinasinya bank data (database) pulau-pulau kecil yang berisi nama, luas, potensi, karakteristik, peluang usaha, permasalahan dan lain lain;
  2. Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal, belum berpenghuni atau jarang penduduknya namun memiliki potensi sumberdaya alam yang baik;
  3. Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan laut yang dapat menghubungkan dengan pulau induk (mainland) dan antara pulau-pulau kecil;
  4. Beberapa pulau kecil telah menjadi sengketa antar propinsi dan kabupaten/kota;
  5. Belum jelasnya kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antara Pemerintah dan Pemerintah Propinsi/ Kabupaten/ Kota ;
  6. Sebagian pulau-pulau kecil terluar yang memiliki fungsi strategis karena berkaitan dengan batas antar Negara terancam hilang karena penambangan pasir yang tak terkendali;
  7. Terjadinya pencemaran di sekitar perairan pulau-pulau kecil akibat meningkatnya pembuangan limbah padat dan cair;
  8. Pulau-pulau kecil berpotensi menjadi tempat kegiatan yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional;
  9. Masih terbatasnya sistem pemantauan, patroli dan pengawasan (Monitoring, Controling dan Surveillance/MCS) di pulau-pulau kecil.
Beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil seringkali masih bersifat sektoral sehingga berpotensi untuk memicu konflik kepentingan, misalnya UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih terintegrasi.

2.4.4. Isu Daerah
Diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memunculkan beberapa isu dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yaitu:
  1. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta kelembagaan daerah dan masyarakat dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil;
  2. Tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka peningkatan pendapatan daerah;
  3. Ketersediaan data, informasi dan peraturan yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil
  4. Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di bidang keamanan, pemanfaatan sumberdaya, dan peningkatan kualitas lingkungan;
  5. Terjadinya sengketa antar daerah tentang status kepemilikan dan kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dalam rangka mengantisipasi isu daerah yang berkembang maka diperlukan identifikasi ketentuan dan peraturan hukum yang bersifat lintas daerah yang mengatur aspek pesisir dan pulau-pulau kecil serta identifikasi kegiatan-kegiatan yang dampaknya dirasakan melewati batas administratif, misalnya kegiatan di Kep. Seribu (Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Banten). 

2.5. PERMASALAHAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
Disamping memiliki potensi yang besar, pulau-pulau kecil memiliki kendala dan permasalahan yang cukup kompleks yaitu :
(1). Belum Jelasnya Definisi Operasional Pulau-pulau Kecil
Definisi pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini masih mengacu pada definisi internasional yang pendekatannya pada negara benua, sehingga apabila diterapkan di Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan menjadi tidak operasional karena pulau-pulau di Indonesia luasannya sangat kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau yang berada di negara benua. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Apabila mengikuti definisi yang ada, maka pilihan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan pulau-pulau kecil sangat terbatas, yang tentu saja akan mengakibatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi lambat.

(2). Kurangnya Data dan Informasi tentang Pulau-pulau Kecil
Data dan Informasi tentang pulau-pulau kecil di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai contoh, pulau-pulau kecil di Indonesia masih banyak yang belum bernama, hal ini menjadi masalah tersendiri dalam kegiatan identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil. Lebih jauh lagi akan menghambat pada proses perencanaan dan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Permasalahan lain dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia adalah belum jelasnya jumlah pulau dan panjang garis pantai, yang sangat berpengaruh dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

(3). Kurangnya Keberpihakan Pemerintah terhadap Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Orientasi pembangunan pada masa lalu lebih difokuskan pada wilayah daratan (mainland) dan belum diarahkan ke wilayah laut dan pulau-pulau kecil. Masih rendahnya kesadaran, komitmen dan political will dari Pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil inilah yang menjadi hambatan utama dalam pengelolaan potensi pulau-pulau kecil.

(4). Pertahanan dan Keamanan
Pulau-kecil di perbatasan masih menyisakan permasalahan di bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum terselesaikannya permasalahan penetapan sebagian perbatasan maritim dengan negara tetangga, banyaknya pulau-pulau perbatasan yang tidak berpenghuni, sangat terbatasnya sarana dan prasarana fisik serta rendahnya kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran adanya okupasi negara lain dan memicu berkembangnya permasalahan yang sangat kompleks, tidak saja berkaitan dengan bagaimana upaya memeratakan hasil pembangunan, tetapi juga aspek pertahanan keamanan dan ancaman terhadap keutuhan NKRI. 

(5). Disparitas Perkembangan Sosial Ekonomi
Letak dan posisi geografis pulau-pulau kecil yang sedemikian rupa menyebabkan timbulnya disparitas perkembangan sosial ekonomi dan persebaran penduduk antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

(6). Terbatasnya Sarana dan Prasarana Dasar
Pulau-pulau kecil sulit dijangkau oleh akses perhubungan karena letaknya yang terisolir dan jauh dari pulau induk. Terbatasnya sarana dan prasarana seperti jalan, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, pasar, listrik, media informasi dan komunikasi menyebabkan tingkat pendidikan (kualitas SDM), tingkat kesehatan, tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pulau-pulau kecil rendah.

(7). Konflik Kepentingan
Pengelolaan pulau-pulau kecil akan berdampak pada lingkungan, baik positif maupun negatif sehingga harus diupayakan agar dampak negatif dapat diminimalkan dengan mengikuti pedoman-pedoman dan peraturan-peraturan yang dibuat. Di samping itu, pengelolaan pulau-pulau kecil dapat menimbulkan konflik budaya melalui industri wisata yang cenderung bertentangan dengan kebudayaan lokal; dan menyebabkan terbatasnya atau tidak adanya akses masyarakat terutama pulau-pulau kecil yang telah dikelola oleh investor.

(8). Degradasi Lingkungan Hidup
Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dan tidak ramah lingkungan yang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, belum adanya kebijakan yang terintegrasi lintas sektor di pusat dan daerah serta rendahnya kesejahteraan masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan hidup. 

3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
3.1. VISI DAN MISI
Sebagai sebuah proses yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan, maka pengelolaan pulau-pulau kecil mensyaratkan adanya kesamaan dan penyatuan visi dalam setiap tahap pelaksanaannya. Visi tersebut haruslah terukur, dapat dievaluasi, bersifat holistik, berkelanjutan dan mampu mengintegrasikan semua bidang terkait.

Visi pengelolaan pulau-pulau kecil adalah “Terwujudnya Pemanfaatan dan Pelestarian Pulau-pulau Kecil bagi Kesejahteraan, Keamanan Masyarakat dan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi pengelolaan pulau-pulau kecil adalah :
  1. Mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional dan ketahanan bangsa terutama di wilayah pulau-pulau kecil perbatasan antar negara; 
  2. Meningkatkan kesejahteraan dan peranserta masyarakat setempat dan dunia usaha untuk mengurangi disparitas sosial ekonomi dan persebaran penduduk antar pulau; 
  3. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pulau-pulau kecil melalui pemberdayaan masyarakat dan berkembangnya investasi swasta yang dibarengi dengan upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan; 
  4. Meningkatkan nilai tambah dan dampak ganda (multiplier effect) dari setiap proses pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dengan akulturasi budaya dan penguasaan teknologi;
  5. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di pusat dan daerah dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil; 
  6. Mempertahankan fungsi konservasi pada pulau-pulau kecil yang memiliki karakteristik unik (unique);
  7. Menyediakan perangkat hukum yang memadai bagi upaya pengelolaan pulau-pulau kecil disertai upaya penegakannya.
3.2. SASARAN
Pengelolaan pulau-pulau kecil diarahkan untuk mencapai sasaran jangka pendek (sampai tahun 2005) dan sasaran jangka panjang (sampai tahun 2010). 

Sasaran jangka pendek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi:
  1. Terciptanya koordinasi program dan kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil prioritas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
  2. Tersusunnya profil, data base dan rencana pengelolaan pada pulau-pulau kecil prioritas;
  3. Terselesaikannya penetapan status dan pengukuran ulang Titik Dasar (TD) pada pulau-pulau kecil tertentu di wilayah perbatasan;
  4. Meningkatnya peranserta dan akses masyarakat dan swasta/dunia usaha dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
Sasaran jangka panjang dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi :
  1. Terselesaikannya penamaan pulau-pulau kecil (toponimi pulau); 
  2. Terlaksananya pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berbasis daya dukung lingkungan ;
  3. Terwujudnya status dan kepastian batas wilayah administratif dan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan antar negara;
  4. Tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa memiliki di kalangan masyarakat terutama di pulau-pulau kecil perbatasan antarnegara terhadap eksistensi NKRI;
  5. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil;
  6. Terwujudnya peningkatan kualitas SDM, teknologi dan iklim investasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil;
  7. Terwujudnya penataan dan pentaatan hukum serta aturan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. 
3.3. KEBIJAKAN
Berbagai inisiatif pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilihat dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan kepentingan pembangunan ekonomi serta geopolitik nasional secara lebih luas yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil yang harus dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan dunia usaha/swasta yaitu : eksistensi pulau kecil harus dipertahankan sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang dimilikinya, efisien dan optimal secara ekonomi (economically sound), berkeadilan dan dapat diterima secara sosial-budaya (socio-culturally just and accepted), dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly).

Berdasarkan misi yang telah ditetapkan, maka pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, dilakukan melalui beberapa kebijakan, yaitu:
  • Meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan untuk menjaga integritas NKRI;
  • Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara terpadu, optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat berbasis pelestarian dan perlindungan lingkungan;
  • Meningkatkan pengembangan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim investasi yang kondusif;
  • Meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan penegakan hukum.
3.4. STRATEGI
3.4.1. Strategi Umum
Mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan, maka strategi umum yang dilakukan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil adalah :
(1) Mewujudkan keterpaduan dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam dan kelembagaan; 
Pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil dilakukan secara menyeluruh/komprehensif dari berbagai aspek pembangunan sehingga terwujud suatu mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil yang optimal dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan, misalnya, aspek perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, perhubungan, pemukiman, pertanian dan lain-lain. 

(2) Melaksanakan penataan dan penguatan kelembagaan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha;
Kelembagaan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha secara umum masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun peran sertanya dalam proses pembangunan. Peningkatan kemampuan pemangku kepentingan melalui penyuluhan, pelatihan dan pendidikan baik formal maupun non formal sangat diperlukan agar pengelolaan pulau-pulau kecil terlaksana dengan baik. Peningkatan kelembagaan pemerintah di daerah diarahkan dalam rangka kerjasama yang harmonis antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupaten/kota, serta peningkatan kemampuan daerah dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil secara mandiri.

(3) Melakukan penyusunan basis data (database) dan penataan ruang (laut, pesisir dan pulau-pulau kecil);
Ketersediaan database pulau-pulau kecil masih tersebar di berbagai instansi baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu kerjasama dalam menginventarisir dan mengumpulkan semua data dan informasi dalam bentuk database sehingga pemanfaatan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara efisien dan efektif karena didukung oleh data yang akurat. Dalam rangka penanganan dan pengelolaan pulau-pulau kecil, maka penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan (pemanfaatan), dan pengendalian perlu dilakukan. Hal ini dapat membantu Pemerintah dalam menentukan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya, sehingga secara konseptual, pengelolaan pulau-pulau kecil dapat mengintegrasikan semua kepentingan di wilayah darat, pesisir dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi.

(4) Melakukan pengembangan dan penataan sarana dan prasarana dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;
Salah satu kendala dalam pengelolaan pulau-pulau kecil adalah masih minimnya ketersediaan sarana dan prasarana transportasi seperti kapal reguler, ketersediaan tambatan/dermaga, mercu suar untuk keselamatan pelayaran, listrik, air bersih dan lain lain. Oleh karena itu dukungan dan peran Pemerintah Daerah dalam penyediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan sangat diperlukan

(5) Menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat dan sumberdaya lokal dengan memperhatikan hukum adat/ kearifan lokal;
Pengelolaan pulau-pulau kecil terutama bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuninya. Oleh karena itu keterlibatan aktif masyarakat sejak tahap perencanaan sampai dengan tahap monitoring dan evaluasi sangat diperlukan sehingga kegiatan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi sumberdaya lokal yang selanjutnya akan terbangun rasa memiliki terhadap sumberdaya yang ada.

(6) Melaksanakan pembinaan wilayah dan peningkatan kualitas SDM untuk kepentingan pertahanan negara secara terpadu dan terus menerus;
Pembinaan wilayah dan kualitas SDM secara optimal dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan yang dinamis. Pembinaan tersebut dilaksanakan melalui pendidikan formal dan non formal, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan masyarakat oleh aparat keamanan, guru sekolah, pemuka agama dan aparat pemerintahan daerah secara bersama-sama. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan pola pikir, pola sikap dan pola tindak untuk mencegah gangguan-gangguan dan ancaman dalam membangun stabilitas keamanan kawasan pulau-pulau kecil, termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil perbatasan, sekaligus sebagai upaya dalam peningkatan kualitas SDM di pulau-pulau kecil.

(7) Meningkatkan partisipasi dan akses masyarakat terhadap informasi, modal, pemasaran dan teknologi;
Dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, keterlibatan/partisipasi masyarakat sejak proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta evaluasi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar pengelolaan pulau-kecil lebih akuntabel dan sesuai dengan proses demokratisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil adalah terisolasinya kawasan tersebut dari akses informasi dan teknologi yang disebabkan belum tersedianya fasilitas transportasi dan komunikasi. Oleh karena itu perlu dibangun sarana dan prasarana yang memadai sehingga perkembangan informasi dan teknologi dapat dinikmati masyarakat. Yang pada gilirannya akan meningkatkan arus modal dan pemasaran. Dengan demikian akan merangsang minat para investor untuk berinvestasi di pulau-pulau kecil.

(8) Mewujudkan peluang dan iklim usaha yang kondusif bagi investasi;
Pengembangan investasi di pulau-pulau kecil diharapkan mampu memberikan terobosan dalam meningkatkan kontribusi sektor kelautan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam perspektif ekonomi makro, peranan investasi ditentukan oleh kebijakan yang mengatur tingkat investasi dan pengembalian sosial serta penyerapan tenaga kerja. Dalam kerangka otonomi daerah, adanya pedoman dan peraturan investasi mutlak diperlukan untuk menjaga kesalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.

Pembangunan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan upaya membangun ekonomi lokal maka komoditas yang akan dikembangkan harus berbasis pada permintaan pasar lokal, nasional dan regional. Hal ini perlu didukung dengan pemberian kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan sarana dan prasarana, kemudahan administrasi, adanya kejelasan peraturan dan kepastian hukum, sampai pada tersedianya jaminan kelayakan investasi.

(9) Melaksanakan inventarisasi, kajian, pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi;
Ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi, memiliki resiko lingkungan yang tinggi, dan terbatasnya daya dukung pulau (ketersediaan air tawar dan tanaman pangan), sehingga sangat rentan terhadap segala bentuk perubahan baik disebabkan faktor alam maupun manusia. Adanya inventarisasi dan kajian terhadap penetapan kawasan konservasi baru sangat membantu dalam menjaga kelestarian ekosistem pulau-pulau kecil yang bersifat khas tersebut. Perencanaan pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi laut di wilayah pulau-pulau kecil perlu dilakukan secara terpadu antara pusat dan daerah. Kajian kebutuhan pengembangan kawasan konservasi perlu dilakukan secara nasional, dengan mempertimbangkan karakteristik alamiah biofisik dan keterkaitan fungsi dukungan biologis dari beberapa kawasan perairan yang dapat dipandang sebagai suatu kesatuan kawasan ekologis (eco-region). Sebagai contoh untuk mendukung kawasan eco-region laut Sulu – Sulawesi (antara Indonesia, Malaysia dan Filipina), di pihak Indonesia dibutuhkan pengembangan beberapa kawasan konservasi yang meliputi pesisir dan pulau-pulau kecil di propinsi Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur

(10) Menyediakan perangkat hukum yang memadai dan melakukan penegakan hukum dengan memperhatikan hukum adat dan hak ulayat;
Guna menghindari terjadinya ketimpangan dan konflik kepentingan serta optimalisasi pelaksanaan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, maka perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan di pusat dan daerah serta memperhatikan hukum adat dan hak ulayat di daerah. Dalam mewujudkan pembangunan Indonesia yang berbasis kelautan, adanya perangkat hukum, dukungan dan komitmen institusi-institusi negara seperti TNI, POLRI, kejaksaan dan pengadilan sebagai lembaga penegak hukum dan peraturan di laut mutlak diperlukan. Penegakan hukum harus dilakukan secara holistik, menghindari tumpang tindih kebijakan dan kepentingan, serta seminimal mungkin menghindari konflik horisontal dan vertikal. Dengan adanya perangkat hukum yang memadai dan penegakan hukum yang tegas, maka akan membawa dampak yang positif secara ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan.

3.4.2. Strategi Khusus
Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal dilihat dari faktor-faktor geografis, ketersediaan sumberdaya alam dan keterbatasan sumberdaya manusia baik jumlah maupun kualitasnya. 

Sebagai penjabaran dari kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil pada beberapa kawasan tertentu maka dilaksanakan strategi khusus yang bervariasi berdasarkan pada tipologi, pembentukan dan pengelolaan pulau-pulau kecil yaitu : (1) kawasan pengembangan ekonomi; (2) kawasan perbatasan; (3) kawasan rawan bencana; dan (4) kawasan konservasi

Kawasan Pengembangan Ekonomi
Pengembangan potensi ekonomi pulau-pulau kecil diarahkan pada pengembangan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau tersebut. 

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini adalah di bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, kepariwisataan, industri dan perdagangan, perhubungan dan telekomunikasi, serta energi dan sumberdaya mineral.

Strategi dalam pengelolaan kawasan pengembangan ekonomi meliputi :
(1) Pengembangan potensi pertanian, peternakan dan perikanan ;
Pengembangan pertanian dan peternakan secara berkelanjutan di wilayah pulau-pulau kecil dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Kegiatan tersebut dikembangkan melalui pengolahan tanah dan pemeliharaan ternak yang seminimal mungkin dapat mengganggu kualitas perairan di sekitarnya. 

Potensi sumberdaya ikan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya perlu dikembangkan baik dari segi penangkapan maupun budidayanya. Dengan demikian, stok ikan yang secara alami merupakan salahsatu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas usaha dalam kegiatan penangkapan dapat dihindarkan.

(2) Pengelolaan potensi kehutanan berwawasan lingkungan;
Pengelolaan dan pemanfaatan potensi kehutanan harus dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan. Sebagian dari pulau- pulau kecil memiliki potensi sumberdaya hutan yang bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Namun bila pengelolaannya tidak terkontrol, maka akan mengakibatkan degradasi lingkungan baik di kawasan darat maupun perairannya. Degradasi lingkungan darat dapat menyebabkan rusaknya habitat flora dan fauna, khususnya yang bersifat endemik dan yang berada dalam ambang kepunahan. Degradasi lingkungan laut sebagai akibat pencemaran, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, dan sebagainya akhirnya bermuara pada bertambahnya desa-desa nelayan yang miskin.

(3) Pengelolaan potensi pariwisata;
Kekayaan sumber daya alam laut pulau-pulau kecil dengan kualitas keindahan dan keasliannya berpotensi menjadi tujuan wisata seperti cruising, yachting, diving, surfing, dan fishing serta marine eco-tourism. Di samping itu, wilayah pulau-pulau kecil juga mempunyai potensi wisata terrestrial, yaitu wisata dengan pemanfaatan lahan daratannya. Wisata terrestrial pulau-pulau kecil merupakan daya tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata, mengingat kawasan pulau-pulau kecil adalah pulau-pulau yang sangat sepi (bahkan tidak terjamah oleh penduduk), sehingga alamnya masih sangat asri, disamping itu juga akan banyak ditemui flora – fauna endemik di kawasan tersebut

Dengan mempertimbangkan peran ekonomis dan fungsi ekologis serta potensi sumberdaya pulau-pulau kecil tersebut maka kegiatan kepariwisataan dilakukan melalui pendekatan ekosistem, pemberdayaan masyarakat setempat, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.

(4) Pengembangan industri dan perdagangan;
Kegiatan pengembangan industri dan perdagangan di wilayah pulau-pulau kecil diarahkan pada kegiatan yang sesuai dengan jenis dan skala ekonomi, ketersediaan sumberdaya lokal, daya dukung kawasan, dampak terhadap lingkungan, jumlah dan kualitas sumberdaya manusia yang tersedia, pasar lokal dan regional yang akan dituju, sarana dan prasarana perhubungan yang menunjang dan lain lain.

Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah dan antar pelaku serta untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memperluas basis ekonomi sehingga dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam peningkatan ekonomi daerah, ketahanan ekonomi nasional, dan integritas wilayah NKRI

(5) Perhubungan dan telekomunikasi;
Sektor perhubungan dan telekomunikasi merupakan pendukung bagi sektor riil dalam pelayanan jasa transportasi dan telekomunikasi. Penyediaan sistem perhubungan perintis dalam mendukung stabilitas, pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan pulau-pulau kecil sangat penting.

Pengembangan perhubungan dan telekomunikasi di pulau-pulau kecil diharapkan akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Selain itu juga akan mendorong penataan potensi kemampuan sarana transportasi darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi.

(6) Pengelolaan energi dan sumberdaya mineral (ESDM).
Kegiatan usaha sektor ESDM pada daerah yang remote termasuk di wilayah pulau-pulau kecil merupakan penggerak utama (prime mover) pembangunan, yaitu dengan membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai multiplying effect kegiatan ESDM. Kegiatan sektor ESDM bersifat temporer karena dibatasi oleh umur tambang, maka paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan transformasi sumberdaya tidak terbarukan menjadi sumberdaya terbarukan yang berkelanjutan, dengan menjaga keseimbangan, keuntungan komunitas dan bisnis, serta harmonis dengan lingkungan alam. Keberlanjutan roda kegiatan ekonomi pada wilayah pasca tambang akan berdaya-guna dan berhasil-guna dengan perencanaan secara terpadu, sinergi dan optimal diantara pemangku kepentingan. Dengan demikian kemanfaatan sektor ESDM bukan saja dirasakan karena ada kegiatan pertambangan, tetapi juga karena pernah adanya penambangan.

Kawasan Perbatasan
Pengelolaan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan terutama pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dilakukan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, menjaga pertahanan dan keamanan negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengembangkan peluang usaha melalui kerjasama bilateral dan mengurangi disparitas pengelolaan antar wilayah. Pulau-pulau kecil di kawasan ini rawan terhadap ancaman ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. 

Strategi dalam pengelolaan kawasan perbatasan meliputi: 
(1) Meningkatkan pengawasan dan pengamanan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan;
Pulau-pulau kecil di perbatasan sangat rentan terhadap pengaruh negara tetangga baik secara politik, pertahanan, keamanan, maupun sosial, ekonomi dan budaya, sehingga perlu mendapat perhatian khusus terutama dari segi pengawasan dan pengamanan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan membangun pilar-pilar yang lebih monumental di pulau-pulau perbatasan, misalnya rambu suar, menara suar, mercusuar, pos-pos pengamanan, meningkatkan patroli pengawasan dan pengamanan pulau–pulau kecil, menempatkan penduduk pada pulau-pulau kecil potensial yang belum berpenghuni sekaligus sebagai pengawas dan pengaman pulau tersebut.

Hal ini perlu dilakukan untuk mengatasi setiap bentuk gangguan dan ancaman khususnya di wilayah perbatasan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan keutuhan negara. Oleh karena itu, penetapan dan penegasan batas negara sangat mendesak untuk dilakukan.

(2) Meningkatkan kerjasama bilateral di bidang pengelolaan sumberdaya alam (SDA);
Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan pada satu pulau saja tetapi harus memperhatikan keterkaitan antara pulau yang satu dengan yang lainnya, dengan gugus pulau dan daratan induknya (mainland) bahkan dengan negara tetangga terutama dalam aspek teknologi dan pemasaran. Dengan demikian, pemasaran komoditas antar pulau dapat berjalan lancar dan rantai pemasaran dapat berkembang sehingga multiplier effect baik secara sosial, ekonomi maupun budaya dapat meningkatkan nilai tambah bagi pulau yang bersangkutan.

(3) Mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Beragamnya karakteristik yang dimiliki pulau-pulau kecil baik secara fisik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan tingginya faktor penghambat yang ada, maka masyarakat lokal perlu didorong kemandiriannya melalui pendidikan dan pelatihan yang aplikatif sehingga dapat meningkatkan pendapatannya. Masyarakat lokal juga perlu dibina dalam upaya pencapaian akses terhadap informasi, modal dan teknologi pengembangan kegiatan dan usaha di wilayah pulau-pulau kecil.

Kawasan Rawan Bencana
Secara alami pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan atau samudera rentan terhadap bencana alam, seperti badai, tsunami, dan gunung meletus, sehingga diperlukan pembinaan, pengawasan dan penanggulangan.

Strategi di bidang penanganan kawasan rawan bencana alam meliputi : 
(1) Identifikasi potensi bencana pada pulau-pulau kecil;
Bencana yang terjadi di pulau-pulau kecil dapat berupa bencana alam seperti tsunami, badai, abrasi, gunung meletus, gempa, atau bencana akibat ulah manusia seperti tumpahan minyak, tanah longsor, dan lain-lain. Semua potensi bencana ini hendaknya dapat diidentifikasi baik besaran maupun kemungkinan terjadinya.

(2) Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana;
Penanggulangan bencana yang efektif adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi bencana yang ada. Oleh karena itu pada daerah rawan bencana perlu dilakukan kegiatan penyuluhan serta pemasangan tanda-tanda peringatan.

(3) Kesiapan kondisi tanggap darurat;
Masyarakat serta Pemerintah Daerah pada pulau-pulau kecil rawan bencana hendaknya mempunyai perangkat tanggap darurat dan senantiasa melakukan pelatihan-pelatihan bagi kesiapan tanggap darurat.

(4) Pemanfaatan teknologi peringatan dini dan mitigasi bencana;
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi peringatan dini dan mitigasi bencana untuk mengurangi dampak atau daya rusak dari bencana yang kemungkinan akan menimpa pulau atau masyarakat.

(5) Meningkatkan upaya rehabilitasi ekosistem.
Kerusakan ekosistem pulau-pulau kecil akibat aktivitas yang tidak ramah lingkungan seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom serta pencemaran dapat menyebabkan menurunnya jumlah dan jenis ikan. Oleh karena itu upaya rehabilitasi yang komprehensif dan terpadu baik oleh pemerintah maupun masyarakat diperlukan untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem dengan mendorong pengembangan mata pencaharian alternative.

Kawasan Konservasi 
Kawasan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terdiri dari Taman Nasional dan Taman Wisata Alam sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Strategi di bidang pengelolaan kawasan konservasi meliputi :
(1) Identifikasi dan reidentifikasi potensi keanekaragaman hayati sebagai kawasan konservasi;
Kegiatan identifikasi dan reidentifikasi sumberdaya alam terutama potensi keanekaragaman hayati pulau-pulau kecil perlu dilakukan karena wilayah ini sering dimanfaatkan untuk kegiatan tambak, pertambangan, industri dan perdagangan, pariwisata, perhubungan dan lain-lain. Selain itu, perlu dilakukan kegiatan identifikasi potensi kawasan konservasi daerah, seperti daerah perlindungan laut di Talise, Blongko, dan daerah suaka perikanan lainnya, sebagai daerah konservasi dengan tujuan untuk perlindungan biota laut -termasuk ikan- sebagai spawning ground, nursery ground, dan feeding ground atas dasar kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya penataan wilayah melalui pembagian fungsi kawasan sesuai dengan kemampuan dan penggunaannya. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh calon kawasan konservasi laut baru untuk mendukung upaya perlindungan, pelestarian dan penyelamatan sumberdaya alam.

(2) Memantapkan kawasan konservasi melalui regulasi;
Penetapan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan memperhatikan beberapa kriteria yaitu keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan serta ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya di sekitarnya baik langsung maupun tidak langsung dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Kegiatan pemantapan kawasan konservasi (KSA dan KPA) dilakukan melalui penataan batas laut, dengan memperhatikan berbagai saran dan masukan dari Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan lain-lain. Selanjutnya, dikeluarkan SK penetapan kawasan oleh Menteri Kehutanan. Sedangkan untuk Kawasan Konservasi Daerah dan Suaka Perikanan perlu diperkuat dengan regulasi yang dapat diterbitkan di tingkat desa (Perdes), SK Bupati atau Perda.

(3) Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi;
Pengelolaan kawasan konservasi melalui partisipasi aktif masyarakat lokal (community based management) dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat mulai dari tahap perencanaan sampai tahap pengawasan. Partisipasi aktif masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya terutama diperlukan untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan serta terpeliharanya fungsi lingkungan hidup dari tindakan dan ancaman pemanfaatan dan perusakan lingkungan oleh masyarakat dan atau nelayan desa/luar desa sehingga dapat menimbulkan kesadaran untuk melindungi sumberdaya.

(4) Mengembangkan pengelolaan kolaboratif bersama pemangku kepentingan, sesuai kewenangan masing-masing;
Konflik kepentingan di bidang konservasi yang sering muncul adalah persaingan antara kepentingan pembangunan/ekonomi dan konservasi/lingkungan. Untuk mengantisipasi konflik tersebut, maka dikembangkan pengelolaan kolaboratif melalui kesepakatan formal antara pemerintah dan masyarakat bahkan antar Pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Departemen Kehutanan dan Departemen ESDM). Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban masyarakat dalam menggunakan sumberdaya alam kawasan konservasi.

(5) Meningkatkan upaya pengawasan dan penegakan hukum.
Pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan secara holistik dan terpadu untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan kepentingan serta seminimal mungkin menghindari konflik horisontal dan vertikal. Dengan adanya perangkat hukum yang memadai dan penegakan hukum yang tegas, maka akan mengurangi aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab yang akan menurunkan nilai dan fungsi kawasan konservasi.

4 PELAKSANAAN DAN KELEMBAGAAN
Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil merupakan acuan bagi pengelolaan pulau-pulau kecil yang pelaksanaannya memerlukan komitmen dan kerjasama yang terpadu, dan konsisten dari para pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah. Dengan demikian untuk pencapaian keberhasilan pelaksanaan Jakstranas tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

4.1. PROGRAM PRIORITAS
Pengelolaan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui penentuan program prioritas yang dirumuskan atas dasar kebijakan dan strategi nasional pengelolaan pulau-pulau kecil, sasaran-sasaran yang ingin dicapai, dan program lain yang ditetapkan oleh sektor baik di pusat maupun daerah sesuai dengan dinamika pembangunan

Penentuan program prioritas tersebut didasarkan pada perkembangan dan perubahan lingkungan strategis dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Keterpaduan lintas sektor dan daerah;
  3. Pembangunan yang berkelanjutan;
  4. Keberpihakan kepada masyarakat dan ekonomi lokal;
  5. Otonomi Daerah;
  6. Kemitraan.
4.2. PENYUSUNAN RENCANA TINDAK (ACTION PLAN)
Setiap program prioritas dijabarkan dalam bentuk rencana tindak yang memuat kegiatan, wilayah, instansi terkait, dan sumber pendanaannya. Penyusunan rencana tindak ini dilakukan oleh:
  • Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) terkait disesuaikan dengan tupoksinya dan dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan pembangunan; 
  • Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota yang terlebih dahulu menetapkan tipologi/karakteristik pulau-pulau kecil di wilayahnya sebelum melaksanakan pengelolaan berdasarkan Jakstranas Pengelolaan Pulau-pulau Kecil.
Rencana tindak yang disusun oleh departemen/LPND di tingkat pusat diharapkan menjadi acuan dalam penyusunan rencana tindak di daerah. Dengan demikian terjadi sinkronisasi dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai kebijakan dan strategi nasional.

4.3. PENYUSUNAN RENCANA BISNIS (BUSINESS PLAN)
Rencana bisnis dibuat oleh swasta/dunia usaha yang berisi tentang rencana kegiatan baik dari aspek teknis maupun finansial. Penyusunan rencana bisnis (business plan) harus memenuhi beberapa persyaratan, misalnya AMDAL yang dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya, rencana tersebut dipresentasikan kepada Pemerintah untuk memperoleh persetujuan. Ijin diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan berbagai kepentingan termasuk aspirasi masyarakat lokal.

4.4. PEMBIAYAAN
Pembiayaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil dapat bersumber dari : (a) Pemerintah, melalui dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (b) Swasta, melalui penyertaan modal baik Nasional maupun Asing; dan (c) Masyarakat.

4.5. KELEMBAGAAN
Kewenangan dan tanggungjawab pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil dipilah menjadi Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Koordinasi yang jelas dan tegas antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sangat penting dalam efektivitas pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil yang mekanismenya diatur dalam suatu pedoman.

4.5.1. Pemerintah
Secara umum, kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah dalam rangka penguatan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan adalah pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur.

Sedangkan kewenangan pelaksanaan Pemerintah hanya kewenangan yang bertujuan untuk:
  • Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan Negara;
  • Menjamin stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat;
  • Menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum yang setara bagi semua warganegara;
  • Menjamin keselamatan fisik dan non fisik secara setara bagi semua warganegara;
  • Menjamin pengadaan teknologi dan SDM yang berkualitas;
  • Menjamin supremasi hukum nasional. 
Secara khusus, peran Pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi kebijakan umum dan fasilitasi. Fasilitasi yang dilakukan Pemerintah meliputi:
  1. Penyediaan sarana dan prasarana dasar dan sosial, seperti sarana, permukiman, kesehatan dan pendidikan;
  2. Pengembangan prasarana perhubungan laut dan udara serta wilayah strategis;
  3. Pengembangan kawasan pertumbuhan melalui perluasan jaringan komunikasi dan informasi serta kerjasama dengan negara tetangga;
  4. Pengembangan rencana tata ruang pulau-pulau kecil secara nasional disertai pemetaan pulau-pulau kecil dengan skala 1 : 100.000 atau lebih besar ;
  5. Penyediaan pedoman pendataan dan penamaan serta informasi profil pulau-pulau kecil;
  6. Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut nasional;
  7. Fasilitasi kerjasama investasi di pulau-pulau kecil.
Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah diantaranya memberikan ketegasan mengenai penanganan pulau-pulau kecil terluar di wilayah perbatasan dengan negara lain. Penyusunan Keputusan Presiden untuk pulau-pulau kecil tersebut sangat mendesak untuk dilakukan terutama dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dalam pengelolaannya, maka Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (melalui asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan) baik dalam pelaksanaan kerjasama antar negara, koordinasi penataan ruang, dan fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana transportasi maupun pemberdayaan masyarakat.

4.5.2. Pemerintah Propinsi
Kewenangan dan tanggungjawab Propinsi sesuai kedudukannya sebagai Daerah Otonom meliputi penyelenggaraan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan kewenangan pemerintahan bidang lainnya. Sedangkan kewenangan Propinsi sebagai wilayah administratif merupakan pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasikan kepada Gubernur.

Secara umum, kewenangan Pemerintah Propinsi meliputi :
(1) Pelayanan lintas Kabupaten/Kota.
Kewenangan pemerintahan Propinsi yang menyangkut penyediaan pelayanan lintas Kabupaten/Kota di dalam wilayah suatu propinsi dengan memperhatikan keseimbangan pembangunan dan pelayanan pemerintah yang lebih efisien;

(2) Penanganan konflik kepentingan antara Kabupaten/Kota.
Kewenangan propinsi dalam penanganan konflik meliputi :
  • Identifikasi permasalahan dan potensi konflik;
  • Fasilitasi penyelesaian konflik.
4.5.3.Pemerintah Kabupaten/ Kota
Kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pulau-pulau kecil diluar kawasan tertentu (misalnya kawasan perbatasan) yaitu:
  1. Menyusun rencana pengelolaan (management plan), rencana aksi (action plan), rencana bisnis (business plan) dan penataan ruang kawasan;
  2. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan;
  3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dan penguatan kelembagaan melalui sosialisasi, pendidikan dan latihan;
  4. Melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta baik nasional maupun asing sesuai ketentuan yang berlaku.
4.5.4.Peran Masyarakat dan Swasta/Dunia Usaha
Masyarakat dan swasta/dunia usaha dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang diatur dalam suatu Pedoman Umum yang akan disusun oleh Pemerintah.

4.6. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan mekanisme pembinaan dan pengawasan dalam rangka akuntabilitas kegiatan pengembangan pulau-pulau kecil secara periodik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk dapat melaksanakan program pembinaan dengan baik dan tepat sasaran, diperlukan suatu guideline, modul atau semacam kurikulum pembinaan yang sistematis, terarah dan berjenjang. Selain itu untuk mendukung mekanisme pengawasan monitoring dan evaluasi, diperlukan juga indikator-indikator standar penilaian yang terukur dan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.

5 PENUTUP
Pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan kebijakan yang komprehensif, integral dan tepat, sesuai dengan keberadaannya sebagai kawasan yang memiliki permasalahan, potensi dan karakteristik yang khas. Kebijakan tersebut tentunya harus didukung dengan pemahaman yang utuh terhadap konsepsi kebijakan, program, strategi yang sinergis, koordinasi yang efektif dan sistem informasi yang terpadu dari berbagai pihak/pelaku program pengelolaan pulau-pulau kecil.

Untuk merespon persoalan dan kebutuhan tersebut, diperlukan upaya peningkatan kapasitas (capacity building) berbagai pihak yang terkait dengan program pengelolaan pulau-pulau kecil. Dengan capacity building ini, diharapkan dapat dihindari terjadinya bias, baik dalam pemahaman terhadap kebijakan dan strategi maupun dalam penyusunan program yang didukung antara lain oleh suatu piranti kelembagaan (institutional arrangement) yang mencakup struktur organisasi pemerintah dan non pemerintah termasuk mekanisme untuk menjembatani antar organisasi dan instansi yang bertanggung jawab; kumpulan hukum, aturan, konvensi, keputusan dan standar mutu; dan kumpulan norma sosial dan tradisi seperti hukum adat dan hak ulayat.

Saat ini, sebagian besar instansi/dinas daerah pengelola program bagi pengembangan dan pemanfaatan wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil berada di instansi/dinas yang berbeda, sehingga menyulitkan koordinasi baik antara Pusat dan Daerah maupun antar Daerah sehingga keberadaan naskah Jakstranas pengelolaan pulau-pulau kecil ini menjadi sangat penting. Di samping itu, dengan adanya Jakstranas pengelolaan pulau-pulau kecil ini diharapkan pembangunan dan pengelolaan pulau-pulau kecil akan lebih terarah dan lebih optimal untuk tujuan pertahanan keamanan, pengembangan ekonomi dan konservasi lingkungan

GLOSSARY
Abrasi
Proses pengikisan pada material yang massif, pasir dan tanah, yang terjadi akibat ombak/ gelombang pantai.

AIDA
(Australia-Indonesia Development Area);
Kerjasama sosial ekonomi antara 8 (delapan) propinsi di Kawasan Timur Indonesia dengan propinsi Northern Territory di Australia

BIMP-EAGA
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines-East Asia Growth Area);

Kerjasama ekonomi sub-regional antara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Filipina di bidang (1) pertanian, perikanan dan kelautan; (2) keuangan, investasi dan perdagangan; (3) pariwisata; (4) perhubungan dan komunikasi; (5) pertambangan dan energi; (6) pengembangan sumberdaya manusia; dan (7) pengembangan industri.

IMS-GT
(Indonesia-Malaysia-Singapura-Growth Triangle);
Kerjasama ekonomi sub-regional antara wilayah Sumatera bagian tengah (Indonesia) dengan Malaysia dan Singapura yang merupakan pengembangan dari program kerjasama segitiga Singapura-Johor-Riau (SIJORI).

IMT-GT
(Indonesia-Malaysia-Thailand- Growth Triangle);

Kerjasama ekonomi sub-regional antara wilayah Sumatera bagian tengah (Indonesia) dengan Malaysia dan Thailand.

Jasa Lingkungan
Potensi pulau-pulau kecil yang bila dikelola secara berkelanjutan dapat memberikan jasa bagi masyarakat, misalnya ekowisata.

Kawasan
Wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya

Kawasan Konservasi
Kawasan yang ditetapkan (sesuai ketentuan yang berlaku) sebagai kawasan yang berfungsi untuk konservasi (perlindungan; pengawetan dan pemanfaatan) agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup.

Kawasan Pelestarian Alam
Kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis biota serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan Perbatasan
Kawasan pulau-pulau kecil perbatasan dan laut di sekitarnya 

Kawasan Rawan Bencana Alam
Kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor

Kawasan Suaka Alam
Kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Kawasan Tertentu
Kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan. 

Kawasan Tertinggal
Bagian wilayah propinsi/kabupaten/kota yang relatif kurang berkembang dibandingkan dengan kondisi rata-rata wilayahnya dilihat dari indikator dan kriteria yang telah ditentukan

Konservasi
Pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang dengan mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi definisi pembangunan berkelanjutan)

Pemberdayaan Masyarakat
Upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi, mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara lestari. 

Pengelolaan
Rangkaian kegiatan terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif dari, oleh dan untuk masyarakat disertai kerjasama aktif pihak-pihak terkait yang meliputi perencanaan, perlindungan dan pemanfaatan secara berdayaguna bagi masyarakat.
Perairan
(UU No. 5/1990)
Perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, genangan air), Laut Wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif
Preservasi (perlindungan)
Suatu proses pengelolaan yang membiarkan habitat seperti apa adanya dengan menghindari atau mencegah campur tangan manusia.
Pulau
Wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu berada di atas air pada saat air pasang tinggi (UNCLOS, 1982).
Pulau Benua (Kontinental)
Pulau yang letaknya menjadi satu rangkaian dan berhubungan dengan benua, misalnya: pulau Sumatera dengan Semenanjung Malaya dan daratan Asia.
Pulau Karang
Pulau yang terbentuk dari batu kapur karang-karang mati di perairan laut dangkal tropis, misalnya: pulau-pulau di Kepulauan Seribu.
Pulau Vulkanik
Pulau yang terbentuk dari lava yang menumpuk dan menggunung ke atas dari dasar samudera oleh erupsi gunung api lautan, misalnya: Kepulauan Aleution
Pulau kecil
Pulau yang memiliki luas daratan kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang (Kepmen. Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kepmen. Kelautan dan Perikanan No. 67/2002)
Pulau di Perbatasan
Pulau yang memiliki Titik Dasar (Base Point) dan digunakan sebagai acuan dalam penentuan batas negara
Suaka Perikanan
Kawasan perairan tertentu baik tawar, payau atau laut dengan kondisi dan ciri khas tertentu sebagai tempat berkembang biak dan/ atau berlindung jenis-jenis Sumber Daya Ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan dan pemanfaatan secara lestari
Titik Dasar (TD)
Titik yang berada pada garis air rendah dan digunakan sebagai penentuan garis pangkal.
Titik Referensi (TR)
Titik yang secara fisik berbentuk pilar di darat dan digunakan sebagai acuan dalam penentuan TD
no image
EKOLOGI TANAH
Pendahuluan
Soil ecology is the study of the interactions among soil organisms, and between biotic and abiotic aspects of the soil environment. It is particularly concerned with the cycling of nutrients, formation and stabilization of the pore structure, the spread and vitality of pathogens, and the biodiversity of this rich biological community.

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

Tanah: Sifat dan Karakteristik
Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah.

Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.

Tanah berasal dari pelapukan batuan dengan bantuan organisme, membentuk tubuh unik yang menutupi batuan. Proses pembentukan tanah dikenal sebagai ''pedogenesis''. Proses yang unik ini membentuk tanah sebagai tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau disebut sebagai horizon tanah. Setiap horizon menceritakan mengenai asal dan proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang telah dilalui tubuh tanah tersebut.

Hans Jenny (1899-1992), seorang pakar tanah asal Swiss yang bekerja di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa tanah terbentuk dari bahan induk yang telah mengalami modifikasi/pelapukan akibat dinamika faktor iklim, organisme (termasuk manusia), dan relief permukaan bumi (topografi) seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan dinamika kelima faktor tersebut terbentuklah berbagai jenis tanah dan dapat dilakukan klasifikasi tanah.

Tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan yang melapuk dan mengalami proses pembentukan lanjutan. Usia tanah yang ditemukan saat ini tidak ada yang lebih tua daripada periode Tersier dan kebanyakan terbentuk dari masa Pleistosen. Tubuh tanah terbentuk dari campuran bahan organik dan mineral. Tanah non-organik atau tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral. Sebaliknya, tanah organik (organosol / humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap bahan organik yang terdegradasi.

Tanah organik berwarna hitam dan merupakan pembentuk utama lahan gambut dan kelak dapat menjadi batu bara. Tanah organik cenderung memiliki keasaman tinggi karena mengandung beberapa asam organik (substansi humik) hasil dekomposisi berbagai bahan organik. Kelompok tanah ini biasanya miskin mineral, pasokan mineral berasal dari aliran air atau hasil dekomposisi jaringan makhluk hidup. Tanah organik dapat ditanami karena memiliki sifat fisik gembur (porus, sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena memiliki keasaman tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil terbatas dan di bawah capaian optimum.

Tanah non-organik didominasi oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel pembentuk tanah. Tekstur tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel pembentuk tanah: pasir, debu, dan liat. Tanah berpasir didominasi oleh pasir, tanah berliat didominasi oleh liat. Tanah dengan komposisi pasir, debu, dan liat yang seimbang dikenal sebagai tanah lempung.

Warna tanah merupakan ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna tanah sangat bervariasi, mulai dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning, hingga putih. Selain itu, tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan warna yang kontras sebagai akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian (leaching). Tanah berwarna hitam atau gelap seringkali menandakan kehadiran bahan organik yang tinggi, baik karena pelapukan vegetasi maupun proses pengendapan di rawa-rawa. Warna gelap juga dapat disebabkan oleh kehadiran Mangan, belerang, dan nitrogen. Warna tanah kemerahan atau kekuningan biasanya disebabkan kandungan besi teroksidasi yang tinggi; warna yang berbeda terjadi karena pengaruh kondisi proses kimia pembentukannya. Suasana aerobik / oksidatif menghasilkan warna yang seragam atau perubahan warna bertahap, sedangkan suasana anaerobik / reduktif membawa pada pola warna yang bertotol-totol atau warna yang terkonsentrasi.

Struktur tanah merupakan karakteristik fisik tanah yang terbentuk dari komposisi antara agregat (butir) tanah dan ruang antaragregat. Tanah tersusun dari tiga fasa: fasa padatan, fasa cair, dan fasa gas. Fasa cair dan gas mengisi ruang antaragregat. Struktur tanah tergantung dari imbangan ketiga faktor penyusun ini. Ruang antaragregat disebut sebagai porus (jamak pori). Struktur tanah baik bagi perakaran apabila pori berukuran besar (makropori) terisi udara dan pori berukuran kecil (mikropori) terisi air. Tanah yang gembur (sarang) memiliki agregat yang cukup besar dengan makropori dan mikropori yang seimbang. Tanah menjadi semakin liat apabila berlebihan lempung sehingga kekurangan makropori.

Mikrohabitat dalam struktur tanah
Di setiap tempat seperti dalam tanah, udara maupun air selalu dijumpai mikroba. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air ataupun udara. Umumnya bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun autotrof.

Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu, liat dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan organik maupun bakteri autotrof,dan bakteri aerob maupun anaerob. Untuk kehidupannya, setiap jenis mikroba mempunyai kemampuan untuk merubah satu senyawa menjadi senyawa lain dalam rangka mendapatkan energi dan nutrien. Dengan demikian adanya mikroba dalam tanah menyebabkan terjadinya daur unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor dan unsur lain di alam.

Lingkungan rhizosfer
Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan hara bagi keduanya. Permukaan akar tanaman disebut rhizoplane. Sedangkan rhizosfer adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar setiap tanaman.

Rhizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba oleh karena akar tanaman menyediakan berbagai bahan organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba. Bahan organik yang dikeluarkan oleh akar dapat
  1. Eksudat akar: bahan yang dikeluarkan dari aktivitas sel akar hidup seperti gula, asam amino, asam organik, asam lemak dan sterol, factor tumbuh, nukleotida, flavonon, enzim , dan miscellaneous.
  2. Sekresi akar: bahan yang dipompakan secara aktif keluar dari akar.
  3. Lisat akar: bahan yang dikeluarkan secara pasif saat autolisis sel akar.
  4. Musigel : bahan sekresi akar, sisa sel epidermis, sel tudung akar yang bercampur dengan sisa sel mikroba, produk metabolit, koloid organik dan koloid anorganik.
Enzim utama yang dihasilkan oleh akar adalah oksidoreduktase, hidrolase, liase, dan transferase. Sedang enzim yang dihasilkan oleh mikroba di rhizosfer adalah selulase, dehidrogenase, urease, fosfatase dan sulfatase.

Dengan adanya berbagai senyawa yang menstimulir pertumbuhan mikroba, menyebabkan jumlah mikroba di lingkungan rhizosfer sangat tinggi. Perbandingan jumlah mikroba dalam rhizosfer (R) dengan tanah bukan rhizosfer (S) yang disebut nisbah R/S, sering digunakan sebagai indeks kesuburan tanah. Semakin subur tanah, maka indeks R/S semakin kecil, yang menandakan nutrisi dalam tanah bukan rhizosfer juga tercukupi (subur). Sebaliknya semakin tidak subur tanah, maka indeks R/S semakin besar, yang menandakan nutrisi cukup hanya di lingkungan rhizosfer yang berasal dari bahan organik yang dikeluarkan akar, sedang di tanah non-rhizosfer nutrisi tidak mencukupi (tidak subur). Nilai R/S umumnya berkisar antara 5-20.

Mikroba rhizosfer dapat memberi keuntungan bagi tanaman, oleh karena:
  1. Mikroba dapat melarutkan dan menyediakan mineral seperti N,P, Fe dan unsur lain.
  2. Mikroba dapat menghasilkan vitamin, asam amino, auxin dan giberelin yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman.
  3. Mikroba yang patogenik dengan menghasilkan antibiotik.
Pseudomonadaceae merupakan kelompok bakteri rhizosfer (rhizobacteria) yang dapat menghasilkan senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman. Contoh spesies yang telah banyak diteliti dapat merangsang pertumbuhan tanaman adalah Pseudomonas fluorescens.

Pembentukan Tanah. 
Tanah merupakan “tubuh-alamiah” yang tersusun atas lapisan (horison tanah) yang beragam ketebalannya, berbeda dengan bahan induk dalam hal sifat-sifat morfologi, fisika, kimia, dan karakteristik mineraloginya. Tanah terdiri dari partikel pecahan batuan yang telah diubah oleh proses kimia dan lingkungan yang meliputi pelapukan dan erosi. Tanah berbeda dari batuan induknya karena interaksi antara, hidrosfer atmosfer litosfer, dan biosfer. Ini adalah campuran dari konstituen mineral dan organik yang dalam keadaan padat, gas dan air.

Partikel tanah tampak longgar, membentuk struktur tanah yang penuh dengan ruang pori. Pori-pori mengandung larutan tanah (cair) dan udara (gas). Oleh karena itu, tanah sering diperlakukan sebagai system. Kebanyakan memiliki kepadatan antara 1 dan 2 g / cm ³.

Tanah dapat berasal dari batuan induk (batuan beku, batu sedimen tua, batuan metamorfosa) yang melapuk atau dari bahan-bahan yang lebih lunak dan lepas seperti abu volkan, bahan endapan baru dan lain-lain. Melalui proses pelapukan, permukaan batuan yang keras menjadi hancur dan berubah menjadi bahan lunak (longgar) yang disebut dengan regolit. Selanjutnya melalui proses pembentukan tanah, bagian atas regolit berubah menjadi tanah. Proses pelapukan mencakup beberapa hal yaitu pelapukan secara fisik, biologik-meknik dan kimia.

Faktor pembentukan tanah, atau pedogenesis, adalah efek gabungan proses fisik, kimia, biologi, dan antropogenik pada bahan induk tanah. Genesis tanah melibatkan proses yang mengembangkan lapisan atau horizon dalam profil tanah. Proses ini melibatkan penambahan, kehilangan, transformasi dan translokasi bahan yang membentuk tanah. Mineral yang berasal dari batuan lapuk mengalami perubahan yang menyebabkan pembentukan mineral sekunder dan senyawa lainnya yang larut dalam air, konstituen tersebut dipindahkan (translokasi) dari satu bagian tanah ke daerah lain oleh air dan aktivitas organisme. Perubahan dan pergerakan material di dalam tanah menyebabkan terbentuknya horison tanah yang khas.

Pelapukan batuan induk menghasilkan bahan induk tanah. Contoh perkembangan tanah dari bahan induknya terjadi pada aliran lava baru-baru ini di wilayah hangat di bawah hujan lebat dan sangat sering. Dalam iklim seperti itu, tumbuhan sangat cepat berkembang pada lava basaltik, meskipun kandungan bahan organiknya sangat sedikit. Tumbuhan didukung oleh batuan yang porus yang mengandung air dan unsure hara. Akar tanaman tumbuh berkembang, seringkali bersimbiosis dengan dengan mikoriza, secara bertahap merimbak marterial lava dan bahan organik tanah akan terakumulasi.

Lima faktor pembentuk tanah adalah : bahan induk, iklim regional, topografi, potensi biotik dan waktu.
Bahan yang membentuk tanah disebut “bahan induk” tanah. Bahan ini meliputi: lapukan batuan dasar primer; bahan sekunder diangkut dari lokasi lain, misalnya colluvium dan aluvium; deposit yang sudah ada tetapi campuran atau diubah dengan cara lain - formasi tanah tua, bahan organik termasuk gambut atau humus alpine; dan bahan antropogenik, seperti timbunan sampah atau tambang. Beberapa tanah langsung dari pemecahan bebatuan yang mendasarinya mereka kembangkan di tempatnya, tanah ini sering disebut "tanah residu", dan memiliki sifat kimia umum yang sama seperti batuan induknya.

Kebanyakan tanah berasal dari bahan-bahan yang telah diangkut dari lokasi lain oleh angin, air dan gravitasi. Beberapa di antaranya telah mengalami perpindahan dari jarak yang jauh, atau hanya beberapa meter. Bahan yang tertiup angin disebut “loess”

Pelapukan merupakan tahap pertama dalam mengubah bahan induk menjadi bahan tanah. Pada tanah yang terbentuk dari batuan dasar, dapat terbentuk lapisan tebal bahan lapuk disebut saprolit. Saprolit adalah hasil proses pelapukan yang meliputi: hidrolisis (penggantian kation mineral dengan ion hidrogen), khelasi dari senyawa organik, hidrasi (penyerapan air dengan mineral), solusi mineral dengan air, dan proses fisik yang mencakup pembekuan dan pencairan atau pembasahan dan pengeringan. Komposisi mineralogi dan kimia dari bahan batuan dasar utama, ditambah sifat-sifat fisik, termasuk ukuran butir dan derajat konsolidasi, laju dan jenis pelapukan, semuanya mempengaruhi sifat-sifat bahan tanah yang dihasilkannya.

Proses pembentukan tanah diawali dari pelapukan batuan induknya, pelapukan fisik dan pelapukan kimia. Dari proses pelapukan ini, batuan induk akan menjadi lebih lunak, longgar dan berubah komposisinya. Pada tahap ini batuan yang lapuk belum dikatakan sebagai tanah, tetapi sebagai bahan induk tanah (regolith) karena masih menunjukkan struktur batuan induk. Proses pelapukan terus berlangsung hingga akhirnya bahan induk tanah berubah menjadi tanah. Proses pelapukan ini menjadi awal terbentuknya tanah. Sehingga faktor yang mendorong pelapukan juga berperan dalam pembentukan tanah.

Curah hujan dan sinar matahari berperan penting dalam proses pelapukan fisik, kedua faktor tersebut merupakan komponen iklim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor pembentuk tanah adalah iklim. Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi proses pembentukan tanah, yaitu organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

Profil Tanah
Secara ekologis tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hayati), faktor abiotik berupa bahan organik, faktor abiotik berupa pasir (sand), debu, (silt), dan liat (clay). Umumnya sekitar 5% penyusun tanah berupa biomass (bioti dan abioti), berperan sangat penting karena mempengaruhi sifat kimia, fisika dan biologi tanah.

Ekologi tanah mempelajari hubungan antara biota tanah dan lingkungan, serta hubungan antara lingkungan serta biota tanah. Secara berkesinambungan hubungan ini dapat saling menguntungkan satu sama lain, dan dapat pula merugikan satu sama lain.

Organisme Tanah.
Organisme tanah atau disebut juga biota tanah merupakan semua makhluk hidup baik hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian dari fase hidupnya berada dalam sistem tanah.
  • Organisme tanah dapat menguntungkan petani karena mereka memperbaiki kesuburan tanah dan dapat membantu ketersediaan hara bagi tanaman dan membantu pengendalian hama penyakit. 
  • Organisme tanah memerlukan makanan, oksigen, air, dan habitat yang layak untuk tumbuh. 
  • Petani dapat memperkaya organisme tanah dengan jalan menyediakan penutup tanah organic yang cukup, menambah bahan organik ke dalam tanah, memelihara drainase tanah yang baik, dan menghindari pengolahan tanah yang berlebihan. 
  • Di bawah permukaan tanah terdapat satu dunia lain yang penuh dengan jasad hidup atau organisme tanah. Organisme tanah ini berfungsi sebegai tenaga kerja bagi para petani karena mereka membantu menyediakan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman dan memperbaiki struktur tanah. 
Pengelompokan Organisme Tanah
Ada beberapa jenis organisme tanah, diantaranya adalah: 
  1. Pemecah bahan organik seperti slaters (spesies Isopoda), tungau (mites), kumbang, dan collembola yang memecah-mecah bahan organic yang besar menjadi bagian-bagian kecil. 
  2. Pembusuk (decomposer) bahan organik seperti jamur dan bakteri yang memecahkan bahan-bahan cellular. 
  3. Organisme bersimbiosis hidup pada/di dalam akar tanaman dan membantu tanaman untuk mendapatkan hara dari dalam tanah. Mycorrhiza bersimbiosis dengan tanaman dan membantu tanaman untuk mendapatkan hara posfor, sedangkan rhizobium membantu tanaman untuk mendapatkan nitrogen. 
  4. Pengikat hara yang hidup bebas seperti alga dan azotobakter mengikat hara di dalam tanah. 
  5. Pembangun struktur tanah seperti akar tanaman, cacing tanah, ulat-ulat, dan jamur semuanya membantu mengikat partikel-partikel tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil dan tahan terhadap erosi. 
  6. Patogen seperti jenis jamur tertentu, bakteri dan nematoda dapat menyerang jaringan tanaman. 
  7. Predator atau pemangsa, termasuk protozoa, nematoda parasite dan jenis jamur tertentu, semuanya memangsa organisme tanah yang lain sebsagai sumber makanan mereka.
  8. Occupant / penghuni adalah jenis organisme tanah yang menggunakan tanah sebagai tempat tinggal sementara pada tahap siklus hidup tertentu, seperti ulat (larvae) dan telur cacing.
Berdasarkan peranannya, organisme tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) organisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (b) organisme yang merugikan tanaman, dan (c) organisme yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan. Contoh organisme tanah yang menguntungkan: 
  1. Organisme tanah yang dapat menyumbangkan nitrogen ke tanah dan tanaman, yaitu: bakteri pemfiksasi nitrogen (Rhizobium, Azosphirillum, Azotobacter, dll),
  2. Organisme tanah yang dapat melarutkan fosfat, yaitu: bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas) dan fungi pelarut fosfat,
  3. Organisme tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, yaitu: cacing tanah
Salah satu organisme tanah yang umum dijumpai adalah cacing tanah. Cacing tanah mempunyai arti penting bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur. Cacing tanah juga dapat menigkatkan daya serap air permukaan. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan memper-tahankan struktur tanah agar tetap gembur. Biota tanah lain yang umum dijumpai adalah Arthropoda. Arthropoda merupakan fauna tanah yang macam dan jumlahnya cukup banyak, yang paling menonjol adalah springtail dan kutu. Fauna tanah ini mempunyai kerangka luar yang dihubungkan dengan kaki, sebagian besar mempunyai semacam sistem peredaran darah dan jantung.

Aktivitas biota tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Aktivitas biota tanah dapat diukur dengan mengukur besar respirasi di dalam tanah. Respirasi yaitu suatu proses pembebasan energi yang tersimpan dalam zat sumber energi melalui proses kimia dengan menggunakan oksigen. Dari respirasi akan dihasilkan energi kimia ATP untak kegiatan kehidupan, seperti sintesis (anabolisme), gerak, pertumbuhan.

Mikroba tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Mereka memperbanyak diri dan aktif membantu penyediaan unsure hara bagi tanaman melalui proses simbiosis dengan jalan melepaskan unsur hara yang “terikat” menjadi bentuk yang tersedia bagi akar tanaman. Mikroba tanah ini juga mempunyai peran aktif melindungi tanaman melawan penyakit “soil-borne diseases”.

Mendaur ulang bahan organik tanah
Organisme tanah mendaur ulang (recycle) bahan organik dengan cara memakan bahan tanaman dan hewan yang mati, kotoran hewan dan organisme tanah yang lain. Mereka memecah bahan organik menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat dibusukkan oleh jasad renik seperti jamur dan bakteri. Ketika mereka memakan bahan organik, sisa makanan dan kotoran mereka dapat membantu perbaikan struktur dan kesuburan tanah. 

Decomposition of organic matter is largely a biological process that occurs naturally. Its speed is determined by three major factors: soil organisms, the physical environment and the quality of the organic matter (Brussaard, 1994). In the decomposition process, different products are released: carbon dioxide (CO2), energy, water, plant nutrients and resynthesized organic carbon compounds. Successive decomposition of dead material and modified organic matter results in the formation of a more complex organic matter called humus. This process is called humification. Humus affects soil properties. As it slowly decomposes, it colours the soil darker; increases soil aggregation and aggregate stability; increases the CEC (the ability to attract and retain nutrients); and contributes N, P and other nutrients.

Organisme tanah membantu meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman.
Ketika organisme tanah memakan bahan organik atau makanan yang lain, sebagian hara yang tersedia disimpan didalam tubuh mereka dan hara yang tidak diperlukan, dikeluarkan didalam kotoran mereka (sebagai contoh, phosphor dan nitrogen). Hara di dalam kotoran orgnisma tanah ini dapat diserap oleh akar tanaman.

Sebagian organisme tanah membina hubungan simbiosis dengan akar tanaman dan dapat membantu akar tanaman menyerap lebih banyak unsur hara dibandingkan kalau tidak ada kerjasama dengan organisme tanah. Sebagai contoh adalah mycorrhiza, yang membantu tanaman untuk menyerap lebih banyak posfor, sedangkan rhizobia membantu tanaman untuk menyerap lebih banyak nitrogen.

Organisme tanah memperbaiki struktur tanah
Bahan sekresi dari organisme tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi agregate yang lebih besar. Contohnya, bakteri mengeluarkan kotoran yang berbentuk dan bersifat seperti perekat (organic gum). Jamur-jamuran memproduksi bahan berupa benang-benang halus yang disebut hifa. Zat perekat dari bakteri dan hifa jamur dapat mengikat partikel-partikel tanah secara kuat sehingga agregate tanah yang besar pun tidak mudah pecah walaupun basah. Agregate tanah yang besar tersebut dapat menyimpan air tanah dalam pori-pori halus di antara partikel-partikel tanah untuk digunakan oleh tanaman. Dalam keadaan air berlebihan, air dapat dengan mudah mengalir keluar melalui pori-pori besar diantara agregate–agregate tanah yang besar.

Organisme tanah yang lebih besar dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara membuat saluran-saluran (lubang-lubang) di dalam tanah (contohnya lubang cacing), dan membantu mengaduk-aduk dan mencampur baurkan partikel-partikel tanah, sehingga aerasi (aliran udara) tanah menjadi lebih baik. Pembuatan saluran-saluran dan lubang-lubang ini memperbaiki infiltrasi dan pergerakan air didalam tanah, serta drainase. 

Soil organisms are responsible for soil structure. Biologically created structure improves water holding capacity, equally preventing leaching of nutrients as the nutrients are bound in the bodies of the organisms. Chemical fertiliser, to the contrary, is highly water soluble and leaches very easily. Soils with a healthy micro biological population prevent soil erosion. Soil particles are glued together in a porous granule structures, micro-aggregate, so even heavy rainfall can not displace them.

Organisme tanah dapat membantu mengendalikan gangguan hama dan penyakit 
Organisme tanah yang memakan organisme lain yang lebih kecil dapat menekan serangan hama penyakit dengan cara mengontrol jenis dan jumlah organisme di dalam tanah. 

Pengelolaan lahan pertanian yang dapat memperkaya organisme tanah 

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan para petani untuk meningkatkan kegiatan organisme tanah di lahan mereka, diantaranya adalah: 

Menyediakan makanan. 
Petani dapat menyediakan bahan makanan untuk organisme tanah dengan cara memelihara tanaman penutup tanah dan menambah bahan organik seperti mulsa, kompos, merang, pupuk hijau, dan pupuk kandang ke dalam tanah yang mereka kelola. 

Menyediakan cukup oksigen (aerasi tanah yang baik). 
Seperti mahluk hidup yang lain, organisme tanah membutuhkan cukup oksigen untuk hidup. Petani dapat menjamin ketersediaan oksigen yang cukup untuk organisme tanah dengan cara mencegah pemadatan tanah. Pemadatan tanah dapat mengurangi pori-pori tanah sehingga ketersedian udara menjadi lebih sedikit. Pemadatan tanah dapat terjadi apabila tanah diinjak-injak oleh hewan dan manusia atau dilalui mesin-mesin berat secara berlebihan (trampling), terutama pada saat tanah sedang basah. 

Menyediakan air. 
Organisme tanah juga membutuhkan air dalam jumlah tertentu. Tetapi kalau terlalu banyak air (dalam tanah yang jenuh), mereka bisa mati karena kekurangan oksigen. Petani dapat mengatur ketersediaan air didalam tanah dengan cara memperbaiki struktur tanah. Aggergate tanah yang lebih besar dapat menyimpan air di dalam pori-pori halus, dan dapat mengeluarkan kelebihan air melalui pori-pori besar. Drainase yang cukup di lahan yang banjir juga dapat memperbaiki kondisi tanah untuk habitat organisme tanah. 

Melindungi habitat biota.
Petani dapat mendukung kehidupan organisme tanah dengan cara melindungi habitat mereka. Pemeliharaan tanaman penutup tanah adalah cara yang terbaik untuk melindungi habitat organisme tanah dari bahaya kekeringan. Penggunaan mulsa juga dapat melindungi habitat mereka. Penggunaan mulsa organik dapat juga berfungsi sebagai sumber makanan bagi organisme tanah. Musa plastik dapat mengurangi resiko penyakit dan hama tertentu karena mulsa tersebut cenderung meningkatkan suhu permukaan tanah dan dapat menghambat pergerakan hama dari tanah ke tanaman. Tetapi mulsa plastik tidak dapat meningkatkan bahan organik tanah sehingga pendauran ulang unsur hara tidak terjadi. Cara yang lain adalah dengan pengolahan tanah yang tepat guna. Pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak pori-pori tanah dimana organisme tanah hidup.

Cacing Tanah
Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat menigkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipatgandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur.

Cacing ini hidup didalam liang tanah yang lembab, subur dan suhunya tidak terlalu dingin. Untuk pertumbuhannya yang baik, cacing ini memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral atau pH 6-7,2. Kulit cacing tanah memerlukan kelembabancukup tinggi agar dapat berfungsi normal dan tidak rusak yaitu berkisar 15% - 30%. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan antara 15oC-25oC (Anonimous, 2010b).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekologis cacing tanah meliputi : (a) kemasaman (pH) tanah, (b) kelengasan tanah, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis tanah, dan (g) suplai nutrisi (Hanafiah, dkk, 2007). Sebanyak 85 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum berkisar antara 15 - 30 %). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Cacing yang terdehidrasi akan kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70 - 75 % kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok. Kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15% sampai 30% (Anonimous, 2010a).

Cacing tanah keluar permukaan hanya pada saat-saat tertentu. Pada siang hari, cacing tanah tidak pernah keluar kepermukaan tanah, kecuali jika saat itu terjadi hujan yang cukup menggenangi liangnya. Cacing tanah takut keluar pada siang hari karena tidak kuat terpapar panas matahari terlalu lama. Pemanasan yang terlalu lama menyebabkan banyak cairan tubuhnya yang akan menguap. Cairan tubuh cacing tanah penting untuk menjaga tekanan osmotik koloidal tubuh dan bahan membuat lendir. Lendir yang melapisi permukaan tubuh salah satunya berfungsi memudahkan proses difusi udara melalui permukaan kulit. Cacing tanah akan keluar terutama pada pagi hari sesudah hujan. Hal ini dilakukan karena sesaat setelah hujan, biasanya liang mereka terendam air sehingga aerasi dalam liang tidak bagus sehingga mereka keluar dalam rangka menghindari keadaan kesulitan bernafas dalam liang. Cacing tanah juga tidak kuat bila terendam air terlalu lama sehingga cendrung menghindar dari genangan air yang dalam. Dalam keadaan normal mereka akan pergi kepermukaan tanah pada malam hari. Pada malam suhu udara tidak panas dan kelembaban udara tinggi sehingga cacing tanah bisa bebas keluar untuk beraktivitas. Dalam keadaan terlalu dingin atau sangat kering cacing tanah segera masuk kedalam liang, beberapa cacing sering terdapat meligkar bersama-sama dengan diatasnya terdapat lapisan tanah yang bercampur dengan lendir. Lendir dalam hal ini berfungsi sebagai isolator yang mempertahankan suhu tubuh cacing tanah agar tidak terlalu jauh terpengaruh oleh suhu lingkungan. Posisi melingkar dalam liang memperkecil kontak kulit dengan udara sehingga memperkecil pengaruh dari suhu udara luar (Anonimous, 2010c).

Peranan Cacing Pada Perubahan Sifat Fisik Tanah
Aktivitas cacing tanah yang mempengaruhi struktur tanah meliputi : (1) pencernaan tanah, perombakan bahan organik, pengadukannya dengan tanah, dan produksi kotorannya yang diletakkan dipermukaan atau di dalam tanah, (2) penggalian tanah dan transportasi tanah bawah ke atas atau sebaliknya, (3) selama proses (1) dan (2) juga terjadi pembentukan agregat tanah tahan air, perbaikan status aerase tanah dan daya tahan memegang air (Hanafiah, dkk, 2007).

Cacing penghancur serasah (epigeic) merupakan kelompok cacing yang hidup di lapisan serasah yang letaknya di atas permukaan tanah, tubuhnya berwarna gelap, tugasnya menghancurkan seresah sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Cacing penggali tanah (anecic dan endogeic) merupakan cacing jenis penggali tanah yang hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam mencampur serasah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah sekitarnya (Hairiah, dkk, 1986).

Cacing mampu menggali lubang di sekitar permukaan tanah sampai kedalaman dua meter dan aktivitasnya meningkatkan kadar oksigen tanah sampai 30 persen, memperbesar pori-pori tanah, memudahkan pergerakan akar tanaman, serta meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Zat-zat organik dan fraksi liat yang dihasilkan cacing bisa memperbaiki daya ikat antar partikel tanah sehingga menekan terjadinya proses pengikisan/erosi hingga 40 persen (Kartini, 2008). 

Arthropoda Tanah 
Arthropoda merupakan fauna tanah yang macam dan jumlahnya cukup banyak, yang paling menonjol adalah springtail dan kutu. Fauna tanah ini mempunyai kerangka luar yang dihubungkan dengan kaki, sebagian besar mempunyai semacam sistem peredaran darah dan jantung (Hanafiah, dkk, 2007).

Arthropoda adalah filum yang paling besar dalam dunia hewan dan mencakup serangga, laba-laba, udang, lipan dan hewan sejenis lainnya. Arthropoda adalah nama lain hewan berbuku-buku. Empat dari lima bagian (yang hidup hari ini) dari spesies hewan adalah arthropoda, dengan jumlah di atas satu juta spesies modern yang ditemukan dan rekor fosil yang mencapai awal Cambrian. Arthropoda biasa ditemukan di laut, air tawar, darat, dan lingkungan udara, serta termasuk berbagai bentuk simbiotis dan parasit. Hampir dari 90% dari seluruh jenis hewan yang diketahui orang adalah Arthropoda. Arthropoda dianggap berkerabat dekat dengan Annelida, contohnya adalah Peripetus di Afrika Selatan (Anonimous, 2010d). 

Keanekaragaman jenis arthropoda tanah secara meruang-mewaktu berhubungan dengan keadaan faktor lingkungan abiotik pada setiap komunitas tumbuhan yaitu ketebalan serasah, kandungan bahan organik, pH tanah dan suhu udara (Subahar dan Adianto, 2008). 

Mikroba Tanah
Di tanah terdapat milyaran mikrobia misalnya bakteri, fungi, alga, protozoa, dan virus. Tanah merupakan lingkungan hidup yang amat kompleks. Kotoran dan jasad hewan serta jaringan tumbuhan akan terkubur dalam tanah. Semuanya memberi konstribusi dalam menyuburkan tanah. Proses penyuburan tanah ini dibantu oleh mikrobia. Tanpa mikrobia, semua jasad tidak akan hancur. Salut untuk mikrobia tanah yang mampu menyeimbangkan kelangsungan hidup di bumi. Jumlah dan jenis mikrobia dalam tanah bergantung pada jumlah dan jenis, kelembaban, tingkat aerasi, suhu, pH, dan pengolahan dapat menambah jumlah mikrobia tanah.

Mikrobia tanah berupa bakteri melalui metode hitungan mikroskopik langsung berjumlah milyaran setiap gram tanah, sedangkan hitungan agar cawan diperoleh jutaan. Bakteri umumnya bersifat heterotrof. Contohnya Actinomycetes yang mencakup jenis-jenis Nocardia, Streptomyces, dan Micromonospora. Organisme ini yang menyebabkan bau khas tanah. Actinomycetes berperan menambah kesuburan tanah dengan mengurai senyawa-senyawa kompleks dan mampu membentuk senyawa antibiotik namun jumlahnya sedikit. Antibiotik ini terdapat di sekitar sel-sel Actinomycetes saja. Sedangkan Cyanobacteria berperan dalam transformasi batu-batuan menjadi tanah dan asam-asam yang terbentuk dalam proses metabolisme dapat melarutkan mineral-mineral bebatuan.

Fungi berjumlah antara ratusan sampai ribuan per gram tanah. Fungi berperan dalam meningkatkan struktur fisik tanah dan dekomposisi bahan-bahan organik kompleks dari jaringan tumbuhan seperti selulosa, lignin, dan pektin. Contohnya Penicillium, Mucor, Rhizopus, Fusarium, Cladosporium, Aspergillus, dan Trichomonas. Populasi alga lebih sedikit dibanding fungi dan bakteri. Alga berperan dalam mengakumulasi bahan-bahan organik akibat aktivitas fotosintetik dan bila berasosiasi dengan fungi akan merombak bebatuan menjadi tanah. Misalnya Chlorophyta (alga hijau) dan Chrysophyta (diatom). Rhizosfer merupakan tempat pertemuan antara tanah dengan akar tumbuhan. Jumlah mikrobia di daerah perakaran lebih banyak dibanding tanah yang tidak terdapat perakaran, karena di daerah perakaran terdapat nutrien-nutrien seperti asam amino dan vitamin yang disekresikan oleh jaringan akar.

Tanah dapat menyuburkan dirinya sendiri karena keberadaan mikroba tanah. Ungkapan ini tidak berlebihan apabila kita mengamati kehidupan mikroba di dalam tanah yang bermanfaat memperbaiki kesuburan tanah. Saat ini sudah dikenali sekitar dua juta mikroba tanah. Dari sekian mikroba yang ditemukan, ada yang memiliki aktivitas pendukung kesuburan tanaman -- sebagai pelarut P, pengikat N bebas, penghasil faktor tumbuh, perombak bahan organik. Juga ada mikroba yang menghasilkan biopestisida, perombak bahan kimia agro (pestisida), mikroba resisten logam berat (pengakumulasi dan pereduksi), mikroba perombak sianida, dan mikroba agen denitrifikasi-nitrifikasi.

Tanah adalah habitat yang sangat kaya akan keragaman mikroorganisme seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah-tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba-mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian. Mikroba tanah antara lain berperan dalam mendegradasi limbah-limbah organik pertanian, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen dari udara, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan tanaman, biokontrol patogen tanaman, membantu penyerapan unsur hara tanaman, dan membentuk simbiosis menguntungan.

Tiga unsur hara esensial bagi tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba tanah. Hara N sebenarnya tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman. Tidak ada satupun tanaman yang dapat menyerap N dari udara. N harus difiksasi/ditambat oleh mikroba tanah dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dengan tanaman dan ada pula yang hidup bebas di sekitar perakaran tanaman. 

Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara tanaman adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah-tanah yang lama diberi pupuk superfosfat (TSP/SP 36) umumnya kandungan P-nya cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah yang sukar larut. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat tanah dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Zerowilia lipolitika, Pseudomonas sp. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K.

Beberapa mikroba tanah juga mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp.

Mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat untuk melarutkan unsur hara, membantu penyerapan unsur hara, maupun merangsang pertumbuhan tanaman diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer untuk pertanian.

Hasil-hasil temuan bioteknologi terbaru, mikroba antagonis seperti penyakit tular tanah dapat diubah secara alamiah menjadi mikroba yang mempunyai kemampuan menyediakan unsurunsur hara bagi tanaman dan melawan penyakit, karena berperan sebagai produser antibiotik alias dokter tanaman untuk penyakit tular tanah. Mikroba tersebut diperoleh dengan cara isolasi dari alam yang kemudian diperbanyak di laboratorium dan kemudian dapat dipakai sebagai bahan pupuk hayati.

Misalnya Trichoderma dan Gliocladium, kedua mikroba ini berperan pentiong dalam ketersediaan nutrisi tanaman dalam tanah. Bio-aktifator yang berisi mikroba Trichoderma dan Gliocladium sangat bermanfaat bagi tanaman, khususnya dalam proses:
  1. Mempercepat pematangan pupuk kandang dan meningkatkan kesuburan tanah.
  2. Meningkatkan ketegaran bibit tanaman
  3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit layu (Fusarium sp) dan layu bakteri (pseukdomonas sp) serta penyakit busuk daun (Phytophthora sp), terutama pada tanaman tomat, cabai, kubis dan kentang.
  4. Mencegah terjadinya serangan penyakit rebah kecambah (Pythium sp) dan Rhizoctonia, dan akar gada (Plasmodiophora sp) pada pesemaian.
Fungsi Ekosistem Tanah
Respirasi Tanah
Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktifitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi telah mempunyai korelasi yang baik dengan parameter lain yang berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti bahan organik tanah, transformasi N, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisrne (Iswandi, 1989).

Penetapan respirasi tanah didasarkan pada penetapan : (1). Jumlah CO2 yang dihasilkan, dan (2) Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang berkaitar dengan. aktifitas mikroba seperti: (1) Kandungan bahan organic; (2) Transformasi N atau P, (3) Hasil antara, (4) pH, dan (5) Rata-rata jumlah mikroorganisme (Andre, 2010).

Respirasi tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya kehidupan mikrobia yang melakukan aktifitas hidup dan berkembang biak dalam suatu masa tanah. Mikrobia dalam setiap aktifitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia dalam tanah, karena banyaknya populasi mikrobia mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan mikrobia. Oleh karena itu, pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktifitas metabolik mikrobia daripada jumlah, tipe, atau perkembangan mikrobia tanah (Ragil, 2009).

Adapun cara penetapan tanah di laboratorium lebih disukai. Prosedur di laboratorium meliputi penetapan pemakaian O2 atau jumlah CO2 yang dihasilkan dari sejumlah contoh tanah yang diinkubasi dalam keadaan yang diatur di laboratorium. Dua macam inkubasi di laboratorium adalah : 1) Inkubasi dalam keadaan yang stabil (steady-stato), 2) Keadaan yang berfluktuasi Untuk keadaan yang stabil, kadar air, temperatur, kecepatan, aerasi, dan pengaturan ruangan harus dilakukan dengan sebaik mungkin. 

Peningkatan respirasi terjadi bila ada pembasahan dan pengeringan, fluktuasi aerasi tanah selama inkubasi. Oleh karena itu, peningkatan respirasi dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan yang luar biasa. Hal ini bisa tidak mencerminkan keadaan aktivitas mikroba dalam keadaan lapang, cara steady-stato telah digunakan untuk mempelajari dekomposisi bahan organik, dalam penelitian potensi aktivitas mikroba dalam tanah dan dalam perekembangan penelitian (Iswandi, 1989).

Respirasi Tanah merupakan pencerminan populasi dan aktifitas mikroba tanah. Metode respirasi tanah masih sering digunakan karena cukup peka, konsisten, sederhana dan tidak memerlukan alat yang canggih dan mahal. Pengukuran respirasi tanah ditentukan berdasarkan keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan oleh mikrobia. Laju respirasi maksimum biasanya terjadi setelah beberapa hari atau beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia. Oleh karena itu pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktifitas metabolik mikrobia daripada jumlah, tipe atau perkembangan mikrobia tanah. Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktifitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi telah mempunyai korelasi yang baik dengan parameter lain yang berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti bahan organik tanah, transformasi N, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisrne (Iswandi, 1989).

CO2 yang Dilepaskan Akar Tanaman
Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman yang di dalamnya terdapat akar tanaman dan berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme dalam tanah biasanya terkonsentrasi pada daerah sekitar perakaran karena akar mengeluarkan beerbagai sekresi yang disebut dengan eksudat. Akar tanaman dan mikroorganisme tanah berinteraksi dalam penyerapan unsur hara yang terjadi di rizosfer. Interaksi yang terjadi setiap panjang akar dan umur tanaman berbeda-beda sehingga pemberian unsur hara tambahan yang akan diberikan harus dilakukan pada kondisi yang tepat. Aktivitas mikroorganisme dapat diketahui dengan mengukur respirasi dan biomassa karbon mikroorganisme (C-organik) tanah (Annisa, 2008).

Respirasi dapat digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan ketersediaan O2 di udara, yaitu respirasi aerob dan respirasi anaerob. Respirasi aerob merupakan proses respirasi yang membutuhkan O2, sebaliknya respirasi anaerob merupakan proses repirasi yang berlangsung tanpa membutuhkan O2. Respirasi banyak memberikan manfaat bagi tumbuhan. Manfaat tersebut terlihat dalam proses respirasi dimana terjadi proses pemecahan senyawa organik, dari proses pemecahan tersebut maka dihasilkanlah senyawa-senyawa antara yang penting sebagai pembentuk tubuh meliputi asam amino untuk protein; nukleotida untuk asam nukleat; dan prazat karbon untuk pigmen profirin (seperti klorofil dan sitokrom), lemak, sterol, karotenoid, pigmen flavonoid seperti antosianin, dan senyawa aromatik tertentu lainnya, seperti lignin.

Roots and Rhizosphere Associates
Rhizosphere adalah daerah-sempit dalam tanah yang secara langsung dipengaruhi sekresi akar dan mikroba tanah yang berhubungan dengannya. Tanah yang bukan baguian dari rizosfir lasimnya disebut dengan istilah “bulk soil”. The rhizosphere contains many bacteria that feed on sloughed-off plant cells, termed rhizodeposition, and the proteins and sugars released by roots. Protozoa and nematodes that graze on bacteria are also more abundant in the rhizosphere. Thus, much of the nutrient cycling and disease suppression needed by plants occurs immediately adjacent to roots.
Distribusi mikroba dalam Rizosfer (Sumber: http://heartspring.net/images/rhizosphere_micro_organisms.jpg ..... diunduh 26/6/2011)

Akar merupakan organ tumbuhan yang tugas utamanya adalah menyerap air dan unsure hara dari dalam tanah. Selain itu ternyata akar juga mampu melepaskan beragam senyawa organic dan anorganik ke lingkungan akar. Perubahan sifat kimia tanah yang berhubungan dengan adanya eksudat akar ini dan produk mikroba yang terkait merupakan factor penting yang mempengaruhi populasi mikroba, ketersediaan hara, kel;arutan unsur toksik dalam rizosfir, dan dengan demikian mempengaruhi kemampuan tanaman untuk berinteraksi dengankondisi kimia tanah yang buruk.

Deposisi senyawa organic rizosfir termasuk lysates, yang dibebaskan oleh autolysis sel dan jaringan yang mati, eksudat akar, yang dilepaskan sevara pasif (difusat) atau secara aktif (sekresi) dari sel-sel akar yang masih hidup.

Sumber:
  • http://wwwmykopat.slu.se/Newwebsite/kurser/SUMMER05/READING/Roemheld/NeumannRoemheld2.pdf ….. diunduh 27/6/2011)
  • Model for iron (Fe) deficiency-induced changes in root physiology and rhizosphere chemistry associated with Fe acquisition in strategy I plants (Marschner, 1995).
  • A Stimulation of proton extrusion by enhanced activity of the plasmalemma ATPase --- FeIII solubilization in the rhizosphere.
  • B Enhanced exudation of reductants and chelators (carboxylates, phenolics) mediated by diffusion or anion channels --- Fe solubilization by FeIII complexation and FeIII reduction.
  • C Enhanced activity of plasma membrane (PM)-bound FeIII reductase further stimulated by rhizosphere acidification (A). Reduction of FeIII chelates, liberation of FeII.
  • D Uptake of FeII by a PM-bound FeII transporter.
Model for phosphorus (P) deficiency-induced physiological changes associated with the release of P-mobilizing root exudates in cluster roots of white lupin. Solid lines indicate stimulation, and dotted lines inhibition of biochemical reaction sequences or metabolic pathways in response to P deficiency. SS = Sucrose synthase; FK = Fructokinase; PGM = Phosphoglucomutase; PEP = Phosphoenolpyruvate; PEPC = PEP-carboxylase; MDH = Malate dehydrogenase; ME = Malic enzyme; CS = Citrate synthase; PDC = Pyruvate decarboxylase; ALDH = alcohol dehydrogenase; E-4-P = Erythrose-4-phosphate; DAHP = Dihydroxyacetonephosphate; APase = Acid phosphatase.

Dekomposisi dan Siklus Hara 
Dekomposisi bahan organik
Karbon didaur secara aktif antara CO2 anorganik dan macam-macam bahan organik penyusun sel hidup. Metabolisme ototrof jasad fotosintetik dan khemolitotrof menghasilkan produksi primer dari perubahan CO2 anorganik menjadi C-organik. Metabolisme respirasi dan fermentasi mikroba heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke atmosfer. Proses perubahan dari C-organik menjadi anorganik pada dasarnya adalah upaya mikroba dan jasad lain untuk memperoleh energi.

Pada proses peruraian bahan organik dalam tanah ditemukan beberapa tahap proses. Hewan-hewan tanah termasuk cacing tanah memegang peranan penting pada penghancuran bahan organik pada tahap awal proses. Bahan organik yang masih segar akan dihancurkan secara fisik atau dipotong-potong sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Perubahan selanjutnya dikerjakan oleh mikroba. Ensim-ensim yang dihasilkan oleh mikroba merubah senyawa organik secara kimia, hal ini ditandai pada bahan organik yang sedang mengalami proses peruraian maka kandungan zat organic yang mudah terurai akan menurun dengan cepat. 

Unsur karbon menyusun kurang lebih 45-50 persen dari bobot kering tanaman dan binatang. Apabila bahan tersebut dirombak oleh mikroba, O2 akan digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik dan akan dibebaskan CO2. Selama proses peruraian, mikroba akan mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar antara 10-70 % tergantung kepada sifat-sifat tanah dan jenis-jenis mikroba yang aktif. Setiap 10 bagian C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10) untuk membentuk plasma sel. Dengan demikian C-organik yang dibebaskan dalam bentuk CO2 dalam keadaan aerobik hanya 60-80 % dari seluruh kandungan karbon yang ada. Hasil perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4, H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik, CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara + nutrien+ humus +sel + energi

Bahan organik
Hubungan Antara Air, Tanah, Dan Organisme Dalam Dekomposisi Bahan Organik Tanah
Untuk hidupnya, manusia perlu berbagai macam tumbuhan untuk berbagai keperluannya, begitu pula hewan bahkan mikroorganisme yang memiliki berbagai fungsi di tubuh manusia. Sementara itu, kebutuhan abiotik pun juga sangat beragam seperti air, mineral, batu, pasir, tanah, udara, dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut baru menunjukkan hubungan secara langsung. Hubungan secara tidak langsung akan dapat menunjukkan betapa makhluk hidup tidak dapat berdiri sendiri dan saling terkait. Sebagai contoh, mikroorganisme pendekomposisi sampah. Jika mikroorganisme tersebut tidak ada, siklus berbagai unsur di alam akan terhambat, dan akhirnya akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem.

Dekomposasi atau pembusukan adalah proses ketika makhluk-makhluk pembusuk seperti jamur dan mikroorganisme mengurai tumbuhan dan hewan yang mati dan mendaur ulang material-material serta nutrisi-nutrisi yang berguna. Seresah yaitu tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Lapisan serasah juga merupakan dunia kecil di atas tanah, yang menyediakan tempat hidup bagi berbagai makhluk terutama para dekomposer. Berbagai jenis kumbang tanah, lipan, kaki seribu, cacing tanah, kapang dan jamur serta bakteri bekerja keras menguraikan bahan-bahan organik yang menumpuk, sehingga menjadi unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup lainnya. 

Siklus Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui). Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan tahuan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan Bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.

Siklus Nitrogen
Siklus nitrogen adalah suatu proses konversi senyawa yang mengandung unsur nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain. Transformasi ini dapat terjadi secara biologis maupun non-biologis. Beberapa proses penting pada siklus nitrogen, antara lain fiksasi nitrogen, mineralisasi, nitrifikasi, denitrifikasi. Walaupun terdapat sangat banyak molekul nitrogen di dalam atmosfir, nitrogen dalam bentuk gas tidaklah reaktif.[1] Hanya beberapa organisme yang mampu untuk mengkonversinya menjadi senyawa organik dengan proses yang disebut fiksasi nitrogen

Fiksasi nitrogen yang lain terjadi karena proses geofisika, seperti terjadinya kilat. Kilat memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, tanpanya tidak akan ada bentuk kehidupan di bumi. Walaupun demikian, sedikit sekali makhluk hidup yang dapat menyerap senyawa nitrogen yang terbentuk dari alam tersebut. Hampir seluruh makhluk hidup mendapatkan senyawa nitrogen dari makhluk hidup yang lain. Oleh sebab itu, reaksi fiksasi nitrogen sering disebut proses topping-up atau fungsi penambahan pada tersedianya cadangan senyawa nitrogen.

Vertebrata secara tidak langsung telah mengonsumsi nitrogen melalui asupan nutrisi dalam bentuk protein maupun asam nukleat. Di dalam tubuh, makromolekul ini dicerna menjadi bentuk yang lebih kecil yaitu asam amino dan komponen dari nukleotida, dan dipergunakan untuk sintesis protein dan asam nukleat yang baru, atau senyawa lainnya. Sekitar setengah dari 20 jenis asam amino yang ditemukan pada protein merupakan asam amino esensial bagi vertebrata, artinya asam amino tersebut tidak dapat dihasilkan dari asupan nutrisi senyawa lain, sedang sisanya dapat disintesis dengan menggunakan beberapa bahan dasar nutrisi, termasuk senyawa intermediat dari siklus asam sitrat.

Asam amino esensial disintesis oleh organisme invertebrata, biasanya organisme yang mempunyai lintasan metabolisme yang panjang dan membutuhkan energi aktivasi lebih tinggi, yang telah punah dalam perjalanan evolusi makhluk vertebrata. Nukleotida yang diperlukan dalam sintesis RNA maupun DNA dapat dihasilkan melalui lintasan metabolisme, sehingga istilah "nukleotida esensial" kurang tepat. Kandungan nitrogen pada purina dan pirimidina yang didapat dari asam amino glutamina, asam aspartat dan glisina, layaknya kandungan karbon dalam ribosa dan deoksiribosa yang didapat dari glukosa.

Kelebihan asam amino yang tidak digunakan dalam proses metabolisme akan dioksidasi guna memperoleh energi. Biasanya kandungan atom karbon dan hidrogen lambat laun akan membentuk CO2 atau H2O, dan kandungan atom nitrogen akan mengalami berbagai proses hingga menjadi urea untuk kemudian diekskresi. Setiap asam amino memiliki lintasan metabolismenya masing-masing, lengkap dengan perangkat enzimatiknya.

Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03- ).

Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali, dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. 

SIklus nitrogen di alam (Sumber: http://soilcarboncenter.k-state.edu/newsletters/11_30_07_files/image004.jpg ..... diunduh 25/6/2011)

Transformasi nitrogen (N) oleh Mikroba
Unsur N adalah komponen utama protoplasma, terdapat dalam jumlah besar dalam bentuk teroksidasi. Bahan yang mengandung N dapat mengalami amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi, tergantung bentuk senyawa-N dan lingkungannya. 

Beberapa reaksi redoks kunci dalam daur N di alam semuanya dilakukan oleh mikroba. Secara termodinamik N2 gas adalah bentuk paling stabil dan seimbang. Jumlah N terbesar di udara sebagai gas N2 yang merupakan sumber utama N. Untuk memecahkan ikatan rangkap 3 N=N diperlukan energi yang besar, berarti penggunaan N2 adalah proses yang memerlukan energi besar. Hanya sejumlah kecil jasad yang dapat menggunakan N2 dalam proses penambatan (fiksasi) N2, yang menyebabkan N lebih mudah digunakan yaitu dalam bentuk amonia dan nitrat. Oleh karena N2 gas merupakan sumber utama N maka penambatan N2 secara ekologis sangat penting.

Dalam daur N secara global terjadi pemindahan dari atmosfer ke dalam tanah. Sebagian gas N berupa oksida (N2O), dan sebagian lain berbentuk gas NH3. Pemindahan antara tanah dan air terutama sebagai N-organik, ion ammonium, dan ion nitrat.

a. Penambatan Nitrogen (N2) oleh Bakteri Tanah
Penambatan N2 dapat terjadi secara simbiotik, nonsimbiotik, dan kimia. Nitrogenase adalah ensim utama dalam penambatan N2 udara secara biologis. Ensim ini mempunyai dua macam protein, yang satu mengandung Mo dan Fe dan yang lain mengandung Fe. Ensim ini sangat sensitif terhadap O2 dan aktivitasnya memerlukan tekanan O2 sangat rendah. Selain itu juga diperlukan ATP, feredoksin, pereduksi dan mungkin sitokrom dan koensim. Reaksinya adalah sebagai berikut:

N2 + 6 e- 2 NH3 (Δ G= 15 Kkal)

Reaksi ini memerlukan energi karena G bernilai positif. Amonia yang dibebaskan diasimilasi menjadi asam amino yang selanjutnya disusun menjadi protein. Dalam lingkungan tanah, penambatan N2 terbesar dilakukan oleh bakteri Rhizobium (Bakteri yang bersimbiosis dalam perakaran legum). Jumlah N2 yang ditambat oleh bakteri ini 2-3 kali lebih besar daripada oleh jasad nonsimbiotik. Bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan akar tanaman kedelai atau alfalfa dapat menambat lebih dari 300 kg N/ha/th, sedang penambat N yang hidup bebas Azotobacter hanya mampu menambat 0.5-2.5 kg N/ha/th.

Selain Azotobacter, bakteri lain yang dapat menambat N2 udara adalah spesies-spesies Beijerinckia, Chromatium, Rhodopseudomonas, Rhodospirillum, Rhodomicrobium, Chlorobium, Chloropseudomonas, Desulfovibrio, Desulfotomaculum, Klebsiella, Bacillus, Clostridium, Azospirillum, Pseudomonas, Vibrio, Thiobacillus, dan Methanobacillus. Kecepatan penambatan N2 udara oleh jasad non-simbiotik kecil, tetapi mikroba ini distribusinya dalam tanah tersebar luas, sehingga peranannya penting.

Kecepatan penambatan N2 udara oleh Azotobacter dan Azospirillum lebih tinggi di daerah rhizosfer daripada dalam tanah di luar daerah perakaran. Hal ini disebabkan karena adanya bahan organik dari eksudat akar.

Pada lingkungan tanah tergenang, sianobakteria seperti Anabaena dan Nostoc merupakan jasad yang paling penting dalam menambat N2 udara. Sebagian sianobakteria membentuk heterosis yang memisahkan nitrogenase yang sensitive terhadap O2 dari ekosistem yang menggunakan O2 (lingkungan aerobik). Sianobakteria pada tanah sawah yang ditanami padi, dalam keadaan optimum dapat menambat 100- 150 kg N/ha/tahun. Sianobakteria penambat nitrogen dapat hidup bersimbiosis dengan jasad lain, seperti dengan jamur pada lumut kerak (Lichenes), dengan tanaman air Azolla misalnya Anabaena azollae.

b. Amonifikasi
Berbagai tanaman, binatang, dan mikroba dapat melakukan proses amonifikasi. Amonifikasi adalah proses yang mengubah N-organik menjadi N-ammonia. Bentuk senyawa N dalam jasad hidup dan sisa-sisa organik sebagian besar terdapat dalam bentuk amino penyusun protein. Senyawa N organik yang lain adalah khitin, peptidoglikan, asam nukleat, selain itu juga terdapat senyawa N-organik yang banyak dibuat dan digunakan sebagai pupuk yaitu urea.

Proses amonifikasi dari senyawa N-organik pada prinsipnya merupakan reaksi peruraian protein oleh mikroba. Secara umum proses perombakan protein dimulai dari peran ensim protease yang dihasilkan mikroba sehingga dihasilkan asam amino. Selanjutnya tergantung macam asam aminonya dan jenis mikroba yang berperan maka asam-asam amino akan dapat terdeaminasi melalui berbagai reaksi dengan hasil akhirnya nitrogen dibebaskan sebagai ammonia. Reaksi umumnya adalah sebagai berikut:

protease deaminasi
PROTEIN ----------------- ASAM AMINO ------------------ NH3

Urea yang mengalami proses amonifikasi akan terhidrolisis oleh adanya ensim urease yang dihasilkan oleh mikroba tanah. Urea yang dimasukkan ke dalam tanah akan mengalami proses amonifikasi sebagai berikut:

urease
CO(NH2)2 + H2O ---------------------- 2 NH3 + CO2

Dalam keadaan asam dan netral amonia berada sebagai ion amonium. Sebagian amonia hasil amonifikasi dibebaskan sebagai gas NH3 ke atmosfer, sehingga lepas dari sistem tanah. Amonia dan bentuk nitrogen lain di eko-atmosfer dapat mengalami perubahan kimia dan fotokimia, sehingga dapat kembali ke litosfer dan hidrosfer bersama-sama air hujan. Ion amonium dapat diasimilasi tanaman dan mikroba, selanjutnya diubah menjadi asam amino atau senyawa N lain. Di dalam sel, ammonia direaksikan oleh glutamat atau glutamin sintase atau mengalami proses aminasi langsung dengan asam-ketokarboksilat sehingga berubah menjadi asam amino.

c. Nitrifikasi
Dalam proses nitrifikasi, ammonia (NH3) atau ion NH4+ dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat dengan reaksi sebagai berikut:
NH4+ + 1,5 H2O --------------- NO2- + 2 H+ + H2O (Δ G = -66 Kkal)
NO2- + 0,5 O2 ------------------------- NO3- (Δ G = -17 Kkal)

Proses ini dilakukan oleh mikroba khemoototrof, yang menggunakan energinya untuk asimilasi karbon dalam bentuk CO2. Kedua langkah reaksi yang menghasilkan energy ini dilakukan oleh jasad yang berbeda, tetapi reaksinya berlangsung bersamaan sehingga jarang terjadi akumulasi NO2-. Dalam reaksi tersebut dihasilkan ion H+, sehingga ada kemungkinan dapat menurunkan pH lingkungan.

Di dalam tanah, genus utama pengoksidasi ammonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas dan yang dominan menghasilkan nitrat adalah Nitrobacter. Mikroba lain yang mampu mengoksidasi ammonia menjadi nitrit adalah Nitrospira, Nitrosococcus, dan Nitrosolobus. Selain Nitrobacter, mikroba lain yang mampu mengubah nitrit menjadi nitrat adalah Nitrospira, dan Nitrococcus. Bakteri tanah yang mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan nitrat umumnya mempunyai sifat khemoautotrofik.

Kelompok bakteri ini mampu menggunakan senyawa anorganik sebagai satu-satunya sumber energi dan menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Selain itu terdapat mikroba heterotrof baik bakteri maupun jamur juga berperan dalam proses nitrifikasi.

d. Reduksi Nitrat (Denitrifikasi)
Ion nitrat dapat diubah menjadi bahan organik oleh mikroba melalui proses asimilasi reduksi nitrat. Sekelompok mikroba heterotrof termasuk bakteri, jamur dan algae dapat mereduksi nitrat. Proses ini menggunakan sistem ensim nitrat dan nitrit reduktase, membentuk ammonia yang kemudian disintesis menjadi protein.

Pada lingkungan tanpa oksigen, ion nitrit dapat berfungsi sebagai aseptor elektron terakhir, yang dikenal sebagai proses respirasi nitrat atau asimilasi nitrat.

Dalam proses desimilasi reduksi nitrat, nitrat diubah menjadi bahan tereduksi sedang senyawa organik dioksidasi. Pada keadaan anaerob, reaksi ini lebih banyak menghasilkan energi dibandingkan energi yang dihasilkan oleh reaksi fermentasi.

Ada dua tipe desimilasi reduksi nitrat. Sekelompok mikroba fakultatif anaerob seperti Alcaligenes, Escherichia, Aeromonas, Enterobacter, Bacillus, Flavobacterium, Nocardia, Spirillum, Staphylococcus, dan Vibrio mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit dalam keadaan anaerob. Nitrit yang dihasilkan diekskresikan, sehingga mikroba dapat mereduksinya melalui hidroksilamin ke ammonium. Ensim yang bekerja pada reaksi tersebut melibatkan sistem ensim nitrat reduktase dan nitrit reduktase.

Mikroba pereduksi nitrat seperti Paracoccus denitrificans, Thiobacillus denitrificans dan beberapa Pseudomonas mempunyai tahap reaksi reduksi yang lebih lengkap sebagai berikut:

NO3- ------------- NO2- ------------- NO ----------- N2O --------------- N2

Reaksi denitrifikasi ini dapat terjadi dalam keadaan lingkungan anaerob pada tekanan oksigen yang sangat rendah (reduktif). Walaupun demikian denitrifikasi juga dapat terjadi dalam keadaan aerob apabila terdapat mikrohabitat anion. Mikroba denitrifikasi utama di dalam tanah ialah genera Pseudomonas dan Alcaligenes. Mikroba lain yang juga mampu mereduksi nitrat adalah Azospirillum, Rhizobium, Rhodo-pseudomonas, dan Propionibacterium.

Siklus Fosfor
Transformasi fosfor oleh mikroba
Mikroba tanah dapat berperan dalam proses penyediaan unsur hara untuk tanaman. Pada tanah-tanah kahat unsur hara tertentu yang perlu masukan tinggi untuk memanipulasi secara kimia agar ketersediaannya meningkat, maka penyediaan secara biologis dengan menggunakan mikroba menjadi sangat penting. Kenyataan di alam, pada rhizosfer (daerah sekitar perakaran) setiap tanaman merupakan habitat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karenanya penggunaan mikroba yang hidup di rhizosfer yang dapat meningkatkan serapan unsur hara tanaman menjadi perhatian utama pada kajian ini. Mikroba yang berperan dalam transformasi P dalam tanah adalah mikoriza yang bersimbiosis dengan perakaran tanaman dan mikroba pelarut fosfat yang hidup bebas di daerah perakaran.

a. Mikorhiza Vesikular Arbuskular Mikoriza (VAM)
Pada keadaan tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, telah ditemukan adanya simbiosis tanaman dengan sejenis jamur yang disebut mikoriza. Mikoriza terdiri atas beberapa macam spesies, simbion untuk tanaman pertanian pada umumnya adalah endomikoriza yang dikenal sebagai vesicular arbuskular mikoriza (VAM). Tanaman memerlukan mikoriza untuk pengambilan unsure hara terutama kemampuannya untuk meningkatkan serapan P, sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman terutama pada tanah-tanah kahat P.

Vesikular Arbuskular Mikoriza pada akar tanaman
Sumber: http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/vi-mikroba-dan-kesuburan-tanah.pdf ...... diunduh 23/6/2011

Ektomikoriza pada akar tanaman
Sumber: http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/vi-mikroba-dan-kesuburan-tanah.pdf ...... diunduh 23/6/2011

Perakaran tanaman yang terinfeksi mikoriza mempunyai daya serap yang lebih besar terhadap air dan unsur hara, khususnya P, apabila dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini disebabkan adanya miselium jamur mikoriza yang tumbuh keluar dari akar sehingga daya jangkau dan luas permukaan perakaran meningkat, akibatnya dapat memperbesar daya serap akar. Diduga bahwa hifa eksternal mikoriza menyerap ion secara intersepsi dan melalui pertukaran kontak langsung, sehingga penyerapan ion oleh tanaman dengan cara tersebut menjadi lebih besar, sedangkan penyerapan secara difusi dan aliran massa tetap berlangsung. Dengan demikian pada ketersediaan P yang sama, maka tanaman bermikoriza dapat menyerap P yang lebih besar apabila dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza.

Tanaman bermikoriza mempunyai daya serap akar yang lebih besar sehingga mengakibatkan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman juga meningkat. Oleh karena sifat dan cara penyerapan unsur hara yang berbeda satu sama lain, maka jumlah unsur hara yang dapat diserap oleh adanya miselium jamur mikoriza ini kemungkinan juga berbeda, dan hal ini dapat menyebabkan respon mikoriza pada serapan unsur hara tertentu sangat besar tetapi untuk unsur hara yang lain tidak sama.

Penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat secara pasif dan aktif, ada yang berpendapat bahwa pengaruh mikoriza lebih nyata pada unsur hara yang terutama diserap tanaman secara pasif dan sifat ionnya tidak lincah, seperti fosfor yang terutama diserap oleh akar secara difusi. Fosfor merupakan unsur penting penyusun ATP, dan ATP merupakan bentuk energi tinggi yang sangat berperanan dalam penyerapan unsure hara secara aktif, sehingga peningkatan serapan fosfor memungkinkan peningkatan serapan unsur hara lain yang diserap secara aktif oleh perakaran tanaman.

Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara jamur (mykus) tanah kelompok tertentu dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. Berdasarkan struktur tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan besar yaitu Endomikoriza, Ektomikoriza, dan Ektendomikoriza. Endomikoriza lebih dikenal dengan Vesikular Arbuskular Mikoriza atau disingkat VAM, karena pada simbiosis dengan perakaran dapat membentuk arbuskul dan vesikula di dalam akar tanaman. Berdasarkan struktur arbuskul atau vesikula yang dibentuk, maka VAM dapat digolongkan ke dalam 2 sub ordo, yaitu Gigaspoinae dan Glominae. Sub ordo Gigaspoinae terdiri atas satu famili Gigaspoceae yang beranggotakan 2 genus yaitu Gigaspora sp. dan Scutellospora sp. Kedua genus ini tidak membentuk struktur vesikula tetapi hanya membentuk arbuskul apabila berasosiasi dengan akar tumbuhan. Salah satu anggota sub ordo Glominae adalah Glomus sp.

Vesikular Arbuskular Mikoriza merupakan simbiosa antara jamur tanah yang termasuk kelompok Endogonales dengan semua tanaman yang termasuk dalam Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae, kecuali pada family Cruciferae, Chenopodiaceae dan Cyperaceae yang belum diketahui adanya simbiosis dengan jamur tersebut. Simbiosis antara tanaman dengan mikoriza terjadi dengan adanya pemberian karbohidrat dari tanaman kepada jamur dan pemberian unsur hara terutama P dari jamur kepada tanaman. Oleh karena itu perkembangan mikoriza pada akar sangat tergantung pada tingkat fotosintesis tanaman inang. Jamur membutuhkan senyawa carbon yang dihasilkan oleh tanaman inang, sehingga kemampuan tanaman untuk mensuplai senyawa carbon dari hasil fotosintesis menentukan keberhasilan tanaman bersimbiosis dengan jamur. Akar tanaman dapat menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan jamur VAM. Senyawa tersebut berupa flavonoid yang disebut eupalitin (3,5-dihidroksi-6,7-dimetoksi-4-hidroksi flavon) yang dapat merangsang pertumbuhan hifa VAM, selain itu ada senyawa lain yang belum teridentifikasi yang dapat berfungsi sebagai molekul sinyal untuk terjadinya simbiosis tanaman-VAM.

Bagian penting dari VAM adalah adanya hifa eksternal yang dibentuk diluar akar tanaman. Hifa ini membantu memperluas daerah penyerapan akar tanaman. Jumlah miselium eksternal dapat mencapai 80 cm per cm panjang akar, yang perkembangannya dipengaruhi oleh keadaan tanah terutama aerasi. Dengan semakin luasnya daerah penyerapan akar maka semakin besar pula daya serap akarnya, sehingga adanya mikoriza pada perakaran tanaman akan dapat meningkatkan penyerapan unsur hara. Penyerapan air oleh akar juga menjadi lebih besar, sehingga tanaman lebih tahan terhadap kekeringan. Manfaat lain adanya mikoriza adalah dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar, dan dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. 

Vesikular Arbuskular Mikoriza mempunyai struktur hifa eksternal dan hifa internal, hifa gulung, arbuskul dan vesikula. Hifa jamur mikoriza tidak bersekat, tumbuh diantara sel-sel korteks dan bercabang-cabang di dalam sel tersebut. Di dalam jaringan yang diinfeksi dibentuk hifa yang bergelung-gelung atau bercabang-cabang yang sering disebut arbuskul. Arbuskul merupakan cabang-cabang hifa dikotom, struktur ini akan tampak sebagai massa protoplasma yang berbutir-butir dan bercampur baur dengan protoplasma sel tanaman. Arbuskul mempunyai hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan 2-3 kali luas permukaan plasmolema akar, dan diduga berperan sebagai pemindah unsur hara antara jamur dan tanaman inang. Arbuskul dapat dibentuk dua sampai tiga hari setelah infeksi jamur terjadi pada perakaran. Vesikula mengandung lipida, terutama berfungsi sebagai organ penyimpan. Apabila sel kortek rusak, vesikula dapat dibebaskan ke dalam tanah, dan selanjutnya dapat berkecambah dan merupakan propagul infektif. Perakaran yang terinfeksi VAM tidak terjadi perubahan nyata secara fisik, sehingga hanya dapat dideteksi dengan teknik pewarnaan dan diamati dengan mikroskop. Di dalam tanah, mikoriza dapat membentuk spora yang tumbuh satu-satu atau berkelompok yang disebut sporokarp. Berdasarkan tipe sporanya, dibedakan yang dapat membentuk klamidospora, yaitu genera Glomus, Sclerocystis, dan Complexipes. Sedangkan yang membentuk asigospora adalah genera Gigaspora, Acaulospora dan Entrophospora.

Pengaruh yang menguntungkan dari mikoriza untuk pertumbuhan tanaman, yang menunjukkan bahwa tanaman yang bermikoriza mempunyai berat kering yang lebih besar dari tanaman yang tidak bermikoriza. Tanaman yang bermikoriza tumbuh normal sedangkan tanaman tanpa mikoriza menunjukkan gejala defisiensi P. Mikoriza memperbaiki pertumbuhan tanaman dengan jalan meningkatkan penyerapan unsurunsur hara dari dalam tanah, terutama unsur P. Oleh karena P merupakan hara utama untuk pertumbuhan tanaman, maka pengaruh infeksi mikoriza sangat nyata. Dengan demikian respon pertumbuhan tanaman merupakan akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbaikan penyerapan P. Selain itu juga didukung oleh peningkatan serapan unsur-unsur lain, seperti N, S, Zn dan Cu.

b. Mikroba Pelarut Fosfat
Bakteri yang diketahui dapat melarutkan fosfat adalah bermacam-macam spesies dari genera Bacillus, Pseudomonas, Arthrobacter, Micrococcus, Streptomyces, dan Flavobacterium. Spesies-spesies bakteri yang mempunyai daya tinggi untuk melarutkan fosfat adalah Pseudomonas striata, P. rathonis, Bacillus polymyxa, dan Bacillus megaterium. Semua bakteri tersebut mempunyai kemampuan yang stabil dalam melarutkan P tidak tersedia dalam tanah dan batu fosfat. Kebanyakan bakteri yang dapat melarutkan fosfat adalah bakteri pembentuk spora. Selain bakteri, berbagai jamur yang diketahui dapat melarutkan fosfat adalah bermacam-macam spesies dari genera Aspergillus, Penicillium dan khamir. Beberapa varitas dari spesies jamur Aspergillus niger mempunyai daya tinggi untuk melarutkan fosfat.

Mikroba pelarut fosfat heterotrof dapat menghasilkan asam-asam organik. Berbagai asam organik tersebut terutama asam-asam hidroksi dapat mengikat secara khelat dan membentuk kompleks yang relatif stabil dengan kation-kation Ca2+, Mg2+, Fe3+, dan Al3+, sehingga fosfat yang semula terikat oleh kation-kation tersebut menjadi terlarut. Beberapa bakteri disamping menghasilkan asam organik non-volatil juga dapat membentuk asam volatil. Asam organik yang dihasilkan oleh satu jenis bakteri dapat bermacam- macam, seperti asam glukonat. Pembentukan asam organik seperti asam-asam karboksilat yang terjadi selama perombakan bahan organik oleh jamur dapat menyebabkan larutnya batu fosfat. Pelarutan batu fosfat dapat diketahui dengan meningkatnya Ca yang terlepas dari batu fosfat. Dari metode tersebut diketahui bahwa pelarutan batu fosfat meningkat terus sampai hari ke 90. Peningkatan jumlah asam karboksilat dan total keasaman organik sebanding dengan peningkatan pelarutan batu fosfat.

Beberapa mikroba yang bersifat khemolitotrofik juga berperan dalam proses pelarutan fosfat tidak tersedia dalam tanah. Bakteri kelompok Nitrosomonas dan Thiobacillus berturut-turut dapat menghasilkan asam nitrat dan asam sulfat. Asam-asam tersebut merupakan asam kuat yang mampu melarutkan fosfat yang berbentuk tidak larut.

Jaring-jaring makanan dalam tanah: 
The living part of the soil is just as critical to plant growth as the physical soil structures. Soil microorganisms are the essential link between mineral reserves and plant growth. The cycles that help nutrients to flow from soil to plant are all interdependent and they work only with the help of the living organisms that constitute the soil community.

Jaring-jaring makanan dalam tanah (Sumber: http://www.prism.gatech.edu/~gh19/b1510/ecosys.htm ..... diunduh 25/6/2011)

Soil organisms, from bacteria and fungi to protozoans and nematodes, on up to mites, springtails and earthworms, perform a vast array of fertility-maintenance tasks. Organic soil management aims at helping soil organisms maintain fertility; conventional (non-organic) soil management merely substitutes a simplified chemical system to provide nutrients to plants. Once a healthy soil ecosystem is disrupted by the excessive use of soluble synthetic fertilizers, restoring it can be a long and costly process. In many cases, the excessive use of energy-intensive petroleum-based fertilizers and pesticides has destroyed the biological fertility of soil, so growers use ever-larger amounts of these materials to sustain crop growth. Like all living things, the creatures of the soil community need food, water, and air to carry on their activities A basic diet of plenty of organic material, enough moisture, and well-aerated soil will keep their populations thriving.

Soil creatures thrive on raw organic matter with a balanced ratio of carbon to nitrogen, about 25 to 30 parts carbon to 1 part nitrogen. Carbon, the form of carbohydrates, is the main course for soil organisms. Given lots of it, they grow quickly scavenging every scrap of nitrogen from the soil system to go with it. That’s why adding lots of high-carbon materials to your soil can cause nitrogen deficiencies in plants. In the long term, carbon is the ultimate fuel for all soil biological activity and therefore of humus formation and productivity. A balance supply of mineral nutrients is also essential for soil organisms, and micronutrients are important to the many bacterial enzymes involved in their biochemical transformations

Jaring-jaring makanan dalam tanah (Sumber: http://www.ecowalkthetalk.com/blog/2010/06/14/organic-gardening-importance-of-balanced-soils/ ….. diunduh 25/6/2011)
Biodiversitas Tanah dan Keterkaitannya dengan Proses-proses Soil.

Tanah merupakan suatu bagian dari ekosistem terrestrial yang di dalamnya dihuni oleh banyak organisme yang disebut sebagai biodiversitas tanah. Biodiversitas tanah merupakan diversitas alpha yang sangat berperan dalam mempertahankan sekaligus meningkatkan fungsi tanah untuk menopang kehidupan di dalam dan di atasnya. Pemahaman tentang biodiversitas tanah masih sangat terbatas, baik dari segi taksonomi maupun fungsi ekologinya. Makrofauna tanah merupakan kelompok fauna bagian dari biodiversitas tanah yang berukuran sekitar 2 mm hingga 20 mm. Makrofauna tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta memberikan fasilitas lingkungan (mikrohabitat) yang lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna tanah lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan yang mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke dalam tanah, perbaikan struktur tanah, dan proses pembentukan tanah. Dengan demikian makrofauna tanah berperan aktif untuk menjaga kesuburan tanah atau kesehatan tanah.

Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah. Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta, moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan molekul organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik. Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah. Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah.

Populasi, biomasa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh praktek penggelolaan lahan dan penggunaannya. Sebaliknya, pada lahan terlantar karena kualitas lahannya tergolong masih rendah menyebabkan hanya makrofauna tanah tertentu yang mampu bertahan hidup, sehingga diversitas makrofauna tanah baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam tanah juga sangat rendah.

Fauna tanah memerlukan persyaratan tertentu untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Struktur dan komposisi makrofauna tanah sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Makrofauna tanah lebih menyukai keadaan lembab dan masam lemah sampai netral (Notohadiprawiro, 1998). Hakim dkk (1986) dan Makalew (2001), menjelaskan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas organisme tanah yaitu, iklim (curah hujan, suhu), tanah (kemasaman, kelembaban, suhu tanah, hara), dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya matahari.

Cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat-sifat tumbuhan dan hewan. Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, air, suhu, dan kelembapan yang berbeda. Berdasarkan responnya terhadap cahaya, makrofauna tanah ada yang aktif pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Kebanyakan makrofauna permukaaan tanah aktif di malam hari. Selain terkait dengan penyesuaian proses metabolismenya, respon makrofauna tanah terhadap intensitas cahaya matahari lebih disebabkan oleh akitivitas menghindari pemangsaan dari predator. Dengan pergerakaannya yang umumnya lambat, maka kebanyakan jenis makrofauna tanah aktif atau muncul ke permukaan tanah pada malam hari.

Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya makrofauna tanah, sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya. Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang tidak dapat memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah dihancurkan oleh jasad renik tanah.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Anderson J.M. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
  • Andre. 2010. http://boymarpaung. wordpress. com/ 2009/ 02/ 19/ sifat-biologi-tanah/ 19 Februari 2009. [Diakses pada 17 Maret 2010].
  • Annisa. 2008. http://www.lihatkita.co.cc/2010/01/filum-arthropoda.html. [Diakses pada 20 Juni 2011].
  • Atkinson, C. F., D.D. Jones and J.J. Gauthier. 1996. Biodegradabilities and microbial activities during composting of municipal solid waste in bench-scale reactors. Compost Science and Utilization. 4,4: 14-23.
  • Baker G.H. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other land use practices on soil fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
  • Bear, F.E. 1964. Chemistry of the soil, ACS Monograph series No. 160, P. 258.
  • Chefetz, B., F. Adani, P. Genevini, F. Tambone, Y. Hadar, and Y. Chen. 1998. Humic acid transformation during composting of municipal solid waste. Journal of Environmental Quality 27: 794-800.
  • Crossley Jr. D.A., B.R.Mueller dan J.C. Perdue. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil: relations to processes. Agric. Ecosyst. Environ. 40,37-46
  • Day, D.L., M. Krzymien, K. Shaw, W.R. Zaremba, C. Wilson, C. Botden, and B. Thomas. 1998. An investigation of the chemical and physical changes occurring during commercial composting. Compost Science and Utilization 6 (2): 44-66.
  • Doran J.W. dan Parkin. 1994. Definning and assessing soil quality, in J.W. Doran D.C. Coleman D.F. Bezdick and B.A Stewart (eds). Defining Soil Quality for Sustainable Enironment. SSSA Special Publication 35. SSSA. Madison pp 3 -21
  • Epstein E. 1997. The science of composting. Technomic Publishing, Inc., Lancaster, Pennsylvania, p. 83.
  • Finstein , M. S., F.C. Miller, P.F. Strom. 1986. Waste treatment composting as a controlled system. pp. 363-398. In: W. Schenborn (ed). Biotechnology. Vol. 8-Microbial degradations. VCH Verlaqsgedellschaft (German Chemical Society): Weinheim F.R.G.
  • Hairiah, K., Widianto., D. Suprayogo., R. H. Widodo., P. Purnomosidhi., S. Rahayu., M. V. Noordwijk. 1986. Ketebalan Serasah Sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) Sehat. http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_199_1.pdf. [Diunduh pada 13 Juni 2011].
  • Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go Ban Hong, H. H. Bailley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung : Penerbit Universitas Lampung.
  • Hamoda, M. F., H.A. Abu Qdais and J. Newham. 1998. Evaluation of municipal solid waste composting kinetics. Resources, Conservation and Recycling 23: 209-223.
  • Hanafiah, K. A., A. Napoleon dan N. Ghofar., 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
  • Haug, R. T. 1993. The practical handbook of compost engineering. Lewis publishers, Boca Raton. Florida. 717 p.
  • Howe, C.A. and C.S. Coker. 1992. Co-composting municipal sewage sludge with leaves, yard wastes and other recyclables a case study. In: Air Waste Management Association. 85th Annual Meeting and Exhibition, Kansas City, Missouri, 21-26 June 1992.
  • Iswandi, A. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. IPB. Bogor.
  • Kaiser, J.. 1996. Modeling composting as a microbial ecosystem: a simulation approach. Ecological Modeling, 91 25-37.
  • Kartini, N. L., 2008. Cacing Tanah Indikator Kesuburan Tanah. http://wordpress.com/2008/10/cacing-tanah-indikator-kesuburan-tanah/. [Diakses pada 1 Juni 2011].
  • Komilis, D. P., R.K. Ham and J.K. Park. 2004. Emission of volatile organic compounds during composting of municipal solid wastes. Water Research 38: 1707-1714.
  • Liao, P. H., May, A. C. and Chieng S. T. 1995. Monitoring process efficiency of full-scale in-vessel system for composting fisheries wastes. Bioresource Technology 54: 159-163.
  • Makalew, A. D. N. 2001. “Keanekaragaman Biota Tanah Pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT)”. Makalah Falsafah sains program pasca sarjana /S3. Bogor:IPB.
  • Mc Kinley, V. L., J.R. Vestal and A.E. Eralp. 1985. Microbial activity in composting. Biocycle 26 (10): 47-50.
  • McKinley V.L., and J.R. Vestal. 1984. Biokinetic analyses of adaptation and succession: Microbial activity in composting municipal sewage sludge. Applied and Environmental Microbiology. 47 (5). pp.933-941
  • Naylor, L. M. 1996. Composting. Environmental and Science and Pollution series 18 (69): 193-269.
  • Neto, J. T. P., E.I. Stentiford dan D.D. Mara. 1987. Comparative survival of pathogenic indicators in windrow and static pile. pp. 276-295. In: M.de Bertoldi, M. P. Ferranti, P. L' Hermite and F. Zucconi (eds.). Compost: Production, Quality and Use. Elsevier Applied Science, London, United Kingdom.
  • Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Pace, M.G., B.E. Miller dan K.L. Farrel-Poe. 1995. The Composting Process October 1995. Extension, Utah State University. AG- WM 01
  • Palmisano, A C dan M.A. Bartaz. 1996. pp.125-127. In: Microbiology of solid waste. CRC Press.Inc. 2000. Corporate Bld. N.W. Boca Raton. FL 33431 USA.
  • Palmisano, A. C., D.A. Maruscik, C.J. Ritchie, B.S. Schwab, S.R. Harper and R.A. Rapaport. 1993. A novel bioreactor simulating composting of municipal solid waste. Journal of Microbiological Methods 56:135-140.
  • Primack B.R., J.Supriatna , M.Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  • Reddy, K. R., T.C. Feijtel dan W.H. Patrick. 1986. Effect of soil redox conditions on microbial oxidation of organic matter. pp. 117-153. In: Y. Chen and Y. Avnimelech (eds.). The Role of Organic Matter in Modern Agriculture. Nijhoff, Dordrecht.
  • Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta
  • Sharma, V.K., M. Canditelli, F. Fortuna dan Cornacchia. 1997. Processing of urban and agro-industrial residues by aerobic composting: review. Energy Conversion and Management 38 (5): 453-478.
  • Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan tanah. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
  • Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.
  • Warman, P. R. dan W.C. Termeer. 1996. Composting and evaluation of racetrack manure, grass clippings and sewage sludge. Bioresource Technology 55: 95-101.
  • Young, C. C dan C.H. Chou. 2003. Allelopathy, plant pathogen and crop productivity. pp. 89-105. In: H. C. Huang and S. N. Acharya (eds.). Advances in Plant Disease Management. Research Signpost, Trivandrum, Kerala, India.