Articles by "politik"
Showing posts with label politik. Show all posts
PENGERTIAN MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.

Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
  • Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
  • Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
Ketua Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Ketuanya pada saat ini adalah Bagir Manan.

Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi.

Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Arti Lambang Mahkamah Agung 


ARTI LAMBANG MAHKAMAH AGUNG - RI
I. BENTUK :
Perisai ( Jawa : Tameng ) / bulat telur
II. I S I :
1. GARIS TEPI
5 (lima) garis yang melingkar pada sisi luar lambang menggambarkan 5 (lima sila dari pancasila)
2. TULISAN
Tulisan " MAHKAMAH AGUNG" yang melingkar diatas sebatas garis lengkung perisai bagian atas menunjukkan Badan, Lembaga pengguna lambang tersebut.

3. LUKISAN CAKRA
Dalam cerita wayang (pewayangan), cakra adalah senjata Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai senjata " Pamungkas " (terakhir). Cakra digunakan untuk memberantas ketidak adilan.
Pada lambang Mahkamah Agung, cakra tidak terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra pada lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni berupa bentuknya cakra. Jadi dalam keadaan "diam" (statis)

Tidak demikian halnya dengan cakra yang terdapat pada Lambang Mahkamah Agung. Cakra pada lambang Mahkamah Agung terlukis sebagai cakra yang (sudah) dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari busurnya roda panah (cakra) berputar dan tiap ujung (ada delapan) yang terdapat pada roda panah (cakra) mengeluarkan api.Pada lambang Mahkamah Agung cakra dilukis sedang berputar dan mengeluarkan lidah api (Belanda : vlam ).

Cakra yang rodanya berputar dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari busurnya untuk menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan menegakkan kebenaran.

Jadi pada lambang Mahkamah Agung, cakra digambarkan sebagai cakra yang " aktif ", bukan cakra yang " statis "

4. PERISAI PANCASILA
Perisai Pancasila terletak ditengah-tengah cakra yang sedang menjalankan fungsinya memberantas ketidak adilan dan menegakkan kebenaran. Hal itu merupakan cerminan dari pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 yang rumusnya.

" Kekuasaan Kehakiman adalah Kekasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia."

Catatan : Rumusan pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 sama dengan
Dengan rumusan pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970.

5. UNTAIAN BUNGA MELATI
Terdapat 2 (dua) untaian bunga melati masing-masing terdiri dari atas 8 (delapan) bunga melati, melingkar sebatas garis lengkung perisai bagian bawah, 8 (delapan ) sifat keteladanan dalam kepemimpinan (hastabrata).

6. SELOKA " DHARMMAYUKTI"
Pada tulisan "dharmmayukti" terdapat 2 (dua) huruf M yang berjajar. Hal itu disesuaikan dengan bentuk tulisan " dharmmayukti " yang ditulis dengan huruf Jawa.

Dengan menggunakan double M.huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharma" akan dilafal sebagai "A" seperti pada ucapan kata "ACARA ", "DUA" "LUPA" dan sebagainya.

Apabila menggunakan 1 (satu) huruf "M", huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharmma" memungkinkan dilafal sebagai huruf "O" seperti lafal "O" pada kata "MOTOR", "BOHONG" dan lain-lainnya.

Kata "DHARMMA" mengandung arti BAGUS, UTAMA, KEBAIKAN. Sedangkan kata "YUKTI" mengandung arti SESUNGGUHNYA, NYATA. Jadi kata "DHARMMAYUKTI" mengandung arti KEBAIKAN/KEUTAMAAN YANG NYATA/ YANG SESUNGGUHNYA yakni yang berujud sebagai KEJUJURAN, KEBENARAN DAN KEADILAN.
no image
Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu;
  •  Tentara Nasional Indonesia, 
  • Negara Republik Indonesia, 
  • (Pemerintah Daerah, (
  • Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: 
  1. bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan 
  2. (komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. 
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).

Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. 

Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’[1]. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri. 

Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. 

Dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, dapat digambarkan sebagai berikut. 

Tiga Lembaga Pengisi Jabatan 
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[1]. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.

Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[2], Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. 

Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi. 

Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang. 

Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat 
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya. 

Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang. 

Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK. 

Hubungan dengan Presiden/Pemerintah 
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi. 

Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan[1]

Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR. 

Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan. 

Hubungan dengan Komisi Yudisial 
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung. 

Namun demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut perkataan “... serta perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”, maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh karena itulah Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya. 

Susunan Organisasi 
Organisasi Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi Pertama adalah para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial. 

Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung

Organisasi Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2003[1] dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif, sedangkan Organisasi Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN[2]

Mengapa Mahkamah Konstitusi Perlu Dibentuk? 
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945[3]. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (b) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’.[1] Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.

Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat kewenangan itu[2] adalah: (1) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945[3]

Sengketa Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara 
Pada umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini, orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif. Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak dapat keluar dari paradigma lama ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian ‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. 

Oleh karena itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang 

dipersengketakan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang bersengketa. 

Dengan cara pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan hanya dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan hanya menyatakan: “Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD.

Akan tetapi, sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sama-sama disebut namanya dan pembagian kewenangannya dalam Pasal 30 UUD 1945. Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya, siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud UUD menentukan pengaturan tentang pembagian kewenangan di antara keduanya. Meskipun TNI dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara, melainkan adalah “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan dalam dan diberikan oleh UUD. 

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. 

Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres). 

Pembubaran Partai Politik 
Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya. 

Tuntutan Pertanggung jawaban Presiden/Wakil Presiden. 
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden[1]. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab. 

Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA 
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana 

SUMBER ARTIKEL;
[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
[1] Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantive, seperti dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitus
[1] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316). Meskipun dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan “cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehingga mengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan hukum bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu, dejarat independensi hakim konstitusi juga diharapkan dapat lebih terjamin karena yang menentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabila pengangkatan mereka hanya ditentukan oleh Presiden.
[2] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.

[1] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

[1] LNRI Tahun 2003 No. 98 dan Tambahan LNRI No.4316.
[2] Ibid., Pasal 9 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, juga Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2002

[1] Dalam pengertian inilah muncul doktrin ‘demokrasi berdasar atas hukum’ atau ‘constitutional democracy’ yang berimbangan dengan doktrin negara hukum yang demokratis atau ‘democratische rechtsstaat’. Lihat juga Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996. Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford: Clarendon Press, 1989.
[2] Keempat kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, di bawah judul Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,; sedangkan ketentuan mengenai kewajiban memutus pendapat DPR dalam rangka tuntutan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7B ayat (4), yang merupakan bagian dari Bab III di bawah judul Kekuasaan Pemerintahan Negara.
[3] Lihat Pasal 7B ayat (4) UUD 1945.

[1] Lihat Pasal 7A juncto Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
no image
KOMUNIKASI POLITIK
Komunikasi politik transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada system politik yang lain dan antara sistem sosial dan sistem politik, merupakan unsur dinamis dari suatu system politik dan proses sosialisasi, partisipasi dan pengrekrutan tergantung pada konikasi. Komunikasi dari pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap adalah fundamental bagi ketiga hal tadi, karena semuanya menentukan benuk aktivitas politik individu yang bersangkutan. Dalam suatu system politik sumber yang tipikal mungkin adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik, pesannya akan merupakan serangkaian usul politik, salurannya berupa siaran televisi, pendengarnya adalah anggota kelompok pemilih yang kebetulan memperhatikan siaran dan umpan baliknya adalah persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap usul-usulnya.

Berbagai unsur suatu sistem komunikasi politik tidak perlu merupakan bagian struktural dari sistem politik, juga peranan mereka dalam proses yang tidak berkesinambungan dan dapat berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Dalam satu situasi seseorang menjadi sumber dari suatu pesan dan dalam situasi yang lain ia menjadi pendengar, dan dalam peristiwa lainnya lagi ia mungkin menjadi saluran. Demikianlah dalam satu hal seseorang pemegang jabatan politik adalah sumber suatu pesan kepada kumpulan pemilih tetapi dalam hal reaksi dari pihak pemilih, peranan mereka sebaliknya, sedangkan dalam situasi ketiga pemegang jabatan dapat menyampaikan kepada kumpulan pemilih suatu pesan yang berasal dari sumber lain.

Bagi seseorang pemegang jabatan politik, sumber informasinya meliputi rekannya di kantor, para pemegang jabatn administratif sehubungan dengan jabatannya, berbagai sekutu politik, suatu variasi hubungan yang kurang politis , media massa dan barangkali kontak periodik dengan anggota masyarakat lainnya melalui sarana seperti kampanye pemilihan umum, pidato umum dan kunjungan ke berbagai negara. Bagi para pendengar lain sumber-sumber individu yang kurang aktif, pendengar dan saluran-saluran akan cenderung lebih terbatas dan seluruh proses komunikasi politik menjadi lebih berselang-seling. 

Peranan media massa dalam komunikasi politik menggambarkan cara-cara tertentu yang mana seluruh proses politik terintegrasi dengan jaringan komunikasi sosial yang lebih luas dan pada umumnya media massa itu sendiri mutlak bersifat politis atau padat dengan masalah-masalah politik. Surat kabar, radio dan televisi pada umumnya memberikan banyak informasi kepada pemakainya, yang mana masalah-masalah politik yang mencakup di dalamnya sedikit sekali, sedang isi-isi hiburan di radio dan televisi pada khususnya seringmerupakan bagian utama. Biasanya hanya bagian-bagian tertentu dari hasil ulasan mereka bersifat khusus politik. Selanjutnya ada perbedaan penting di kalangan media massa.

Dicantumkannya identitas para pembaca, baik berkaitan dengan posisi kelas maupun dukungan partai, setiap surat kabar mampu memilih dan mampu menyajikan materi dengan cara yang paling cocok dengan selera para pembacanya. Dengan kata lain setiap surat kabar biasanya hanya dapat menjangkau bagian tertentu dari rakyat dan berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhan khusus dari bagian kelompok tadi. Hal ini jelas ditampilkan oleh kasus di Inggris, dimana terdapat sejumlah surat kabar nasional yang mempunyai kalangan pembaca berbeda-beda secara sosio-ekonomis dan berbeda indentifikasi politiknya, perbedaan serupa juga dapat berlangsung di tempat lain. Betapapun juga di beberapa negara ada pengurangan terhadap kecenderungan ekonomis pada industri surat kabar dan ada juga kompetisi di antara surat kabar, sehingga suatu surat kabar seringkali bisa menikmati satu monopoli dalam satu bidang tertentu. Meskipun begitu surat kabar sedemikian itu tetap melayani sekelompok pembaca tertentu, dalam kasus ini kurang mengidentifikasikan diri dalam kaitan sosio-ekonomis atau politis dan lebih mengidentifikasikan diri secara lokal. Hal yang sama juga terjadi pada radio dan televisi, tetapi perlu diingat bahwa radio dan televisi tidak sama dengan surat kabar, mereka sering kali menghadapi persaingan dari jaringan yang lain dan selanjutnya banyak program-program yang mereka siarkan, tidak brsifat lokal dan tidak khusus ditujukan pada pendengar-pendengar lokal. Telah kita ketahui bahwa kepentingan terhadap media massa pada umumnya berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Karena itu tidak mengherankan jika kita menemukan perbedaan mengenai luasnya minat orang yang mengikuti soal-soal umum, bahkan perbedan tersebut sering mencolok sekali. 

Setiap sistem politik mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri dan mengakui pentingnya sumber-sumber khusus, sedang saluran-saluran dan para pendengar akan berbeda menurut menurut hal-hal yang kita sebut tadi diatas. Kecuali dalam masyarakat primitif yang dicirikan dengan tingkat melek-huruf yang rendah dan tidak memiliki keahlian teknis dan sarana untuk mengembangkan media massa modern, maka barang cetakan dan siaran radio merupakan sarana utama, yang mana informasi politik disampaikan kepada setiap system politik. Bersamaan dengan itu, saluran komunikasi lainnya adalah sangat penting dan jelas lebih politis sifatnya. Kelompok kepentingan dan partai-partai politik meskipun berbeda dari sistem yang satu dengan yang lain sangat vital sekali bagi proses komunikasi karena menyajikan saluran yang dapat menyajikan kontak antara para pejabat politik dan pejabat-pejabat administratif, serta rakyat pada umumnya. Keanggotaan organisasi politik dan quasi politik yang hanya bersifat sementara, akan tetapi para partisipan yang ikut terlibat dalam komunikasi menjadi lebih akrab, dimana informasi diteruskan secara vertikal dari para pemegng posisi yang lebih tinggi dalam suatu hierarki partisipasi dan diteruskan secara horizontal antara para anggota aktivis pada tingkat yang sama, baik sebagai anggota suatu organisai yag sama, maupun antara sesama organisasi.

Terlepas dari media massa dan organisasi yang bersifat formal, ada saluran komunikasi penting ketiga kontak antar individu dan kelompok individu. Jelas hubungan sedemikian itu dalam prakteknya tidak terisolir dari kedua saluran utama lainnya, namun secara analitis penting untuk membicrakannya secara terpisah sebagian karena saluran tersebut tidk seluruhnya terselubungi oleh media massa dan organisasi formal dan sebagian lagi karena saluran tersebut merupakan basis dari suatu teori komunikasi yang penting. Kontak informal atau relasi tatap muka merupakan sarana komunikasi yang paling umum dan paling sering dilakukan dalam setiap masyarakat, walaupun peranannya dalam komunikasi politik mungkin lebih banyak dikaitkan dengan pembentkan pendapat umum daripada hanya dengan penyampaian informasi politik belaka. Pola komunikasi khusus yang dikembangkan oleh suatu sistem politik tidak boleh tidak tergantung pada berbagai faktor dalam masyarakat. Yang paling penting adalah faktor fisik dan teknologis, ekonomis, sosiokultural dan politis. Pada akhirnya komunikasi bergantung pada faktor-faktor fisik dan teknologis, hal ini berate menekankan pentingnya usaha menyelidiki komunikasi dilihat dari titik pandang temporal.

Rintangan alam seperti gunung merapi, gurun pasir, hutan, laut, danau dan sungai sangat penting dalam penentuan pola awal dari komunikasi. Dari segi fisik mungkin terdapat pola komunikasi alamiah sepanjang sungai, lembah dan garis-garis pantai, umpamanya yang kelak dikembangkan menjadi sistem komunikasi pengangkutan darat dan pengangkutan air yang menghubungkan berbagai komunikasi. Isolasi atau integrasi yang relative dari bermacam-macam komunitas di tengah suatu masyarakat tertentu, jelas dipengaruhi secara mendalam oleh jenis pola komunikasi yang tengah berkembang. Hal ini seperti telah dikemukakan, terutama berlaku sebelum berkembangnya sarana komunikasi modern. 

Betapapun juga di kebanyakan negara perubahan teknologi banyak mengurangi permasalahan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor fisik dan secara mendalam telah mengubah pola komunikasi. Teknologi modern tidak hanya menambah banyak kemudahan dan kecepatan manusia dan material dapat diangkut dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, tetapi juga telah menghasilkan revolusi yang sama bahkan yang lebih besar dalam komunikasi informasi. Tetapi sejauh mana rintangan alamiah dapat diatasi dan sampai dimana kemajuan teknologi erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi? Terlepas dari pembatasan terhadap pengaruh barang cetakan, buta huruf juga terbatas pada pengaruh kata yang di ucapkan, sebab peristiwa tersebut secara pasti dapat dikaitkan dengan perolehan pendidikan. Dalam keadaan demikian kontak tatap muka menjadi luar biasa pentingnya dan merupakan sarana komunikasi yang pokok.

PEMBENTUKAN PENDAPAT UMUM
Kita telah melihat bagaimana masyarakat totaliter berusaha mengontrol system komunikasi untuk mengawasi pendapat umum. Sesungguhnya jelas bahwa system itu sendiri atau bagian-bagian tertentu dari sistem tersebut dengan sengaja dikembangkan untuk mempermudah melakukan kontrol. 

Adalah biasa bagi kita untuk berbicara mengenai pendapat umum, seolah-olah pendapat itu massif dan berpadu sifatnya dan hanya dapat diterapkan pada satu hal saja. Bahkan dimana suatu bagian dari pendapat itu diketahui hanya dapat dipikirkan dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok saja. Kenyataan dalam praktek menunjukan adanya jumlah yang tidak terbatas dari pendapat umum mengenai jajaran persoalan yang tiada terbatas pula.
no image
Proporsi individu dalam suatu masyarakat tertentu yang aktif pada tingkatan tertinggi dalam partisipasi politik, yaitu mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik dan administratif, merupakan kelompok minoritas dari penduduk seluruhnya. Proporsi ini boleh dikatakan hampir-hampir tidak bertambah bila mereka yang mencari jabatan politik dan jabatan administratif dimasukkan, seperti yang seharusnya jika melakukan penilaian terhadap pengrekrutan politik yang efektif. 

Adalah penting untuk menyelidiki pengrekrutan bagi satu birokrasi, bukan hanya karena perbedaan antara politikus dan administrator itu sudah pasti kabur dalam masyarakat totaliter. Hubungan antara para politisi dan anggota-anggota senior dari badan administratif adalah sedemikian rupa sehingga pengaruh para politisi terhadap administrasi dan pengaruh para administrator terhadap bidang politik sangat besar. Hal ini bukan berarti bahwa pengaruh yang satu selalu lebih besar daripada pengaruh yang lain, juga bukan hendak mensugestikan adanya sejenis ekuilibrium atau kekuatan-kekuatan lawan-imbang, hubungan antara keduanya tentu saja akan berbeda pada system politik yang satu dengan system politik yang lain dan dalam beberapa hal mereka merupakan kekuatan yang bertentangan, sedang dalam peristiwa lain keduanya merupakan kekuatan yang saling melengkapi dan sering kali merupakan bentuk campuran dari keduanya. 

Penataan kelembagaan setiap system politik merupakan faktor relevan lain dalam pengrekrutan politik. Apakah suatu sistem politik memiliki penataan kelembagaan yang Unitarian ataupun bersifat federal, atau sejauh mana terdapat peleburan atau pemisahan di antara kekuasaan-kekuasaan. 

SISTEM PENGREKRUTAN POLITIK 
Sistem pengrekrutan politik tentu saja memiliki memiliki keragaman yang tiada terbatas walaupun dua cara khusus, seleksi pemilihan melalui ujian serta latihan dapat dianggap sebagai yang paling penting. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman dan banyak diantaranya memiliki implikasi penting bagi pengrekrutan politik. Suatu metode pengrekrutan lain yang sudah berjalan lama, yang umum terdapat banyak sistem politik, adalah perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan atau dengan kekerasan. Penggulingan dengan kekerasan suatu rezim politik, apakah hal itu dapat berlangsung dengan coup d’etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan atau kerusuhan rakyat, sering kali walaupun tidak selalu bisa dijadikan sarana untuk mengefektifkan perubahan radikal pada personil di tingkat-tingkat lebih tinggi dalam partisipasi politiknya. Akibat yang paling langsung dan nyata dari metode-metode sedemikian itu adalah penggantian para pemegang jabatan politik, akan tetapi perubahan-perubahan dalam personil birokrasi biasanya menimbulkan hasil lebih lambat, terutama bila berlangsung dalam masyarakat yang kompleks dan sangat maju. 

Berbeda dengan system patronage, akan tetapi juga cenderung untuk mengekalkan tipe-tipe personil tertentu, ada lagi satu alat pengrekrutan yang jelas dapat disebutkan sebagai mampu memunculkan pemimpin-pemimpin alamiah. Walaupun sekarang dapat dikemukakan bahwa pemimpin partai konservatif di Inggris itu tidak timbul lagi sejak adanya pemilihan oleh suara anggota-anggota parlemen konservatif, sistem politiknya tetap memaksakan sejumlah pembatasan kontekstual dengan cara mengurangi jumlah pemimpin-pemimpin konservatif potensial dari mana pilihan tersebut dimunculkan. 

Suatu metode yang lebih terbatas di mana pemimpin-pemimpin yang ada dapat membantu pelaksaan pengrekrutan tipe-tipe pemimpin tertentu adalah dengan jalan Koopsi. Secara tepat Koopsi itu meliputi pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada dan walaupun hal ini hampir umum terdapat dalam lembaga-lembaga politik. Metode pengangkatan anggota. Badan Kehakiman biasanya dianggap kurang bervariasi daripada halnya para pemegang jabatan politik dan pejabat-pejabat administratif. Bagaimanapun juga cara-cara pemilihan yang dipakai dalam system politik sebagai sarana untuk memilih politikus dan pemegang jabatan administrative atau kehakiman akan menjadi perhatian kita sekarang. 

Suatu pemilihan dapat dinyatakan sebagai sarana untuk memilih di antara dua alternatif atau lebih, dengan jalan pemberian suara, akan tetapi dengan mengatakan hal sedemikian ini, pentinglah untuk mengakui adanya keanekaragaman yang tiada terbatas pada system-sistem pemilihan. Hak untuk ikut serta dalam pemilihan dapat dibatasi pada taraf yang berbeda-beda dan metode khusus yang digunakan untuk memberikan suara serta menghitung suara itu mengalami keserbaragaman yang banyak sekali. Beberapa pemilihan dapat dilukiskan secara tidak langsung, yaitu para pemilih memberikan suaranya untuk suatu kelompok individu yang kemudian merupakan satu badan pemilih presiden dan wakil presiden, yang seterusnya memimpin pemilihan kedua untuk menentukan siapa yang akan memegang jabatan yang dipertaruhkan. 

Semua itu mencakup peristiwa langsung dari para pemegang jabatan oleh para pemilih, walaupun pilihan dari dari para pemilih tadi mungkin dibatasi oleh kualifikasi-kualifikasi hukum yang ditetapkan bagi para pemegang jabatan politik dan oleh metode-metode yang mana partai politik melakukan seleksi terhadap para calon kandidat mereka. Hak pilih orang dewasa yang universal merupakan dasar paling umum bagi pemberian suara pemilih, akan tetapi hal ini biasanya dibatasi oleh factor-faktor seperti kewarganegaraan, kesehatan jiwa dan catatan kejahatan. Dalam beberapa system politik pembatasan seperti itu dilakukan lebih luas lagi dan mencakup kriteria lain. 

Pembatasan-pembatasan atas hak pilih kiranya mempunyai pengaruh yang penting pada tingkah laku voting, karena itu juga terhadap pribadi yang akan dipilih untuk menduduki jabatan politik. Pembatasan atas hak pilih secara histories penting dalam membantu menjelaskan persekutuan-persekutuan partai dan polarisasi elektoral. Dampaknya pun berbeda dengan dengan dampak cara voting. Sistem-sistempemilihan yang didasarkan atas pluralitas sederhana terlalu membesar-besarkan perbandingan kursi yang diperoleh partai yang menang dalam badan legislatif, sehubungan dengan suara dukungan yang diberikan dengan akibat timbulnya kerugian dipihak lawan, terutama pada partai politik ketiga atau partai-partai kecil lainnya. 

Dibanyak negara lainnya, koalisi-koalisi merupakan norma dan kemungkinan berlangsungnya sering diberi fasilitas-fasilitas dengan adanya sistem-sistem pemilihan yang didasarkan pada perwakilan yang proporsional sebanding. Keanekaragaman tipe dari perwakilan yang proporsional itu banyak sekali.dan tipe-tipe diasosiasikan dengan hasil-hasil khusus. Hubungan antarasistem-sistem pemilihan, tingkah laku, voting dan sistem-sistem partai sangat komplek, yaitu bahwa ada hubungan memeng tidak dapat diragukan, akan tetapi tidak dapat dikatakan umpamanya bahwa pluralitas sederhana menyebabkan timbulnya sistem dua partai juga tidak dapat dinyatakan bahwa perwakilan proporsional akan menyebabkan system multi partai. Sistem partai adalah produk karakteristik sosial dari masyarakat yang bersangkutan, bukan produk dari system pemilihannya. 

Suatu faktor yang agak kurang penting adalah metode pemberian suara. Betapapun juga faktor-faktor lain mengenai pemberian suara tetap merupakan peristiwa penting. Pada kebanyakan peristiwa pemilihanterdapat pertandingan yang berlangsung antara beberapa partai, seperti juga antara calon-calon perorangan karena mayoritas para pemilihmengidentifikasikan dirinya dengan suatu partai. Dibeberapa negara lain persaingan partai dilembagakan, dengan jalan mencantumkan nama partai pada surat suara atau lebih penting lagi dengan praktik menyodorkan daftar calon-calon partai pada para pemilih dan meminta para pemberi suara untuk memilih calon dari partainya. 

Karena itu piliha yang dibuat oleh partai sangat penting. Selanjutnya urgensi pilihan ini menjadi semakin meningkat apabila sesuatu dukungan partai dipusatkan dengan ketat, sebagaimana yang mungkin terjadi di distrik-distrik pemilihan tertentu, sehingga untuk memperoleh pencalonan partai dalam distrik pemilihan tanpa kecuali selalu akan merupak jaminan. Sistem pemilihan didasarkan atas perwakilan proporsional biasanya menghasilkan lebih sedikit partai-partai dan lebih sedikit calon-calon independen dengan kesempatan yang lebih besar untuk dipilih tentunya. 

Untuk menjamin pencalonan diperlukan dukungan dari satu partai karena dukungan tersebut merupakan langkah penting menuju suksesnya hasil pemilihan bagi calon-calon perorangan dan merupakan bagian penting dari pengrekrutan politik. Kepemimpinan partai mencegah pencalonan seseorang yang tidak disukai, sebaliknya menjadi sarana untuk jaminan pencalonan seseorang yang disukainya. 

Pengawasan regional atau local tidak perlu berarti seleksi terhadap para calon yang tidak disukai oleh partai nasional, juga tidak menutup adanya kerjasama anatara organisasi-organisasi partai tingkat nasional dan tingkat lainnya. Secara normal hal itu berarti bahwa seleksi dilakukan dalam kerangka prosedural umum terhadap partai sebagai keseluruhan dan sering kali diberi supervisi oleh organisasi nasional akan tetapi hal itu juga berarti bahwa pilihan calon yang efektif itu dilakukan pada tingkat regional atau tingkat lokal. 

Penggunaan pemilihan pendahuluan dibandingkan dengan metode-metode alternatif seleksi calon dapat dianggap penting. Kenyataan meunjukkan bahwa pemilihan pendahuluan diharuskan secara hukum. Hal ini berarti bahwa calon harus sudah siap untuk memeprjuangkan kampanye pemilihan umum untuk menjamin pencalonannya. Betapun juga bentuk pemilihan pendahuluan pasti berbeda pada beberapa peristiwa pemilihan pendahuluian berlangsung terbuka dan setiap pemberi suara dapat berpartisipasi walaupun pada kebanyakkan peristiwa hanya boleh memberikan suara dalam satu tempat pemilihan pendahuluan dari satu partai saja. Selanjutnya walaupun pemilihan pendahuluan tidak diragukan dapat memudahkan partisipasi politik, namun penting untuk dicatat bahwa kehadiran pemilih ternyata sangat bervariasi. 

Walaupun terdapat perbedaan, baik didalam walaupun diantara system politik pada metode yang digunakan dalam melakukan seleksi para calon, namum terdapat kecenderungan luas pada pengambilan keputusan penting dalam seleksi calon untuk lebih banyak dipusatkan pada tingkat lokal atau regional daripada tingkat nasional. Perbedaan yang lebih penting dalam banyak hal tidak berasal dari padat pengawasan paratai atas pelaksanaan seleksi akan tetapi dari doktrin konstitusional mengenai pemisahan dan fungsi kekuasaan. 

Secara umum dapat dinyatakan semakin lama suatu partai berkuasa, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk menduduki jabatan pemerintahan yang senior dan harus pula menyiapkan diri untuk menempuh jalan hiereki kementrian. Betapapun juga jika suatu partai terlalu lama berada dalam periode oposisi kemudian mendapat kesempatan untuk berkuasa maka pengangkatan orang-orang yang tidak memiliki pengalaman sedemikian tadi untuk pos-pos senior adalah lebih besar kemungkinannya. 

Walaupun sistem politik negara berkembang telah memeperoleh kemerdekaannya itu bebas dari dominasi kolonial selama sekian generasi. Pertentangan dalam aktivitas pengrekritan politik banyak terjadi di masyarakat berkembang dan prosesnya cenderung berlangsung relatif dan tidak sistematis. Sedang dalam masyarakat totaliter pengrekrutan tersebut berlangsung sangata systematis sekali. 

PENGREKRUTAN JABATAN ADMINISTRATIF 
Trainning dan pengrektutan secara sistematis untuk pemegang jabatan politik tidak sama dinegara demikrasi barat, akan tetapi ada sedikit persamaaanya dengan pengrekrutan para pemegang jabatan adminstratif. Pengrekrutan itu pertama-pertama didasarkan atas factor kegunaan dan masuknya para calon kedalam birokrasi biasanya dicapai dengan beberapa bentuk ujian yang dibuat untuk menguji faktor tersebut. 

Filsafat yang ada dibalik system ini tidak sulit untuk dipahami juga bukan tidak mungkin untuk dibenarkan. System patronage yang merupakan dasar umum pengrekrutan di kebanyakan negara pada waktu itu dapat diterima atas dasar bahwa perubahan personil adalah sehat dan demokratis. Walaupun kebanyakan pegawai sipil kini telah direkrut melalaui system kegunaan, pengrekrutan tidak dipusatkan dam setiap departemen melakukan ujian serta membuat pengangkatan sendiri. 

Hingga akhir-akhir ini training bagi pegawai sipil didasarkan atas konsep pendidikan dinas atau konsep pendidikan kejuruan dan hanya sedikit diberikan dengan instruksi khusus. Dalam prakteknya kecocokan itu meruapakan factor uatama dalam pengrekrutan administrative kecuali jika peristiwa patronase merupakan determinan tunggal. Latar belakang sosio ekonomis sering dianggpa penting karena diasosiasikan secara langsung atau tidak langsung dengan kompetensi, sedangkan masalah asal etnis dianggap penting di negara-negara seperti kanada, yang mengusahakan adanya keseimbangan antara para pegawai sipil yang berbahasa Inggris dan berbahasa Perancis. Betapapun juga dibeberapa negara lain, tekanan jauh lebih besar diletakkan pada faktor-faktor seperti loyalitas politis dan asal etnis. Dalam masyarakat berkembang yang dahulunya mengalami jajahan, usaha-usaha yang gigih sering dilakukan untuk menciptakan birokrasi, yang anggotanya diambil dari penduduk pribumi walaupun pemberian kepercayaan kepada para anggota administrasi kolonial yang terdahulu adalah umum terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan. 

Tujuan akhir suatu masyarakat totaliter seperti dijelaskan oleh undang-undang Nazi Civil Service adalah untuk menciptakan birokrasi dengan masalah loyalitas politik adalah mutlak dan lebih diutamakan daripada kemampuan. Sesungguhnya dalam keadaan demikian itu tidak terdapat seorang birokrat pun yang loyalitas politiknya diragukan dan dapat dianggap sebagai kompeten. Akan tetapi peristiwa ini memberikan kesulitan khusus dalam masa-masa transisi. 

Jika terjadi perubahan fundamental dalam sistem politik banyak sekali terjadi pergantian jabatan politik dan administratif. Tentu saja pemegang jabatan politik mengalami pergantian yang lebih drastis, akan tetapi adalah menyesatkan untuk menganggap bahwa hal ini hanya merupakan pergantian suatu kelompok oleh kelompok oposisi, sepeti yang dinyatakan oleh Lewis Edinger dalam studinya tentang masa peralihan dari rezim Nazi ke Republik Jerman Barat. 

SIAPA YANG DIREKRUT DAN MENGAPA? 
Kepustakaan tentang siapa-siapa yang mencapai jabatan politik dan jabatan administratif sangat luas sekali. Tambah lagi sejauh menyangkut Negara-negara demokrasi modern, terdapat persetujuan umum bahwa pemegang jabatan politik dan administrative tanpa kecuali selalu tidak mewakili kepentingan golongan rakyat umum. Selanjutnya pola pengrekrutan di kalangan para pemegang jabatan administratif, sebagaimana yang diukur dengan kelas pekerjaan pegawai sipil atasan, adalah serupa di negara demokrasi dan masyarakat berkembang. 

Pengrekrutan Politik Serta Teori-teori Elit dan Kelas. Dalam usaha menjelaskan mengapa para pemegang jabatan politik dan administratif diambil dari kelompok-kelompok sosial khusus dari suatu masyarakat, sejumlah ahli mengemukakan bahwa kelompok ini terdiri dari kaum elit dan dalam tangan mereka terpusatkan kekuatan politik. Eksistensi mereka itu tidaklah kebetulan saja, akan tetapi telah dikemukakan adalah hasil dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang menciptakan beberapa bentuk stratifikasi sosial. Tentu saja dasar stratifikasi sosial dapat berbeda dan mungkin didasarkan atas pembagian-pembagian ekonomis dalam masyarakat atau atas dasar konsep suatu hierarki religius atau atas dasar bentuk diferensiasi status atau atas pembagian etnis dan sebagainya. Dalam prakteknya mungkin saja hal tersebut merupakan kombinasi dari semua tadi, akan tetapi masyarakat-masyarakat khusus melukiskan tipe-tipe masing-masing negara demokrasi industri yang modern sering disebut sebagai masyarakat yang terbagi dalam kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. 

Suatu teori yang serupa namun terpisah mengemukakan bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan selalu merupakan minoritas kecil atau oligarki, karena semua organisasi tersebut terdiri dari suatu minoritas yang aktif dan satu mayoritas yang tidak aktif. Bahkan suatu organisasi yang memberikan kekuasaan formal kepada seluruh anggota dengan peraturan-peraturan yang dalam prakteknya tunduk kepada pengawasan dan manipulasi suatu minoritas anggota yag aktif dengan perkataan salah seorang penganjurnya, Gaetano Mosca. 

Dalam semua masyarakat, dari masyarakat-masyarakat yang berkembang sangat minim dan baru saja mencapai fajar peradaban, sampai kepada masyarakat yang paling maju dan sangat kuat, akan muncul dua kelas satu kelas yang berkuasa, dan satu kelas yang dikuasai. 

Namun demikian Mosca menyatakan bahwa posisi dominan dari minoritas ini tidak hanya disebabkan oleh keuntungan organisasi saja, tetapi kelompok ini juga memiliki keuntungan lain, karena mereka terdiri dari individu yang istimewa. Keistimewaan mereka tidak muncul karena mereka lebih mampu, tetapi karena mereka mempunyai karakteristik yang dihargai oleh masyarakatnya. Para penulis lainnya yang mengembangkan penjelasan Mosca dan Pareto mengemukakan argumentasi bahwa masyarakat industri modern telah mengembangkan tipe-tipe penguasa atau tipe-tipe elit politik tertentu. 

Dalam banyak hal teori-teori elit yang tengah berkembang merupakan reaksi terhadap teori kelas dari Karl Marx dan merupakan salah satu usaha untuk menyangkal teori kelas Karl Marx. Terlepas dari penegasan Marx bahwa kelas pekerja pada akhirnya memperoleh kekuasaan politik dan bahwa karena homogenitas kelas pekerja dan kesadaran kelasnya dan karena kebutuhan-kebutuhan pokok manusia harus terpuaskan, yang selanjutnya akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, maka terdapat perbedaan lain antara teori elit dan teori kelas Marx. 

T.B. Bottomore berpendapat bahwa bukan tidak mungkin untuk mengidentifikasikan berbagai elit sebagai kelompok-kelompok yang mempunyai status tinggi dalam suatu masyarakat, suatu kelas politik, atau pengaruh politik dan langsung turut terlibat dalam perjuangan untuk kepemimpinan politik. Kritik pokok atas teori elit dan teori kelas adalah bahwa kedua-duanya tergantung pada kepaduan kelompok maupun kesadaran kelompok. Tidaklah sulit untuk menetapkan, seperti telah kita lihat bahwa pemegang jabatan politik dan administratif seringkali diambil dari kelompok-kelompok sosial khusus dalam masyarakat juga tidak sulit untuk mendemonstrasikan bahwa anggota kelompok ini mempunyai kepentingan bersama, berdasarkan keanggotaan masing-masing kelompoknya. 

MENUJU SUATU TEORI PENGREKRUTAN POLITIK 
Kenyataan yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat itu diwakili secara tidak sebanding di kalangan para pemegang jabatan politik dan administratif, sering dihubungkan dengan kekutan permintaan. Hal ini jelas demikian, secara terbatas dibuktikan dengan kualifikasi formal yang kadang-kadang ditetapkan bagi para calon pada pemilihan-pemilihan dan secara lebih luas lagi kualifikasi-kualifikasi yang ditetapkan bagi para fungsionaris pemegang jabatan administratif.

Terlepas dari adanya tuntutan hak, katakanlah lebih banyak duduknyaanggota-anggota wanita di Parlemen atau dikurangi adanya ahli hokum dalam kongres adalah juga penting untuk menimbang, apakah pengadaan melampaui atau justru berada dibawah permintaan. Ini tidak berarti bahwa karena rendahnya permintaan akan anggota wanita di Parlemen maka berarti kurang terwakilinya wanita dalam parlemen.

Daya penyediaan dan permintaan juga dipengaruhi oleh berbagai badan seperti agensi pengrekrutan politik. Kreiteria yang mungkin digunakan dan oleh kadar sejauh mana proses itu dapat di kontrol. Beberapa agensi ini sedikit atau banyak bekerja secara formal, yang lain seluruhnya bersifat informal. Mngkin juga karena tidak adanya agensi pengrekrutan administratif yang dapat dibandingkan dengan partai kelas pekerja pada umumnya mengakibatkan secara tegas tidak adanya orang-orang yang beasal dari kelas sosio ekonomis bawahan duduk sebagai pemegang jabatan administratif. Badan-badan pengrekrutan informal yang terpenting bagi kelompok belakang ini sering kali adalah lembaga pendidikan khusus yang mempersiapkan individu dengan kualifikasi-kualifikasi formal yang diperlukan dan dengan insentif informal mempertimbangkan suatu karier dalam dinas pemerintah.

Badan-badan agensi pengrekrutan biasanya akan menetapkan beraneka ragam kriteria, meliputi cirri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap layak dan harus dikuasai oleh pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini tentu saja akan mencerminkan permintaan tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem pengadaan dengan jalan mendorong atau dengan cara menakut-nakuti orang dengan karakteristik atau keterampilan khusus tadi.

Karena banyaknya partai tentunya akan menimbulkan politisi yang berlatar belakang berbeda-beda. Donald Matthews umpamanya menggarisbawahi para senator Amerika, dibagi dalam empat tipe :
  1. Kaum ningrat, yang datang dari keluarga politik dengan status sosial yang cukup tinggi dan terdapat dalam kedua partai.
  2. Kam amatir, yang biasanya berasal dari status sosial agak bawahan, namun sering adalah hartawan dan menampilkan lebih banyak angota Republiken daripada Demokrat.
  3. Kaum professional, yang telah menempuh jalan naik melalui aneka ragam jabatan politik dan menyediakan lebih banyak anggota Demokrat darpada anggota Republiken.
  4. Kaum Agigator, biasanya mempunyai asal sosial yang rendah dan memperoleh jabatan dengan usaha-usaha sendiri.
Demikian pula kriteria yg digunakan oleh partai yang sama di distrik pemilihan yang berbeda-beda, mungkin dapat berbeda banyak sekali.

Sejauh mana pengrekrutan politik itu mengalami berbagai tipe pengawasan adalah penting dalam mempengaruhi sistem pengadaan dan permintaan. Seperti telah kita nyatakan, mungkin ada kualifikasi-kualifikasi formal yang dituntut dari calon-calon pemegang jabatan tadi. Beberapa diantaranya mungkin ditetapkan oleh agensi itu sendiri, sedang yang lainnya mungkin ditetapkan oleh negara. Bagaimanapun juga kedua peristiwa itu kiranya mempengaruhi proses pengrekrutan secara mendalam. Tetapi tidak demikian halnya dalam masyarakat totaliter karena pengrekrutan politik itu bidang yang penting dan vital, maka ia memperoleh pengawasan yang ketat. Tentu saja seperti yang telah kita lihat perubahan ekstensif dalam personal biasanya membutuhkan waktu, terutama dalam dalam bidang administratiif. Akan tetapi salah satu metode yang paling penting dalam mempengaruhi perubahan fundamental dalam sisem politk adalah lewat control terhadap proses pengrekrutan politik. Demikianlah penguasa dalam masyarakat totaliter berusaha mengawasi pengrekrutan semua pemegang jabatan politik dan administratif, daripada menyerahkannya kepada badan-badan otonom atau semi otonom.
no image
ASAL MULA DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI POLITIKAsal mula suatu disiplin ilmu, subyek atau bidang studi sering tidak jelas dan menonjolkan individu tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan merupakan proses yang sangat berabahaya.

Sumbangan Marx sangat besar dan bervariasi dan dengan sendirinya tidak hanya terbatas pada sosiologi politik saja. Banyak kupasan kecaman dipersamakan atau diperbandingkan dengan teori-teori Marx, beberapa diantaranya didasarkan pada validitas umum, sedang yang lain pada nilai-nilai prediktifnya. Demikian pula kegagalan dari sejumlah ramalannya terutama kegagalan mengantisipasi kemampuan adaptif dari sistem kapitalisme.menyebabkan teori Marx diragukan orang.

PENDEKATAN DAN METODE
Dalam menggunakan istilah pendekatan yang dimaksudkan adalah orientasi khusus atau titik pandang tertentu. Pendekatan lainnya mencakup penggunaan dari data-data komparatif dengan studi-studi mengenai gejala-gejala politik dari suatu masyarakat tertentu digunakan atau dipelajari untk menyoroti fenomena yang sama atau fenomena yang kontras dari masyarakat lain. Nilai kedua pendekatan tersebut tidak dipertanyakan seperti biasanya, namun orientasi lainnya jelas jadi sasaran banyak kecaman. Kontras dengan pendekatan institusional, pendekatan behavioral berusaha keras untuk menyingkirkan hal-hal yang dianggap keliru yang terdapat pada pendekatan-pendekatan lainnya. Pengamatan khusus sedemikian tadi bisa lebih baik diterapkan pada metode-metode yang dilakukan pada studi sosiologi politik.

Akhirnya banyak pula diusahakan penggunaan teori-teori dan model kedua-duanya diperlukan untuk memperoleh garis-garis pedoman bagi penelitian dan untuk menyajikan penjelasan-penjelasan mengenai gejala yang tengah dipelajari. Salah satu tipe yang menarik dari perhatian bagi sosiolog politik adalah apa yang telah kita kenal sebagai teori system yang memberikan argumentsi bshwa semua gejala sosial merupakan bagian dari pola tingkah laku konsisten internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan.

SKEMA KONSEPSUAL
Skema konsepsi politik kita landaskan pada empat konsep, yaitu sosialisasi politik, partisipasi politik, penerimaan / pengrekrutan politik dan komunikasi politik. Sosilalisasi politik adalah proses pengaruh seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi mengenai poitik serta reaksinya terhadap gejala politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Pengrekrutan politik adalah proses proses dimana individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Komunikasi politik adalah proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya. Dengan sengaja dan hati-hati kita telah mengkonsentrasikan diri pada proses-proses politik, yaitu dengan memformulasikan keempat konsep tadi, namun tidak bermaksud untuk mengeluarkan institusi-institusi politik dan sosialnya.

Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik dalam beberapa hal merupakan konsep kunci sosiologi politik. 

Tiga definisi awal mengenai sosialisasi :
  1. Pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku yang menanamkan pada individu keterampilan-keterampilan, motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peran-peran yang sekarang atau tengah diantisipasikan sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
  2. Segenap proses yang mana individu yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterimakan olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
  3. Komunikasi dengan dan dipelajari dari manusia lainnya dengan siapa individu itu secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum.
Kita dapat merumuskan suatu definisi mengenai sosialisasi politik berdasarkan kesinambungan sistematis maupun perubahan sistematis adalah sebagai berikut :
  1. Cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam masyarakat.
  2. Proses yang mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai mereka dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Kedua definisi tersebut ada memiliki kekurangan karena dari masalah-masalah yang telah dikatakan, belumlah terkandung cara memperhitungkan perubahan sistematik, demikian juga mereka kurang jelas membedakan antara belajar yang disengaja dengan belajar yang tidak direncanakan. 

David Easton dan Jack Dennis dalam pembuatan dalih untuk suatu definisi netral mengenai sosialisasi politik, menyajikan suatu definisi yang efektif dan pendek.

Mereka berdua mendefinisikan sosialisasi politik secara sederhana sebagai berikut :
  • Suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
  • Bagaimana orientasi dan tingkah laku politik itu diperoleh serta hasilnya tetap merupakan bahan permasalahan penyelidikan. 
Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses yang terusberkesinambungan sepanjang hidup dan mempengaruhi anak, para remaja dan orang dewasa. Perkembangan yang temporal ternyata tidak berkesinambungan dalam pengertian bahwa individu secara teratur dan sistematis mengalami pengalaman-pengalaman yang penting.dan relevan dengan tingkah laku politiknya, sekalipun dalam sistem politik tadi instruksi politik yang sistematis dan regular merupakan bagian penting dari sosialisasi politik.

Demikian pula, untuk menerima unsur-unsur sosialisasi politik, namun tidak ditegaskan bahwa hal-hal tersebut tadi diperoleh dengan cara yang khusus, juga tidak mengandung arti yang sama.

PERKEMBANGAN SOSIALISASI POLITIK
Masa kanak-kanak dan masa remaja. Bagaimana caranya anak-anak secara berangsur-angsur menyadari satu lingkungan yang lebih besar? Bagaimana caranya mereka itu semakin bertambah tanggap dalam mereaksi situasi-situasi khusus dan bagaimana seluruh pandangan mereka menjadi semakin berpautan dan semakin total, sedangkan sebelum itu masih bersifat terpotong-potong dan terbatas? Kelompok Estvans mengambil kesimpulan sebagi berikut :

Anak laki-laki dan perempuan memasuki sekolah dengan memiliki sedikit saja konsepsi mengenai pemerintahan, hanya seperempat bagian dari mereka mampu mencapai pengenalan parsial atau struktural dari peristiwa tersebut. Selanjutnya kesimpulan umum dari kelompok Estvan juga mempunyai relevansi dengan sosialisasi politik. Tanggapan anak-anak mengenai situasi ternyata sangat individual sifatnya. Sebagai hasil riset survei ke dalam sosialisasi politik, David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat belajar politik dimulai dari usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun.

Easton dan Dennis mengutarakan empat tahap dalam sosialisai politik diri pada anak-anak :
  1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orangtua anak, presiden dan polisi
  2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan eksternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
  3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini sehingga gambaran yang diidealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti presiden atau seseorang anggota kongres telah dialihkan kepada kepresidenan dan kongres.
Gambaran yang diberikan Easton dan Dennis mengenai sosialisai politik selama masa kanak-kanak itu cukup jelas namun demikian seperti yang mereka kemukakan sendiri, gambaran tersebut merupakan gambaran yang tidak lengkap dan masih terdapat banyak kekosongan.

Robert Lane mensugesti bahwa terdapat tiga kepercayaan politik yang dapat diletakkan di dalam keluarga :
  1. Dengan indoktrinasi terbuka (overt) dan indoktrinasi tertutup (Covert)
  2. Dengan jalan menempatkan anak dalam satu konteks social khusus 
SOSIALISASI POLITIK DAN PERUBAHAN 
Sifat sosialisasi politik yang bervariasai menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Kebalikanya, semakin besar derajat perubahan didalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat perubahan politik, semakin kecil junlah agensi-agensi utama dari sosialisasi poliotik itu. Semakin homogen suatu masyarakat dan semakin lama ia bertahan menurut waktu, semakin memungkinkan proses sosialisasinya menjadi didefinisikan secara jelas dan relatif dipersatukan dan tampaknya berlangsung dampak yang sama dalam masyarakat-masayarakat yang berusaha terang-terangan untuk mengontrol proses sosialisanya. 

Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional mengenai kebudayaan politik. Suatu faktor kunci didalam konsep mengenai kebudayaan politik adalah legitimasi sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Weber, landasan legitimasi bisa bervariasi. Persetujuan dapat muncul mengenai dasar kerangka politik, akan tetapi didalam kerangka tersebut konflik dapat berkelanjutan baik mengenai sarana-sarana maupun mengenai tujuan-tujuannya. Apabila konflik mengenai sarana dan tujuan tadi menjadi ekstensife sifatnya, maka hal itu dapat merusak setiap persetujuan mengenai kerangka politik. Penting untuk dipahami bahwa legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik, atau justru dapat dibatasi pada beberapa hal. Dalam setiap masalah baik pada mereka yang mencari kekuasaan dan mereka yang memilih diantara para saingan untuk mendapatkan jabatan, biasanya sudah bersiap untuk memenuhi hasil-hasil keputusan pemilihan. Demikian pula hak presiden atau kongres untuk melaksanakan kekuasaan mereka, tidak dipertanyakan akan tetapi penggunaan untuk apa kekuasaan ini dilaksanakan berkali-kali justru mengalami kritik. Betapapun juga kritisme terhadap sistem politik dinegara-negara lainnya bisa bersifat lebih mendasar, mungkin sampai menyangkal legitimasi sistemnya atau justru di tekannya lebih hebat.

SOSIALISASI POLITIK DALAM MASYARAKAT BERKEMBANG 
Vine mengemukakan bahwa ada 3 faktor penting dalam sosialisai ditengah masyarakat-masyarakat berkembang : 
  1. Pertumbuhan penduduk dinegara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk “memodernisir” keluarga tradisional lewat industrialisasi dan pendidikan. 
  2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional anatara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada yang disebut belaknagan ini, namun si ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak. 
  3. Adalah mungkin bahwa pengaruh urbanisasi yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menyumbangkan nilai-nilai tradisional, paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai kedalam daerah-daerah perkotaan, khusunya dengan pembentukan komunitas-komunitas kesukuan dan etnis didaerah-daerah ini. 
Bukti yang disajikan mengenai sosialisai politik, mengsugestikan bahwa beberapa proses sedemikian itu memang perlu, bahwa mungkin tidak bisa dihindari. Tidak ada pemutusan hubungan dengan masa lalu yang lebih sempurna. Suatu elemen kesinambungan akan tetap ada, sekalipun telah menghasilkan perubahan-perubahan yang fundamental dan bisa menjangkau masa jauh. Dalam uasahanya untuk melupakan masa lampaunya, betapapun berbedanya masa depan itu dengan masa yang telah lewat, masayarakat itu akan tetap dipengaruhi oleh masa lalunya. Oleh karena itu sosialisasi politik jelas erat sekali terlibat dalam proses perubahan.