Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter
Berkowitz meragukan efektifitas dari pendidikan karakter di kalangan peserta didik di sekolah.
“It is difficult to discuss the effectiveness of character education without first considering its goals. The central goal of character education is the development of character in students. Therefore,before we address the research on effective character education, we need to consider what we mean by character and its development. Character can be defined in various ways and is indeed used I different ways in common speech. We consider someone “a character”if they act a typically. We also commonly refer to “having character”,but sometimes that character is good or bad. It is unlikely that a school that proposes a charactereducation initiative is interested in either generating a “bunch of characters” or promoting the development of “bad character” in students. What we really mean in the field when we invoke character is sociomoral competency”. (Berkowitz et. all., 2004: 73)
Keraguan Berkowitz seperti diungkapkan di atas berangkat dari suatu pandangan bahwa karakter mempersaratkan menyatunya ucapan dan tindakan dalam kategori “baik”, yang kemudian diejawantahkan dalam relasi kehidupan sosial. Oleh karena itu bagi Berkowitz, pendidikan karakter berarti pula kompetensi sosiomoral. Secara etimologis, istilah “karakter” lebih dekat pada perspektif psikologis atau sifat kejiwaan. Karakter berkaitan langsung dengan aspek kepribadian (personality), akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yang membedakan seseorang dan yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dalam kehidupan bersama orang lain.
Karakter berkenaan dengan keseluruhan performance seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu di dalam karakter ini terkandung unsur moral, sikap, sampai pada perilaku. Sulit rasanya mendeteksi seseorang memiliki karakter yang baik atau jelek, manakala karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi belum menyaksikan dan merasakan perbuatan atau perilaku tertentu dari orang tersebut. Dalam tiga dekade terakhir, konsep “karakter” mendapat perhatian yang serius dari para ahli terutama pakar Psikologi (Cronbach, 1977; Lickona, 1992; Sparks, 1991) yang mengkhususkannya pada upaya mendefinisikan karakter untuk tujuan pendidikan hingga pembentukan warga negara yang memiliki karakter yang baik (good character). Oleh karena itu, karakter sebagai kualitas moral akan selalu terintegrasi dengan kematangan intelektual dan emosional. Menurut Cronbach (1977:53) “character, however; is evidenced in the way a person handles dilemas, especially those where his wishes run counter to the interests of other persons”. Dari definisi tersebut memang Cronbach tidak mengeksplisitkan kemampuan mengatasi dilema sebagai syarat yang menentukan kesuksesan. Namun demikian, ia mengakui bahwa keputusan yang ia pilih tergantung pada konsep (concepts), sikap (attitudes), kebutuhan (needs) dan perasaannya (feelings). Selanjutnya dalam memberikan gambaran lebih lanjut mengenai karakter, Cronbach menguraikan sebagai berikut.
“Character is not a cumulation of separate habits and ideas. Character is an aspect of the personality. Beliefs, feelings, and actions, are linked; to change character is to reorganize the personality. Tiny lessons on principles of good conduct will not be effective if they cannot be integrated with the person’s sistem of beliefs about himself, about others, and about the good community”. (1977:57).
Dari uraian kedua tersebut, Cronbach semakin memperjelas bahwa karakter sebagai satu aspek dan kepribadian terbentuk oleh kebiasaan (habits) dan gagasan (ideas) yang keduanya tidak dapat terpisahkan. Untuk membentuk karakter, maka unsur-unsur keyakinan (beliefs), perasaan (feelings), dan tindakan (actions) merupakan unsur-unsur yang saling terkait sehingga untuk mengubah karakter berarti melakukan reorganisasi terhadap kepribadian. Dengan kata lain, kondisi proses pendidikan untuk membangun karakter warga negara dapat berimplikasi terhadap mutu karakter warga negara. Prinsip-prinsip pembelajaran yang baik tidak mungkin berjalan efektif apabila tdak dapat dintegrasikan dengan sistem keyakinan diri sendiri, diri orang lain, dan diri masyarakat yang baik.
Bagi Cronbach (1977:59), nilai dan bentuk kehidupan yang terbaik adalah “in terms of the choices the individual makes when his actions affect the welfare of others: the person of good character generally tries to choose acts that promote the welfare of others as well as of himself”. Dalam kehidupan sehari-hari, orang seringkali dihadapkan pada sejumlah pilihan yang harus diputuskan. Ketika ia dihadapkan pada pilihan perubahan yang baik bagi sesama, maka karakter orang yang baik adalah yang berupaya untuk mendorong keselamatan orang lain dan dirinya. Sebaliknya, perilaku bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli dengan akibat dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi, yang belum mempunyai pemahaman tentang konsep “baik dan buruk” adalah amoral. Seorang yang bijaksana (expedient) adalah orang yang berpusat pada dirinya namun perilakunya jauh terkendali (be controlled). Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi. Berbeda dengan Cronbach, adalah Lickona (1992:37) yang memandang karakter terbagi ke dalam tiga bidang yang saling terkait yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior.
Oleh karena itu, karakter yang baik mengandung tiga kompetensi, yakni mengetahui hal yang baik (knowing the good), ada keinginan terhadap hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good) sehingga pada gilirannya ia akan menjadi kebiasaan berpikir (habits of the mind), kebiasaan hati (habits of heart), dan kebiasaan bertindak (habits of action). Pandangan Lickona ini didasarkan atas pendapat filsuf Yunani, Aritoteles, yang menyatakan bahwa “... good character as the life of right conduct - right conduct in relation to other persons and in relation to oneself”. Secara visual, pandangan Lickona mengenai karakter dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagi Cronbach (1977:59), nilai dan bentuk kehidupan yang terbaik adalah “in terms of the choices the individual makes when his actions affect the welfare of others: the person of good character generally tries to choose acts that promote the welfare of others as well as of himself”. Dalam kehidupan sehari-hari, orang seringkali dihadapkan pada sejumlah pilihan yang harus diputuskan. Ketika ia dihadapkan pada pilihan perubahan yang baik bagi sesama, maka karakter orang yang baik adalah yang berupaya untuk mendorong keselamatan orang lain dan dirinya. Sebaliknya, perilaku bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli dengan akibat dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi, yang belum mempunyai pemahaman tentang konsep “baik dan buruk” adalah amoral. Seorang yang bijaksana (expedient) adalah orang yang berpusat pada dirinya namun perilakunya jauh terkendali (be controlled). Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi. Berbeda dengan Cronbach, adalah Lickona (1992:37) yang memandang karakter terbagi ke dalam tiga bidang yang saling terkait yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior.
Oleh karena itu, karakter yang baik mengandung tiga kompetensi, yakni mengetahui hal yang baik (knowing the good), ada keinginan terhadap hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good) sehingga pada gilirannya ia akan menjadi kebiasaan berpikir (habits of the mind), kebiasaan hati (habits of heart), dan kebiasaan bertindak (habits of action). Pandangan Lickona ini didasarkan atas pendapat filsuf Yunani, Aritoteles, yang menyatakan bahwa “... good character as the life of right conduct - right conduct in relation to other persons and in relation to oneself”. Secara visual, pandangan Lickona mengenai karakter dapat digambarkan sebagai berikut.
Sebuah karakter dikatakan baik, jika keseluruhan performance seseorang yang baik terdiri atas moral knowing, moral feeling, dan moral action, adalah baik. Moral knowing mencakup aspek-aspek: (1) Moral awareness, (2) Knowing moral values, (3) Perspective-taking, (4) Moral reasoning, (5) Decision-making, dan (6) Self-knowledge; Moral Feeling mencakup aspekaspek(1) Conscience, (2) Self-Esteem, (3) Emphaty, (4) Loving the good, (5) Self-control, dan (6) Humility; sedangkan Moral Action mencakup aspekaspek: (1) Competence, (2) Will, dan (3) Habit. Persoalan tentang apa itu karakter pernah mengemuka dan menjadi tema sentral dalam National Conference on Character Building. yang diselenggarakan oleh International Education Foundation bekerjasama
dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP dan sejumlah LSM di Jakarta tahun 2000. Dengan fokus kajian mengkhususkan diri pada The Need for Character Education, seminar tersebut memberikan kesimpulan tentang karakter sebagai
“Character has been defined as the inner disposition conductive to right conduct. It is a person’s collection of attitudes and habits which enable and facilitate moral action. It is the foundation for all activity in the world; even,’ task and even,’ achievement bears the imprint of one’s character Moreover, as we shall see, one result of attaining good character i5 that individuals are able to love others well and become more productive citizens. Good character is thus the foundation for all human endeavors”. (National Conference on Character Building, 2000:14).
Lebih lanjut, dalam dokumen konferensi tersebut dibahas pula perbedaan pengertian antara personality dan character “Personality is unique. It varies from person to person, as do talents and general abilities. Character, on the other hand, can be shared by many people. It is composed of virtues that are universal (National Conference on Character Building, 2000:16). Dari kesimpulan seminar tersebut diperoleh gambaran bahwa personality menunjukkan kekhasan yang dimiliki oleh seseorang atau perseorangan (individual) karena aspek pembawaan atau bakat dan kemampuan umum, sedangkan istilah character menunjukkan kekhasan yang dimiliki oleh sejumlah orang termasuk kebajikan-kebajikan yang bersifat universal. Karakter yang baik berada tertanam secara baik dalam hati, yang disebut pula
“moral head”. Secara khusus dinyatakan bahwa “head is the source of the fundamental impulse for relatedness. It is what motivates a person to yearn for the joy of loving and being loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on Character Building, 2000:29).
“moral head”. Secara khusus dinyatakan bahwa “head is the source of the fundamental impulse for relatedness. It is what motivates a person to yearn for the joy of loving and being loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on Character Building, 2000:29).
Dalam tinjaun psikologis, Berkowitz meneropongnya sebagai sesuatu yang rumit.
“Character is the complex set of psychological characteristics that enable an individual to act as a moral agent. In other words, character is multifaceted. It is psychological. It relates to moral functioning. In the first author’s moral anatomy, seven psychological aspects of character are identified:moral action, moral values, moral personality, moral emotions, moral reasoning, moral identity and foundational characteristics”. (Berkowitz et. all., 2004: 73)
Jika pengertian karakter menunjuk pada kekhasan suatu komunitas, maka “karakter bangsa/national character”, sangat erat kaitannya dengan masalah psikologi sosial. Beberapa ahli mendefinisikan karakter bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antarbangsa. DeVos (1968:63) mendefinisikan karakter bangsa sebagai berikut: The term “national character” is used to describe the enduring personality characteristics and unique life style found among the populations of particular national states. Artinya, istilah karakter bangsa digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dan aspek kejiwaan, maka diakui oleh DeVos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai istilah yang abstak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam mekanisme psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu.
Menurut DeVos (1968:70) pula bahwa secara historis, munculnya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa “... the differences between Danes and Swedes, between Belgians and Dutch, between Germans and Italians, or even between northern and southern Italians, northern and southern Belgians, or northern and southern Dutch”. Namun, persepsi tentang perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha sungguhsungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi perbedaan dalam konfigurasi kepribadian, baru muncul pada tahun 1940-an. Secara natural, pembangunan karakter bangsa bukanlah monopoli misi dari Pendidikan Kewarganegaraan. Setiap mata pelajaran di sekolah sesungguhnya memiliki peluang pula untuk membinakan karakter bangsa.
Hal ini terkait dengan sisi afeksi yang merupakan bagian integral dari tujuan pembelajaran, selain khazanah keilmuan yang menjadi domain utamanya. Kerapkali sisi afeksi ini disebut dengan nurturent effect, sedangkan domain utama keilmuannya dikenal dengan instructional effect. Pada aspek nurturent effect inilah, setiap mata pelajaran dapat memainkan peran pembangunan karakter bangsa. Menurut Branson (1998:79) atas dasar pengalamannya pada pendidikan karakter di Amerika Serikat, dikatakan bahwa tugas mengembangkan pendidikan karakter dan PKn dilakukan secara bersama-sama dan bertujuan untuk mengembangkan sifat-sifat karakter pribadi dan karakter publik. Ciriciri karakter pribadi meliputi tanggung jawab moral, disiplin pribadi, dan hormat kepada orang lain dan martabat manusia. Sedangkan ciri-ciri karakter publik meliputi public-spiritedness, civility, respect for law, criticalmindedness, and a willingness to negotiate and compromise. (Branson, 1998:81). Karakter publik ini sering dinamakan pula karakter kolektif atau karakter bangsa. Lebih lanjut Branson menegaskan bahwa hasil penelitian mata pelajaran di sekolah seperti pemerintahan, kewarganegaraan, sejarah dan sastra bila diajarkan secara baik akan memberikan kerangka konseptual yang diperlukan untuk pendidikan karakter. Dalam konteks kerangka konseptual untuk terbangunnya pendidikan karakter, Berkowitz memberikan strategi sebagai berikut:
“Character education has been demonstrated to be associated with academic motivation and aspirations, academic achievement, prosocial behavior, bonding to school, prosocial and democratic values,conflictresolution skills, moral-reasoning maturity,responsibility, respect, selfefficacy,self-control,self- esteem, social skills and trust in and respect for teachers”. (Berkowitz et. all., 2004: 80)
Hal ini berarti bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan bukan hanya melalui mata pelajaran PKn melainkan melalui mata pelajaran lain juga. Feith dan Castles (1970:58) menegaskan bahwa “it is not enough for love of nation and country to be fostered by the study of civics”. Menurut Feith dan Castles, pendidikan karakter dapat diselenggarakan juga melalui mata pelajaran lain yang mengembangkan dimensi emosional, seni, mengajarkan tentang kebebasan warisan nenek moyang, keindahan ibu pertiwi, budaya dan kesenian. Hal ini sejalan dengan pernyataan Coles (dalam Branson, 1998:92) bahwa:
“Character is ultimately who we are expressed in action, in how we live, in what we do and so the children arounds us know, they absorb and take stock of what they observe, namely us-we adults living and doing things in a certain spirit, getting on with one another in our various ways”.
Begitu pula dengan pendapat Bates, yang menegaskan bahwa era pendidikan modern akan selalu memperkenalkan persoalan kemauan, kebiasaan, dan lingkungan sosialnya. “The new education is everywhere recognizing the importance of the education of the will, and of leading the will to express it self in outward habits and customs” (R.C. Bates, 1998: 577). Kendatipun demikian misi pembangunan karakter bangsa yang diemban oleh Pendidikan Kewarganegaraan memiliki karakteristik sendiri yaitu diarahkan pada pembentukan persatuan nasional. Penelitian yang dilakukan oleh seorang Indonesianis Reid (2005:174) tentang national building di Indonesia dan sudut pandang sejarah kemerdekaan Indonesia, menemukan beberapa hal menarik sebagai berikut;
“the heroic ideals of the nationalist movement, sanctified during the revolutionary struggle of the 1940s, were about national unity in opposition to dutch oppresions . The nationalists of the 1920s and 1930s, raised on colonial texbooks about the rise of Dutch power over the archipelago, already decided that the most interesting characters of that story were the “rebels” who had opposed the Dutch, and in prehistory the builders of great “empires” which most nearly coincided with that of the Dutch.”
Dari hasil penelitian Reid tersebut tampak bahwa kaum nasionalis banyak berperan dalam membentuk persepsi bangsa terhadap kaum penjajah yang telah ditanamkan sejak beberapa dekade sebelumnya. Terjadi perbedaan pandangan antara seorang Indonesia dan Belanda tentang pejuang. Seorang pahlawan bagi bangsa Indonesia adalah seorang pemberontak bagi Belanda, dan begitu juga sebaliknya. Persoalan ini terkait dengan penanaman nilai kebangsaan pada diri masyarakat Indonesia, sehingga memiliki kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan negaranya.
Dennis L (2003:111) menegaskan bahwa A government statement explains, ‘Literacy in a common language is an essential basis for education leading to national unity in the Territory. Demikian pula Crampton (2003:220) menjelaskan masalah ini bahwa symbolically and ideologically, exhibitionary spaces were important for the state in producing national subjects and fostering a nationally unified support for imperial policies. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, persepsi yang tidak menguntungkan bagi penumbuhan rasa kebangsaan Indonesia secara perlahan diubah melalui berbagai upaya oleh para pendiri bangsa. Presiden Sukarno pada waktu itu mengajukan inisiatif untuk menghargai para pahlawan nasional sebagai tema revolusi. Selanjutnya dalam penilaian Reid, pada masa Orde Baru, peran pembangunan karakter bangsa, banyak mendapat campur tangan dari kalangan tentara (ABRI). Seorang sejarawan yang adalah militer, Brigadir Genderal Dr. Nugroho Notosusanto, merupakan tokoh yang banyak berperan dalam penyusunan sejarah nasional Indonesia.
Notosusanto yakin “that history was the way to build an integral state with the army as its backbone” (Reid, 2005:176). Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, Nugroho Notosusanto mempersiapkan sebuah kurikulum sejarah ABRI. Ia menyatakan bahwa “history is the most effective means to achieve the two (principal) goals, that is the goal of strengthening the spirit of integration in the Armed Forces, and the goal of perpetuating the precious values of the 1945 struggle. (Reid, 2005: 184). Gagasannya ini direalisasikan dalam lingkungan pendidikan dan mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) ketika beliau menduduki Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983 dengan menerapkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), “History of National Struggle” pada tahun 1985. Mata pelajaran ini tidak lama bertahan dan akhirnya dihapuskan dari kurikulum sekolah sebelum jatuhnya Presiden Suharto.
2.3.4 Proses pembelajaran sebagai upaya pembinaan karakter bagi peserta didik
2.3.4 Proses pembelajaran sebagai upaya pembinaan karakter bagi peserta didik
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang berkarakteristikkan interaksi edukatif. Yaitu komunikasi timbal balik antara guru dengan siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Oleh karena itu sumber belajar yang dirancang dengan baik dalam batas tertentu akan dapat merangsang timbulnya semacam dialog internal dalam diri siswa yang belajar (Miarso, 1984:94). Dengan kata lain terjadi komunikasi bermakna antara siswa dengan sumber belajar yang dihadapinya.
Dengan tercapainya dialog internal pada diri siswa menjadikan mereka berusaha untuk menangkap pesan dari media tersebut, sehingga telah terjadi proses pembelajaran. Media berhasil membawakan pesan sebagai sumber belajar, apabila kemudian terjadi perubahan pola fikir, tingkah laku atau sikap belajar pada diri siswa. Proses pembelajaran di tingkat sekolah dasar semakin strategis untuk melakukan kongkritisasi, mengingat kondisi psikis dan intelektual mereka masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Berkaitan dengan hal tersebut, perencanaan pesan-pesan pembangunan karakter dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Perencanaan dimaksud disesuaikan kejiwaan anak-anak sekolah dasar.
Perencanaan yang baik akan menghasilkan proses-proses pembelajaran yang kondusif bagi terjadinya dialog antara peserta didik dengan sumber belajar yang ada, yang pada gilirannya akan tertanam konsep-konsep pembangunan karakter dalam tingkatannya yang sangat sederhana dan konkrit. Proses pembelajaran yang berkualitas memerlukan pengembangan bahan ajar secara proporsional. Bahan ajar dalam bentuk yang sederhana dan mudah diapresiasi, di sekolah dasar sangat penting artinya bagi proses belajar mengajar. Pada anak usia sekolah dasar, bahan ajar dalam bentuk yang sederhana dan mudah diapresiasi tidak hanya menjadi sumber utama belajar setelah guru, melainkan juga efektif dalam membinakan pesan pada diri peserta didik.
Seperti hasil penelitian Unger dan Crowford (dalam Sunarto, 2000:158), menemukan bahwa salah satu lingkungan anak-anak yang berpengaruh besar bagi pembentukan karakter dalam diri anak-anak adalah cerita-cerita dan komunikasi pesan-pesan national chararacter building yang diperoleh di lingkungan keluarga, teman bermain, sekolah, dan bacaanbacaan. Informasi tentang pembangunan karakter tersebut diterima secara verbal oral, verbal tulis, verbal audio, hingga verbal visual. Penanaman karakter pada para peserta didik merupakan proses penyesuaian kepribadian yang perlu memperhatikan bermacam-macam prinsip dasar pertumbuhan.
Satmoko (1983:216) menegaskan bahwa mekanisme penyesuaian tersebut pada dasarnya merupakan sebagian dari usaha kependidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta berlangsung seumur hidup. Itulah sebabnya, perencanaan pembelajaran yang praktis, aplikabel, dan memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan peserta didik sangat diperlukan, dalam upaya pembelajaran nilai yang membawa muatan pembangunan karakter. Buku teks mata pelajaran di sekolah dasar yang merupakan sumber informasi yang bersifat ferbal tulis dan visual, merupakan sumber yang sangat dekat dengan peserta didik. Selain jangkauan anak-anak SD untuk mengakses sumber informasi lain yang lebih kompleks sangat terbatas, pola fikir pun masih sangat sederhana sehingga belum memerlukan informasi-informasi yang rumit.
Satmoko (1983:216) menegaskan bahwa mekanisme penyesuaian tersebut pada dasarnya merupakan sebagian dari usaha kependidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta berlangsung seumur hidup. Itulah sebabnya, perencanaan pembelajaran yang praktis, aplikabel, dan memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan peserta didik sangat diperlukan, dalam upaya pembelajaran nilai yang membawa muatan pembangunan karakter. Buku teks mata pelajaran di sekolah dasar yang merupakan sumber informasi yang bersifat ferbal tulis dan visual, merupakan sumber yang sangat dekat dengan peserta didik. Selain jangkauan anak-anak SD untuk mengakses sumber informasi lain yang lebih kompleks sangat terbatas, pola fikir pun masih sangat sederhana sehingga belum memerlukan informasi-informasi yang rumit.
Oleh karena itu pesan yang ada pada buku teks pelajaran SD sangat efektif dalam membentuk image anak tentang national character building. 102 Ketika seorang anak mulai akrab dengan buku-buku bacaan, ada tahapan-tahapan yang berproses dalam dirinya. Nielson (1990:37-39) mengemukakan ada tiga tahap seorang anak mengenal kegiatan berbahasa, yaitu penikmatan tidak sadar, penikmatan bacaan secara sederhana, dan tahap apresiasi penuh pada bacaan. Pada tahap pertama, anak mengetahui apa yang disukai tetapi tidak tahu mengapa menyukai hal itu.
Misalnya ketika orang tuanya menyanyi atau bercerita untuk mereka, mereka akan menikmatinya tanpa mereka tahu mengapa tertarik nyanyian atau cerita itu. Hal ini terjadi ketika anak masih bayi terus berlanjut sampai anak memasuki sekolah dasar. Pada tahap kedua, seorang anak mulai menikmati bacaan kendatipun dengan tingkat penerimaan yang sederhana. Pada tahap ini anak akan berusaha meningkatkan kesenangannya, sehingga kerapkali banyak mengajukan pertanyaan pada orang dewasa sekitar bacaan tersebut. Tahap kedua ini terjadi biasanya pada masa akhir di sekolah dasar dan awal sekolah menengah. Sedangkan pada tahap ketiga adalah masa di mana anak-anak mulai dapat mangapresiasi bacaan secara sempurna. Pada tahap ini anak-anak sudah dapat menanggapi isi bacaan, dan sudah pula mempunyai alasan kenapa menyukai bacaan tersebut. Tahap ini terjadi pada masa-masa sekolah lanjutan tingkat atas.
Post A Comment:
0 comments: