2.1 Pengertian Crowdfunding
Dalam berbagai literatur, salah satunya oleh Hemer (2011), terminologi crowdfunding dikatakan sebagai “derivatif” dari tren yang terlebih dahulu muncul yaitu crowdsourcing. Andriansyah, et al. (2009) meyatakan bahwa crowdsourcing sendiri merupakan terminologi yang berasal dari singkatan “crowd” (masyarakat) dan “outsourcing” (alih daya). Dengan demikian, untuk mendapatkan pengertian menyeluruh akan crowdfunding, maka akan dibahas mulai dari outsourcing, crowdsourcing dan kemudian crowdfunding.

2.1.1 Outsourcing
Istilah outsourcing atau “alih daya” merupakan fenomena yang umum terutama sekitar 15 tahun belakangan ini. Sebagaimana disiratkan oleh namanya, alih daya adalah konsep yang mengalihkan pekerjaan dari suatu perusahaan, institusi atau organisasi ke perusahaan, institusi, organisasi atau individu pihak ketiga lainnya. Sebagai contoh, sekitar tahun 2003, vendor-vendor besar seperti Microsoft, SunMicrosystem, IBM, dan Hewlet-Packard mengalihkan pekerjaan non-critical seperti pengujian dan pendeteksian celah atas produk mereka (bug/loop-hole testing) kepada perusahaan di India dan Cina. Model alih daya ini ditengarai memberikan banyak keuntungan, antara lain mendukung tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan baru yang memiliki spesialisasi khusus, memungkinkan perusahaan berfokus pada bisnis utamanya (core business proposition), serta memungkinkan penghematan biaya. 

Pada awalnya, penerapan alih daya banyak menekankan pada manfaat penghematan biaya. Namun demikian, tatanan global sudah sedemikian terbuka dan kompetitif sehingga bukan hanya biaya yang harus dihemat, melainkan juga harus mengedepankan tingkat penerimaan (acceptability), kesesuaian (compatibility), keandalan (reliability) dan inter­-operabilitas. Dengan demikian, efisiensi tidak hanya bersumber dari penghematan biaya namun juga dengan rasio pendapatan perusahaan yang lebih besar lagi serta fokus pada relasi dengan pasar (market-focus). Karena itu, beberapa konsep yang pada awalnya dipandang sebelah mata mulai dilirik secara lebih serius, antara lain open system, seperti open source atau open standard, serta co-creation. Meskipun tidak diketahui pasti, namun Andriansyah, et al. (2009) memberikan dugaan bahwa kedua konsep alihdaya tersebut turut mengkatalisasi metode sourcing selanjutnya yakni “crowdsourcing”.

2.1.2 Crowdsourcing
Diartikan secara per kata, crowdsourcing terdiri atas dua komponen, yaitu: crowd, yang berarti kerumunan orang, dan sourcing, yang berarti sumberdaya. Bila digabungkan, maka terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai sesuatu sistem atau konsep sumber daya berbasis kerumunan (Andriansyah, et al., 2009). Secara lebih spesifik, crowdsourcing didefinisikan sebagai suatu aktifitas atau tindakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau institusi yang mengambil salah satu fungsi pekerjaan atau tugas yang seharusnya dilakukan oleh karyawannya menjadi disebarluaskan secara terbuka dan bebas untuk orang banyak atau kerumunan yang terkoneksi dengan jaringan komputer, dalam hal ini Internet (Howe, 2009).

Meskipun crowdsourcing belum banyak dijadikan subjek riset akademis, beberapa riset teknologi informasi menyatakan bahwa crowdsourcing merupakan bagian dari popularitas komunitas online (virtual communities) dan situs-situs jejaring sosial (Boyd dan Ellison, 2008; Utz 2009). Keseluruhan riset menyatakan bahwa situs jejaring sosial menyediakan akses bagi masyarakat untuk bergabung dalam sebuah komunitas online (Boyd dan Ellison, 2008) dan dengan demikian menjembatani interaksi sosial yang lebih luas (Utz, 2009).

Untuk memahami konsep crowdsourcing secara lebih komprehensif, pada umumnya literatur membagi pengertian crowdsourcing menjadi dua konsep, yaitu:
a. Konsep Umum
Konsep umum crowdsourcing adalah adanya pelibatan yang tidak terbatas dan tanpa memandang latar belakang pendidikan, kewarganegaraan, agama, amatir atau professional, bagi setiap orang yang ingin memberikan kontribusinya atau solusinya atas suatu permasalahan yang dilemparkan oleh individu, perusahaan atau institusi. Kontributor dapat dibayar (mendapatkan upah atau reward), mendapatkan royalti, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kontributor memberikan kontribusi secara cuma-cuma atau tidak dibayar. Ilustrasi dari mekanisme crowdsourcing dapat dilihat pada Gambar 2.1 di halaman berikut.

Studi kasus dapat digunakan untuk dapat memahami konsep crowdsourcing. Salah satu website yang secara nyata mengilustrasikan konsep umum crowdsourcing adalah iStock Photo (www.istockphoto.com). iStockPhoto adalah sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang dapat menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang dapat diunduh melalui internet umumnya memiliki resolusi rendah. Sebaliknya, permintaan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang dapat diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang memiliki berbagai latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana berbagai orang dari berbagai latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.

Pada beberapa literatur lainnya, mekanisme crowdsourcing juga banyak dicontohkan sebagai media penyebaran konten, dimana kontributor membagikan konten tanpa mendapat imbalan apapun, misalnya SourceForge.net, Download.com, 4shared.com atau yang terkenal dari Indonesia, yaitu Indowebster.com.

a. Konsep Khusus
Konsep khusus crowdsourcing adalah suatu perusahaan atau institusi ingin mendapatkan solusi atas permasalahan yang mereduksi birokrasi dengan biaya yang rendah dibandingkan dengan membayar tenaga kerja secara konvensional, sedemikian hingga permasalahan dapat ditangani secara cepat, tepat dan hemat biaya, yang pada akhirnya baik secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan daya saing perusahaan atau institusi tersebut.

Secara sederhana, konsep khusus crowdsourcing diinterpretasikan sebagai suatu perusahaan yang memperkerjakan karyawan baru dari kerumunan tanpa dipusingkan dengan urusan-urusan tambahan, dan memperkerjakan karyawan secara parsial dan temporal sesuai dengan kebutuhan penanganan masalah yang diperlukan baik dalam bentuk kerumunan langsung atau disederhakan dalam bentuk kelompok yang lebih kecil (peer) (Andriansyah, et al., 2009).

Dengan demikian, perbedaan utama dari outsourcing dan crowdsourcing terletak pada mekanisme pendelegasiannya. Pada outsourcing, pekerjaan dialihkan kepada kontraktor yang terikat secara kontrak, jelas deskripsi tugas serta tanggungjawabnya, serta jelas benefit dan pembayarannya kepada kedua belah pihak. Sebaliknya pada crowdsourcing, pengalihan tugas diberikan kepada sebuah grup yang besar dan tak terkira, biasa disebut komunitas, melalui undangan terbuka (open call). Dengan demikian, aksi kontribusi ini berubah menjadi bentuk produksi sekawan (peer production).

Konsep khusus crowdsourcing pada awalnya dilakukan untuk proyek-proyek organisasi nirlaba seperti OpenSource dan Wikipedia, dimana para kontributornya bersedia untuk meluangkan waktu dan ide dalam proyek tanpa dibayar. Menariknya, saat ini banyak pihak-pihak (dan bahkan para professional) yang bersedia untuk terlibat dalam proyek-proyek yang sebenarnya komersil namun melalui mekanisme crowdsourcing (dimana kontribusi belum tentu dibayar). 

Beberapa perusahaan dan institusi multinasional telah memanfaatkan konsep crowdsourcing untuk kepentingan perusahaanya masing-masing. Sebagian akan dibahas dalam rangka memperluas pemahaman tentang konsep crowdsourcing itu sendiri.

i. Bidang Hiburan
Saluran televisi VH1 dan induknya Viacom menggunakan crowdsourcing dengan membeli situs web penyimpanan klip video iFilm senilai 49 juta USD dan menggarap viral video, yakni video internet yang melibatkan kerumunan untuk kontennya. Salah satu program yang berhasil adalah Web Junk Contest yang berhasil mendapatkan 12.000 video klip dari kontestan secara online. 

ii. Bidang Riset & Pengembangan
1. InnoCentive 
InnoCentive adalah laman web yang bertujuan untuk memeroleh “sumberdaya akal” di luar perusahaan. Pada awalnya InnoCentive berfokus pada bidang farmasi, namun kemudian memilih fokus yang umum sehingga perusahaan dapat mem-post masalahnya di situs web InnoCentive agar dicarikan solusinya oleh kerumunan.

Perusahaan seperti Boeing, DuPont, Procter & Gamble (P&G) turut serta mengemukakan permasalahan penting perusahaan di situs InnoCentive untuk dipecahkan oleh kerumunan. InnoCentive akan membayar pemecah masalah antara 10.000 sampai 100.000 USD per solusi, dan perusahaan yang menaruh permasalahannya di InnoCentive juga membayar fee kepada situs tersebut. Sejak pertama kali diluncurkan ke masyarakat, 30% dari masalah yang diposkan ke situs InnoCentive berhasil dipecahkan.

1. Colgate-Palmolive
Produsen peralatan rumah tangga dan kesehatan asal Amerika Serikat ini pernah mengemukakan bahwa pihaknya memiliki masalah dalam menyuntikkan tepung fluoride ke dalam tabung pasta gigi tanpa menyebar keluar. Permasalahan ini terpecahkan melalui internet oleh seorang ahli, Edward Melcarek, C.E.T., Ph.D, yang mengusulkan penambahan daya listrik pada saat penyuntikkan.

2. P&G
Pada tahun 2000, Procter & Gamble Company, yang sering disingkat P&G, melakukan evaluasi terhadap biaya riset perusahaan terhadap peningkatan penjualan produk. Hasilnya, biaya riset meninggi sedangkan penjualan cenderung tetap. Sebagai langkah improvisasi produk, manajemen memutuskan untuk mencoba crowdsourcing dimana kritik dan saran konsumen diolah menjadi inovasi produk. Dengan adanya mekanisme crowdsourcing, persentasi inovasi P&G mengingkat dari 15% menjadi 50%. Enam tahun setelah melibatkan crowdsourcing, 35% komponen kritis produk berasal dari inisiatif pihak luar perusahaan dan peningkatan produktifitas meningkatkan produktifitas riset dan pengembangannya menjadi 60%.

2.1.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Crowdsourcing
Menurut Adriansyah et. al. (2009), terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan crowdsourcing,
2.1.1 Crowdfunding
2.1.1.1 Sejarah
Terminologi “crowdfunding” pertama kali digagaskan oleh Michael Sullivan, seorang ahli eksperimen digital (digital experimenter), pada tahun 2006. Saat itu, Sullivan sedang meluncurkan proyek portal videoblog yang diberi nama “fundavlog”. Proyek ini memiliki skema pendanaan sederhana berbasis web yang dideskripsikan sebagai “pendanaan berdasarkan timbal-balik (reciprocity), transparansi, kepentingan bersama (shared-interest) dan, di atas semuanya, berasal dari khalayak masyarakat” (Gobble, 2012). Tiga tahun setelahnya, terminologi ini baru dikenal luas dan digunakan oleh media Amerika setelah keberhasilan Kickstarter.com pada tahun 2009.

2.1.1.2 Definisi
Terminologi crowdfunding belum secara baku diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ditandai dengan belum dimilikinya padanan kata ini dalam Bahasa Indonesia. Dalam portal crowdfunding Patungan.net, crowdfunding diterjemahkan sebagai “pendanaan oleh khalayak” sedangkan situs Patungan.net memilih untuk menerjemahkan crowdfunding sebagai “urun daya”.

Mengacu pada konsep Sullivan pada sub bab 2.1.3.1, maka crowdfunding atau pendanaan oleh khalayak atau urun daya dapat diartikan sebagai suatu inisiatif pengumpulan dana yang diajukan oleh individu/tim/organisasi/entitas untuk mewujudkan suatu proyek. Ciri khas dari crowdfunding adalah pengumpulan dana bernominal kecil hingga sedang dari banyak orang untuk suatu kepentingan yang umumnya menarik hati banyak orang (Ordanini, 2009). Pengertian yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Barrette (2011) yang mendefinisikan crowdfunding sebagai pendekatan keuangan kolektif yang memungkinkan individu-individu mengumpulkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendanai suatu proyek yang diminati. 

Disamping definisi yang bersifat umum sebagaimana di atas, terdapat peneliti dan praktisi yang mendefinisikan crowdfunding ke dalam perspektif yang lebih spesifik, yaitu melihat crowdfunding terutama sebagai produk dari kemajuan teknologi Web 2.0 dan media sosial. Definisi yang lebih spesifik ini disebut sebagai working definition, atau definisi yang berkembang pada suatu fenomena baru, yang umumnya diajukan oleh peneliti ataupun praktisi. Penelitian Hemer (2011), merekomendasikan definisi Lambert/Schwienbacher (2010) terhadap crowdfunding, yaitu:

[…] “Crowdfunding involves an open call, essentially through the Internet, for the provision of financial resources either in form of donations (without rewards) or in ex-change for some form of reward and/or voting rights in order to support initiatives for specific purposes.”

Hal senada disampaikan oleh Wade (2013), yang menyatakan definisi crowdfunding sebagai:
[…] proses pengumpulan modal, biasanya melalui internet, untuk mendanai usaha pribadi dengan mengumpulkan sejumlah kecil uang dari beberapa penyandang dana yang berbagi minat dan ideologi yang sama. 
Kedua definisi di atas memberikan penekanan khusus pada peran internet dalam crowdfunding. Dalam definisi praktisi, peran internet dalam definisi crowdfunding semakin nyata. Canada Media Fund (2012) memberikan definisi crowdfunding dengan penekanan kepada peran sosial media, sebagai berikut:

[…] Crowdfunding is the raising of funds through the collection of small contributions from the general public (known as the crowd) using the Internet and social media.

Firma audit dan konsultan keuangan berbasis di Inggris, Deloitte Touche Tohmatsu, semakin spesifik mengasosiasikan crowdfunding sebagai produk dari teknologi Web 2.0, yaitu sebagai “website yang memungkinkan banyak individu memberi dukungan finansial bagi suatu proyek, dimana individu pendukung memberikan kontribusi kecil, biasanya kurang dari 1% dari total dana terkumpul” (Deloitte, 2013). Dengan demikian, sebagaimana juga dikatakan oleh Hemer (2011), makna “crowd” dalam crowdsourcing maupun crowdfunding merujuk pada masyarakat yang menggunakan internet (internet community).

2.1.1.3 Jenis-Jenis Crowdfunding
Meskipun media dan literatur ilmiah banyak berfokus pada peran crowdfunding sebagai alternatif dari lembaga pembiayaan (venture capital) tradisional, terdapat lebih banyak konsep mengenai crowdfunding yang perlu ditelusuri. Faktanya, terdapat empat kategori khas (distinct categories) dari crowdfunding, dilihat dari tipe portal dan dana yang dikumpulkan. Penelitian Massolution (2013) dan Deloitte (2013) membagi kategori crowdfunding sesuai dengan karakteristik bisnisnya sebagai berikut-size:12.0pt;line-height:150%;font-family:"Times New Roman","serif"; color:black'>). iStockPhoto adalah sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang dapat menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang dapat diunduh melalui internet umumnya memiliki resolusi rendah. Sebaliknya, permintaan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang dapat diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang memiliki berbagai latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana berbagai orang dari berbagai latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.

a. Basis Pinjaman (Consumer Lending atau Lending-based)
Crowdfunding berbasis pinjaman sangatlah mirip dengan mekanisme pinjaman pada umumnya, dimana individu dapat meminjam uang kepada suatu proyek dengan ekspektasi pengembalian. Bentuk-bentuk crowdfunding basis pinjaman yang umum adalah:
1. Perjanjian Pinjaman Tradisional (Traditional Lending Agreement)
Pada crowdfunding jenis ini terdapat termin standar dan tingkat bunga. Mekanisme crowdfunding ini dapat dikatakan sangat mirip dengan mekanisme institusi keuangan dimana perusahaan meminjamkan sejumlah uang (bernominal kecil) dengan tingkat bunga yang cukup tinggi bagi debiturnya. Beberapa situs crowdfunding jenis ini juga serupa dengan payday lending companies yang memberikan pinjaman kepada pelanggan dengan sejarah kredit yang buruk. Di Indonesia sendiri, praktik ini mirip dengan praktik rentenir (dikelola oleh individual dan dalam sektor informal) sedangkan bila dikelola oleh sektor keuangan formal, praktik ini mirip dengan personal loan.

2. Forgivable Loan
Dana dikembalikan kepada lender (pemberi pinjaman) hanya bila satu dari dua kondisi telah terpenuhi: (a) jika dan ketika proyek mulai menghasilkan pendapatan atau (b) jika dan ketika proyek mulai memperoleh laba. 

3. Pre-Sales (Pre-Selling atau Pre-Ordering)
Dalam model ini, pencari dana meminta dana sebagai modal untuk memproduksi sesuatu. Dana dikembalikan kepada donor dalam bentuk produk akhir yang dijanjikan sesuai dengan nominal dana yang diberikan. Umumnya, semakin besar dana yang diberikan, maka semakin banyak atau semakin berkualitas produk akhir yang diberikan.

Menurut Massolution (2013), consumer lending atau lending-based crowdfunding global berhasil menjaring dana sebesar USD 522 Juta pada tahun 2011. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kampanye proyek-proyek crowdfunding basis pinjaman memperoleh kesuksesan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan crowdfunding basis ekuitas (lebih cepat memperoleh target dana). Pada tahun 2013, Deloitte memprediksi pinjaman melalui crowdfunding meningkat menjadi 1.4 Milyar USD, atau meningkat sebesar 50% dibandingkan tahun 2012. Contoh dari crowdfunding basis pinjaman adalah: www.somolend.com, www.lendingclub.com, www.prospector.com

a. Basis Donasi (Donation-based)
Sebagaimana tersirat pada namanya, crowdfunding basis donasi adalah jenis crowdfunding yang dilandaskan oleh donasi, filantropi, dan sponsorship dimana tujuan utamanya adalah mencari sumbangan. Jenis ini sering disebut sebagai micro-patronage. Dalam crowdfunding jenis ini, para donatur berkontribusi dalam suatu proyek tanpa memiliki ekspektasi pengembalian dana yang telah dikontribusikannya. Portal crowdfunding yang menjalankan model donasi umumnya memberikan penghargaan (reward), hadiah (gift), atau cinderamata (token) untuk menstimulasi individu agar menyumbang pada suatu proyek. Dengan demikian, tidak jarang pengertiannya tumpang-tindih (overlapping) dengan crowdfunding basis hadiah (reward-based).

Dari segi nominal, program-program crowdfunding basis donasi meminta kontribusi yang sangat kecil dari para donaturnya (kurang dari USD 10 pada portal crowdfunding internasional atau minimal Rp. 10.000,- pada portal crowdfunding Indonesia). Karena jumlahnya yang kecil, maka donatur biasanya tidak mengharapkan pengembalian atas donasinya tersebut. Meskipun tidak diwajibkan memberikan imbalan, umumnya portal crowdfunding basis donasi memberikan ucapan terimakasih kepada para donatur secara langsung. Sebagai contoh adalah kartu ucapan terimakasih, plakat berisi nama-nama para penyumbang, lukisan karya pasien rumah sakit, dan sebagainya.

Crowdfunding basis donasi adalah bentuk paling umum ditemui di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, terutama dikarenakan oleh peraturan pemerintah dan peraturan pasar modal yang tidak melegalkan kegiatan keuangan melalui internet. Deloitte (2013) memprediksi bahwa pasar ini dapat mengumpulkan USD 500 Juta pada tahun 2013.
a. Basis Hadiah (Reward-based)
Jenis crowdfunding basis hadiah sering dioperasikan bersamaan dengan crowdfunding basis donasi. Pada jenis ini, jumlah kontribusi yang akan diberikan individu telah dipaketkan sesuai dengan hadiah yang akan diberikan. Hadiah dapat berupa pencantuman nama pada kredit proyek, penamaan (acknowledgements) pada merchandise, kesempatan untuk bertemu dengan creator proyek, undangan untuk menghadiri acara khusus yang berkaitan dengan proyek, misalnya pesta peluncuran atau penayangan premier film, dan sebagainya.

Pemberian hadiah ini bervariasi dan umumnya semakin besar sumbangan yang diberikan, semakin banyak atau semakin berkualitas hadiah yang diberikan. Contoh dari crowdfunding basis hadiah adalah: www.rockethub.com, www.wujudkan.com (juga basis donasi). Deloitte Touche Tohmatsu memprediksi bahwa kategori ini dapat mengumpulkan lebih dari 700 juta USD pada tahun 2013.

a. Basis Ekuitas (Equity-based)
Kegiatan crowdfunding basis ekuitas menyerupai aktivitas investasi ekuitas umum, dimana seorang individu memperoleh kepemilikan (ekuitas) pada sebuah entitas sebagai imbalan atas dana yang diberikannya. Meskipun memiliki market-share yang paling kecil, baik dari segi dana terkumpul maupun penetrasi pasarnya, kategori inilah yang paling banyak mendapatkan perhatian media (Lee, et al., 2013). Canada Media Fund (2012) menyimpulkan terdapat dua sub-kategori standar dari crowdfunding basis ekuitas:
1. Model Investasi Surat Berharga (Securities Investment Model)
Sebagaimana saham perusahaan dibeli oleh investor, maka pada model ini kontributor membeli kepemilikan pada perusahaan induk atau hak pada suatu proyek.
2. Model Bagi Hasil (Profit or Revenue-sharing Model
Berbeda dengan model sebelumnya, pada model ini kontributor memperoleh “share” (perolehan bagi-hasil) dari pendapatan atau laba proyek dan bukannya “share” (saham) pada perusahaan persangkutan. Model ini sering disebut sebagai “Skema Investasi Kolektif” (Collective Investment Scheme).

Dibawah model crowdfunding basis ekuitas, investasi yang dimiliki investor umumnya bersifat pasif daripada aktif. Artinya, investor membeli kepemilikan atau profit shares tetapi tidak memiliki peranan aktif dalam pengambilan keputusan manajemen. Contoh kasus yang paling sesuai untuk menggambarkan mekanisme crowdfunding basis ekuitas adalah pendanaan perusahaan baru (start-up). Secara tradisional, perusahaan start-up tahap awal (early stage start-up companies) biasanya dibiayai oleh kartu kredit dan tabungan pemiliknya ditambah suntikan dana dari teman dan keluarga dekat. Biasanya, dana "tradisional" yang berhasil terkumpul ini berkisar antara 200.000-250.000 USD. Apabila dibutuhkan dana yang lebih besar, start-up akan mencari modal awal (seed capital) tambahan kepada investor individu (biasa diistilahkan sebagai angel investors) atau perusahaan pembiayaan yang telah berdiri (established venture capitalist). Umumnya dana tambahan ini adalah sebesar 500.000 USD ke atas.

Hingga penelititan ini dilakukan, crowdfunding basis ekuitas adalah illegal dilakukan di Indonesia dikarenakan perundang-undangan pasar modal (Bapepam-LK). Banyak negara juga belum memberikan lampu hijau bagi aktivitas crowdfunding basis ekuitas, misalnya Kanada. 

Ilegalnya crowdfunding basis ekuitas diakibatkan oleh beberapa isu utama menyangkut keamanan dan keterandalan. Pertama, crowdfunding memiliki faktor risiko yang tinggi, dimana penyelenggara crowdfunding tidak dapat menjamin kepastian pengembalian modal (tergantung dari terkumpulnya dana yang ditargetkan atau tidak). Dengan demikian, mekanisme atas kepastian pengembalian investasi dianggap tidak andal. Kedua, portal crowdfunding tidak mengeluarkan laporan keuangan yang teraudit (audited financial statements).

Amerika Serikat menjadi pelopor legalisasi crowdfunding basis ekuitas dengan disahkannya Jumpstart Our Business Start-Ups (JOBS Act) oleh pengadilan tinggi Amerika Seikat dan ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama pada tanggal 5 April 2012. United States’ Securities and Exchange Commission (US SEC) selaku otoritas pengawasan pelaksanaan dari peraturan perdagangan efek dan ekuitas Amerika Serikat diberi kesempatan untuk mengevaluasi undang-undang ini hingga bulan Desember 2012 dan per Januari 2013, undang-undang ini diberlakukan secara umum. Hingga saat ini, SEC terus mengawasi perkembangan kebijakan ini di pasar.

JOBS Act memiliki misi menyederhanakan birokrasi dan memberikan iklim yang kondusif bagi para usahawan baru. Inti dari undang-undang ini menyatakan bahwa “emerging growth companies” (perusahaan yang baru didirikan dan bertumbuh) diperkenankan mengumpulkan dana secara online hingga satu juta dolar Amerika Serikat (USD 1.000.000) dari maksimal dua ribu (2.000) investor tanpa memenuhi peraturan keuangan tradisional (misalnya menerbitkan laporan keuangan teraudit, dan sebagainya).

sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang dapat menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang dapat diunduh melalui internet umumnya memiliki resolusi rendah. Sebaliknya, permintaan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang dapat diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang memiliki berbagai latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana berbagai orang dari berbagai latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.

2.1.1.1 Manfaat dan Kelemahan Crowdfunding
Alan (2013) menyatakan bahwa crowdfunding dapat memecahkan masalah utama yang dimiliki usaha kecil, wirausaha start-up, inventor, dan pekerja kreatif untuk membiayai operasinya, yaitu dengan:

1. Menempatkan investor atau donatur yang potensial dan yang aktual dalam mekanisme yang cost-effective
Banyak orang mengalami kesulitan mencari dana untuk bisnis dan/atau proyek yang dijalaninya, terutama para wirausahawan muda yang belum memiliki banyak relasi dengan entitas bisnis atau kepada para angel investor. Dengan adanya crowdfunding, maka baik kreator/wirausahawan maupun investor/donatur secara mudah dapat dipertemukan melalui portal crowdfunding. mengakibatkan penempatan investor atau donatur lebih efisien dari segi waktu dan biaya.

2. Crowdfunding menjadi “outlet for capital” baru bagi konsumen, investor, atau donatur online.
Secara spesifik, masyarakat modern banyak menghabiskan waktunya di Internet. Dengan demikian, crowdfunding dapat menjadi outlet for capital baru, dimana para donatur, funder, atau investornya adalah masyarakat yang menghabiskan banyak waktunya pada jaringan internet. Dengan demikian, portal crowdfunding sekaligus menjadi “toko” dan agen pemasaran yang baik. Dimana dengan kapabilitas Web 2.0 yang melekat pada crowdfunding, dimungkinkan interaksi langsung antara kreator dengan donatur. Selain itu, pemasaran melalui jejaring sosial juga dimungkinkan.

3. Crowdfunding memungkinkan wirausahawan atau kreator proyek mengidentifikasi investor atau donatur.
Crowdfunding dapat menjadi sarana “proposal terbuka” dan tidak jarang suatu proyek mendapatkan perhatian dari investor yang tertarik dengan proyek yang diajukan. Dengan demikian, kreator atau wirausahawan tidak harus selalu menjual ide mereka kepada pelaku venture capital.

4. Crowdfunding memiliki potensi untuk menstimulasi ekonomi.
Crowdfunding menyediakan mekanisme pendanaan yang efisien kepada bisnis kecil (small businesses). Pasca krisis ekonomi, bisnis kecil ditengarai memiliki kapasitas sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of economic growth). Di Amerika Serikat, misalnya, portal crowdfunding IndieGoGo.com diundang sebagai partisipan program Startup America, yakni suatu inisiatif yang dilakukan White House untuk menghadirkan bisnis kecil sebagai penggerak dari pemulihan ekonomi (driver of economic recovery) Amerika Serikat pasca krisis tahun 2008.

Hadir sebagai fenomena baru, crowdfunding juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Kurangnya transparansi dan menghadirkan manfaat yang intangible
Sebagai salah satu model bisnis berbasis internet (internet business model) yang secara dinamis berimprovisasi, crowdfunding berpotensi menjadi kurang transparan dan menghadirkan manfaat yang lebih intangible kepada donatur bahkan kepada regulator. Para pelaku crowdfunding adalah masyarakat yang sangat luas, seringkali kebenaran identitasnya tidak dapat dijamin, baik dari segi kreator maupun donatur atau investor. 

2. Potensi akan adanya kecurangan (concern for fraud)
Internet adalah media (common vehicle) yang sangat rentan akan terjadinya kecurangan. Meskipun sejauh ini praktik crowdfunding memiliki tingkat kecurangan yang sangat kecil, beberapa kasus telah terjadi, dimana pencari dana menciptakan proposal proyek palsu dan kemudian “menjualnya” melalui crowdfunding. Setelah target dana tercapai, si kreator tidak dapat mempertanggungjawabkan dana yang telah terkumpul tersebut. 

ah. Sebaliknya, permintaan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang dapat diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang memiliki berbagai latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana berbagai orang dari berbagai latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.

2.1.1.1 Mekanisme Crowdfunding Secara Umum
Aktor utama dalam mekanisme crowdfunding adalah individu pencari dana, portal crowdfunding sebagai penghubung (intermediary), dan masyarakat sebagai donatur. Proses crowdfunding dimulai dengan individu pencari dana melakukan registrasi pada portal crowdfunding secara online. Setelah melakukan registrasi, pencari dana mengajukan proposal kepada portal crowdfunding. Portal crowdfunding bersama dengan melakukan seleksi atas proposal yang dikirimkan. Apabila diterima, maka proyek akan ditampilkan pada halaman portal dan individu pencari dana tersebut dinamakan kreator. Selama periode proyek tersebut ditampilkan pada halaman portal crowdfunding (umumnya antara 30-90 hari), baik pihak portal crowdfunding dan kreator melakukan kampanye dan sosialisasi melalui media sosial. Masyarakat yang tertarik dapat berpartisipasi dengan menjadi donatur. Dana kemudian dikirimkan dengan cara transfer bank ke rekening milik portal crowdfunding. Metode penyaluran dana pada crowdfunding di Indonesia baru mengenal dan memanfaatkan metode transfer bank. Apabila target dana terkumpul, maka dana akan ditransfer oleh portal crowdfunding kepada kreator proyek dan sebaliknya, bila dana tidak mencapai target, maka akan dikembalikan kepada donatur atau donatur diberikan pilihan untuk mengalihkan dana kepada proyek lain yang juga sedang ditampilkan pada halaman portal crowdfunding.

2.1.1.1 Crowdfunding dan Fundraising
Dari definisi umum, crowdfunding tidaklah berbeda dengan penggalangan dana tradisional (atau dikenal sebagai fundraising). Bahasa Indonesia sejak lama memiliki istilah “patungan” atau “urunan” untuk menyebut proses pengumpulan dana bernominal kecil dari banyak individu. Baru pada working definition-lah terlihat perbedaan crowdfunding dengan fundraising.

Sesungguhnya yang baru dari crowdfunding bukanlah konsepnya, melainkan kemampuannya mengeksploitasi kapabilitas dari teknologi Web 2.0 dan jejaring sosial, terutama menyangkut fungsi “jaringan dan pemasaran mengular” (viral networking and marketing), yang mendayakan mobilisasi pengguna dalam jumlah besar dari komunitas web spesifik dalam waktu yang relative singkat. Prinsipnya, siapa saja yang terhubung melalui internet dapat mengakses web crowdfunding dan mengumpulkan dana untuk suatu proyek yang mewakili common interest yang sama.

Pengumpulan dana patungan dan urunan umumnya dilakukan dalam skala kecil, yaitu di lingkungan yang terbatas dimana para pengumpul dana umumnya saling mengenal atau berada di bawah institusi yang sama (misalnya: satu kantor, satu tempat ibadah, dan sebagainya). Dari segi proses, model pengumpulan dana patungan dan urunan biasanya juga dilakukan secara tradisional, misalnya dikumpulkan di kantung atau amplop dan dikelola oleh seorang penanggungjawab.

Hal tersebut berbeda dengan crowdfunding. Secara skala, crowdfunding dapat meraih masa yang lebih luas. Sebagaimana karakteristik crowdsourcing secara umum, terdapat kemungkinan yang besar bahwa para donatur tidak saling mengenal dan berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Laporan Deloitte (2013) menyatakan bahwa pendukung crowdfunding biasanya mengkontribusikan sebesar persentase yang kecil (umumnya kurang dari 1%) dari total dana terkumpul namum proyek crowdfunding umumnya didukung oleh ribuan pendukung. Dalam urunan atau patungan tradisional, maka skalanya lebih kecil.

2.1.2 Crowdsourcing dan Crowdfunding
Dalam pembahasannya, baik crowdsourcing maupun crowdfunding umumnya sering dibahas bergantian bahkan terkadang terjadi overlapping. Kleemann et al. (2008), contohnya, berfokus pada fenomena crowdsourcing namun membahas sedikit mengenai crowdfunding. Baik pada crowdsourcing maupun crowdfunding, masyarakat berkontribusi secara kolektif kepada beberapa aspek dalam proses produksi dan/atau memberikan solusi atas perancangan atau masalah lainnya. Meskipun memiliki banyak kesamaan, terdapat perbedaan signifikan antara crowdsourcing dan crowdfunding. 

Menurut Howe (2006), pada crowdsourcing, suatu tugas dialihdayakan dalam bentuk undangan terbuka (open call) kepada kelompok masyarakat yang besar tanpa persyaratan tertentu (large but undefined group of people). Leimester et al. (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi pada crowdsourcing adalah pembelajaran, kompensasi langsung, promosi diri, dan keuntungan sosial. Model crowdfunding, sebaliknya, tidak membutuhkan partisipasi dalam bentuk kontribusi pengetahuan namun lebih kepada peran promosional dan peran investasi sebagai dukungan terhadap inisiatif crowdfunding. Partisipasi yang lebih ekstensif ini cenderung dimotivasi oleh faktor-faktor lainnya yang akan dicoba untuk dianalisis pada penelitian ini.

2.1.2.1 Crowdfunding bagi Sistem Informasi dan Akuntansi
Pertumbuhan crowdfunding "matters" (penting) setidaknya karena dua alasan: Pertama, proyek-proyek crowdfunding memberikan mekanisme pendanaan bagi inovator-inovator baru. Kedua, portal crowdfunding sendiri merupakan "jenis baru" dari mekanisme portal internet. Dengan demikian, secara tidak langsung, crowdfunding menandai babak baru dalam bidang teknologi dan keuangan, dua bidang yang memiliki pengaruh besar pada abad ini.

2.2 World Wide Web (WWW
World Wide Web, yang bisa disingkat sebagai Web saja, adalah sebuah sistem yang berisi dokumen-dokumen hypertext yang saling terinterkoneksi (interlinked hypertext documents) yang dapat diakses melalui internet.WWW berbentuk suatu ruang informasi yang dipakai oleh pengenal global yang disebut Uniform Resource Identifier atau URI. WWW sering dianggap sama dengan Internet secara keseluruhan, walaupun sebenarnya ia hanyalah bagian daripada Internet (Darma, 2009). Melalui web, para pengguna dapat mengakses informasi-informasi yang tidak hanya berupa teks tetapi bisa juga berupa gambar, suara, video dan animasi yang ternavigasi melalui hyperlink.

WWW ditemukan oleh insinyur berkebangsaan Inggris, Sir Tim Berners-Lee. Pada bulan Maret 1989, Sir Tim Berners-Lee mengajukan proposal sistem hypertext yang pernah ia kembangkan sebelumnya kepada CERN, sebuah organisasi riset Eropa yang bermarkas di Geneva. Pada tahun 1990, Berners-Lee bersama rekannya, seorang ilmuwan komputer asal Belgia, Robert Cailliau, memprakarsai hadirnya hypertext yang dapat "menyambungkan dan memberi akses atas informasi selayaknya jaring node dimana pengguna dapat mencarinya sekehendak hati”.

Pada 30 April 1993, CERN mengumumkan bahwa World Wide Web dapat digunakan secara gratis oleh siapapun. Sejarah inilah yang memprakarsai penggunaan WWW sebagaimana dewasa ini.

2.2.1 Web Page
Web Page adalah sebuah dokumen, umunya ditulis dalam bentuk teks polos (plain text) yang diselingi dengan instruksi formatting Hypertext Markup Language (HTML, XHTML). Web Pages diakses dan ditransportasikan melalui Hypertext Transfer Protocol (HTTP), yang biasanya diperlengkapi dengan enkripsi (HTTP Secure, HTTPS) untuk menjamin kerahasiaan bagi pengguna webpage.

2.2.2 Web Site
Web Site, atau sering disingkat site, adalah sekumpulan dari web page yang saling berkaitan. Sebuah website minimal di-host oleh satu server web yang dapat diakses melalui jaringan internet atau private local area network. Semua web site yang dapat diakses oleh publik mendasari World Wide Web.

2.2.3 Web 2.0
Web 2.0 meliputi aplikasi dan teknologi yang memungkinkan pengguna untuk menciptakan (create), mengubah (edit), dan mendistribusikan isi (distribute content). Dengan kemampuannya tersebut, Web 2.0 dikenal dengan sebutan media sosial (Laudon dan Traver, 2012). Web 2.0 termasuk komunitas berbasis web (web-based communities), situs jejaring sosial (social networking sites), situs berbagi video (video-sharing sites), blog, wiki, dan banyak bentuk lainnya. Web 2.0 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat abad ke-21 ini (Salman, et al., 2013). Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, media sosial saat ini dianggap sebagai bagian penting dalam keberlangsungan perusahaan. Van der Meulen (2012) menyatakan bahwa perkembangan Web 2.0 merupakan satu dari 10 prioritas utama bagi para Chief Information Officer (CIO).

2.3 Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Coporate Governance)
2.3.1 Sejarah GCG
Konsep Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance (GCG) muncul atas reaksi para pemegang saham di Amerika Serikat pada tahun 1980-an yang terancam kepentingannya (Budiati, 2012). Pada saat itu, Amerika Serikat mengalami gejolak ekonomi dimana banyak perusahaan melakukan restrukturisasi dengan merebut kendali atas perusahaan lain melalui merger dan akuisisi. Tindakan ini menimbulkan protes keras dari masyarakat atau publik karena banyak merger dan akuisi tersebut yang merugikan para pemegang saham akibat kesalahan manajemen dalam pengambilan keputusan. Publik menilai bahwa manajemen mengabaikan kepentingan-kepentingan para pemegang saham sebagai pemilik modal perusahaan dalam mengelola perusahaan.

Di Indonesia, konsep GCG mulai dikenal sejak krisis ekonomi tahun 1998. Budiati (2012) menyatakan bahwa selain faktor politik, krisis yang berkepanjangan tersebut dinilai karena tidak dikelolanya perusahaan-perusahaan secara bertanggungjawab, mengabaikan regulasi, serta sarat dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF) untuk mendorong terciptanya iklim yang lebih kondusif bagi penerapan GCG melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000. Berdasarkan keputusan tersebut, Pemerintah Indonesia mendirikan lembaga khusus, yaitu Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang memiliki tugas pokok dalam merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia. 

Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON/II/TAHUN 2004 tentang pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisasi Governance bukan hanya di sektor korporasi tetapi juga di sektor publik. KMKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman GCG yang sebelumnya diterbitkan pada tahun 2001 oleh KMKCG. Pedoman yang baru ini memberi penekanan kepada pengungkapan dan transparansi serta memperjelas peran tiga pilar pendukung (negara, dunia usaha, dan masyarakat). 

Sejauh ini, penegakan aturan untuk penerapan CGG belum menetapkan sanksi bagi perusahaan yang belum menerapkan maupun yang sudah menerapkan tetapi tidak sesuai standar pelaksanaan GCG. Meskipun demikian, penerapan GCG memberi nilai tambah bagi perusahaan. Perusahaan yang melakukan peningkatan pada kualitas GCG menunjukan peningkatan penilaian pasar, sedangkan perusahaan yang mengalami penurunan kualitas GCG, cenderung menunjukan penurunan pada penilaian pasar (Cheung, 2011).

2.3.2 Definisi
Menurut Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG), Konsep Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan atau stakeholders (IICG, 2009). Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-pihak internal maupun eksternal yang berkaitan dengan perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. 

Good menunjukkan tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan sesuai dengan konsep corporate governance. Struktur adalah susunan atau rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab di antara pihak-pihak dalam perusahaan (dewan komisaris, direksi, dan pemegang saham) serta stakeholder lainnya, dan aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan. Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mendukung struktur dan strategi operasional dalam suatu perusahaan. Proses adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan:
  1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder lainnya.
  2. Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
  3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut dengan pengukuran kinerjanya.
Dengan demikian, maka tata kelola perusahaan yang baik merujuk pada seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa perusahaan diarahkan dan dikelola untuk menciptakan nilai bagi pemiliknya sementara secara bersamaan memenuhi tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan lain, misalnya karyawan, pemasok, serta masyarakat pada umumnya (Merchant, 2007).

2.3.3 Teori GCG
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance menurut Shaw (2003) adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Teori ini sering disandingkan dengan literatur mengenai stakeholders theory, dimana suatu perusahaan tidak hanya memandang bahwa stakeholders adalah investor dan kreditor saja, melainkan antara lain pemerintah, pelanggan, pemasok, karyawan (tenaga kerja), masyarakat, dan lingkungan. Teori ini menitikberatkan peran penting stakeholders pada suatu entitas bisnis. Dengan demikian, suatu entitas harus mampu memberikan kepuasan terhadap stakeholders, dimana perusahaan dituntut untuk dapat memenuhi semua tuntutan stakeholders agar dapat mendukung pencapai tujuan perusahaan. Dalam tesisnya, Sarwako (2003) menyimpulkan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengelola tuntutan stakeholders adalah dengan menerapkan GCG secara efektif. 

Sementara itu, agency theory dikembangkan pertama kali pada tahun 1976 oleh Jensen dan Meckling. Teori ini memandang manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respon lebih luas dibandingkan teori stewardship karena dipandang mencerminkan kenyataan yang terjadi di korporasi (terutama korporasi berakuntabilitas publik).

2.3.4 Pilar Utama GCG
Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar utama yang saling melengkapi, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk (Zarkasyi, 2008).
Peran dasar yang dilaksanakan masing – masing pilar adalah:
1. Negara dan Perangkatnya
Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang – undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan, serta menjalankan penegakkan hukum secara konsisten (consistent law enforcement). Peranan negara dapat dijelaskan lebih lanjut antara lain:
  • Melakukan koordinasi secara efektif antar penyelenggara negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan sistem hukum nasional dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu regulator harus memahami perkembangan bisnis yang terjadi untuk dapat melakukan penyempurnaan atas peraturan perundang-undangan secara berkelanjutan.
  • Mengikutsertakan dunia usaha dan masyarakat secara bertanggungjawab dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (rule-making rules)
  • Menciptakan sistem politik yang sehat dengan penyelenggara negara yang memiliki inttegritas dan profesionalitas yang tinggi
  • Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten.
  • Mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
  • Mengatur kewenangan dan koordinasi antar-instansi yang jelas untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan integrasi yang tinggi dan mata rantai yang singkat serta akurat dalam rangka mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
  • Memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain
  • Mengeluarkan peraturan untuk menunjang pelaksanaan GCG dalam bentuk ketentuan yang dapat menciptakan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
  • Melaksanakan hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang saham lainnya dalam hal negara juga sebagai pemegang saham perusahaan.
2. Dunia Usaha 
Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. Peranan dunia usaha dalam pelaksanaan GCG antara lain:
  • Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.
  • Bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dunia usaha dalam melaksanakan peraturan perundang – undangan
  • Mencegah terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
  • Meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan yang didasarkan pada asas GCG secara berkesinambungan.
  • Melaksanakan fungsi ombudsman untuk dapat menampung informasi tentang penyimpangan yang terjadi pada perusahaan. Fungsi ombudsman dapat dilaksanakan bersama pada suatu kelompok usaha atau sektor ekonomi tertentu.
3. Masyarakat (Publik)
Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab. Peranan masyarakat dalam pelaksanaan GCG, antara lain:
  • Melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha, melalui penyampaian pendapat secara obyektif dan bertanggung jawab.
  • Melakukan komunikasi dengan penyelenggara negara dan dunia usaha dalam mengekspresikan pendapat dan keberatan masyarakat.
  • Mematuhi peraturan perundang – undangan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
2.3.5 Prinsip-Prinsip GCG
Sistem yang mengatur keseimbangan dalam pengelolaan perusahaan perlu dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip yang harus dipatuhi untuk menuju tata kelola perusahaan yang baik. Dengan demikian, suatu entitas dapat memberikan kepastian atas penerapan prinsip atau asas GCG di setiap aspek bisnisnya. Berdasarkan Keputusan Menteri nomor: KEP-117/MMBU/2002 serta berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), prinsip-prinsip GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Prinisp-prinsip ini diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Transparansi (Transparency)
Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip dasar: untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Pedoman pokok pelaksanaannya:
  • Perusahaan harus dapat menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
  • Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
  • Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan sehingga diketahui resiko yang mungkin terjadi dan keuntungan yang dapat diperoleh dalam melaksanakan transaksi dengan perusahaan sekaligus ikut serta dalam mekanisme pengawasan dalam perusahaan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Prinsip dasar: Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, penyajian informasi secara transparan, akurat dan reliabel perlu terlebih dahulu dijamin mengingat akuntabilitas tidak dapat ditegakkan tanpa adanya transparansi, akurasi dan reliabilitas informasi. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 

Menurut Sadjiarto (2003), akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif antara lain:
a. Perspektif Akuntansi, 
American Accounting Association menyatakan bahwa akuntabilitas terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) akuntabilitas terhadap sumber daya finansial, (2) kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijakan administratif, (3) efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan, dan (4) hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.

b. Perspektif Fungsional
Menurut perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda, diawali dengan tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran subyektif. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: (1) akuntabilitas probitas dan legalitas, (2) akuntabilitas proses, (3) akuntabilitas performa, (4) akuntabilitas program, dan (5) akuntabilitas kebijakan.

c. Sistem Akuntabilitas
Berdasarkan perspektif sistem akuntabilitas, karakteristik pokok sistem akuntabilitas adalah: (1) berfokus pada hasil (outcomes), (2) menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja, (3) menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu program atau kebijakan, (4) menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu, serta (5) melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur.

Pedoman pokok pelaksanaannya:
  • Praktek audit internal yang efektif untuk memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.
  • Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan target pencapaian perusahaan di masa depan.
  • Meyakini bahwa semua komponen perusahaan dan semua karyawan memiliki kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan peran keduanya dalam pelaksanaan GCG.
  • Memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama dan strategi perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi.
  • Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap komponen perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Responsibilitas atau pertanggungjawaban adalah kesesuaian dan kepatuhan di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan atau keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. Prinsip dasar: perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman pokok pelaksanaannya:
  1. Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).
  2. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi (Independency)
Independensi atau kemandirian adalah suatu keadaan ketika perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Prinsip dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pokok pelaksanaannya:
  1. Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
  2. Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Kesetaraan dan kewajaran dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakkan peraturan yang melindungi hak-hak investor khususnya pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Fairness diharapkan membuat seluruh asset perusahaan dikelola secara baik dan hati-hati, sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara jujur dan adil. Juga diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan serta keadilan juga harus dirasakan oleh para karyawan dan masyarakat lingkungannya. Fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif, yaitu adanya peraturan perundangundangan yang jelas, tegas dan konsisten dan dapat ditegakkan secara efektif. Pedoman pokok pelaksanaannya:
  1. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
  2. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.
  3. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
2.3.6 GCG bagi Perusahaan Kecil dan Menengah
Melihat sejarahnya, GCG merupakan suatu konsep manajerial yang diarahkan untuk segmen korporasi (corporate) atau organisasi yang telah memiliki struktur dan sistem internal yang baik. Hal ini juga terlihat dengan lebih berkembangnya agency theory dibandingkan dengan stewardship theory pada implementasi GCG di perusahaan. Dengan demikian, beberapa literatur mempertanyakan relevansi penerapan konsep GCG pada sektor usaha kecil menengah.

Secara konseptual, prinsip GCG mergandung nilai luhur (value) yang berlaku bagi pelaku bisnis manapun, tentunya bagi mereka yang masih berpegang pada etika bisnis. Prinsip transparansi mendorong entitas bisnis agar secara transparan tanpa berupaya menutup-nutupi berbagai hal yang memang semestinya menjadi hak publik. Prinsip akuntabilitas memberi pedoman tentang bagaimana usaha dijalankan secara terarah, terukur, dan terencana secara baik. Prinsip responsibilitas memberikan rambu-rambu atas pertanggungjawaban yang harus diemban perusahaan. Sedangkan prinsip fairness memberikan pedoman bagaimana usaha mampu memberikan nilai tambah positif yang dapat dinikmati oleh semua pihak secara fair dan proporsional.

Kita tentunya sepakat bahwa ketiga nilai yang terkandung dalam konsep GCG tersebut merupakan nilai universal yang semestinya menjadi acuan dan pegangan bagi semua entitas bisnis, baik usaha besar maupun kecil dengan satu tujuan meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak (stakeholders).

Iyuk Wahyudi (2008) mengemukakan beberapa kondisi riil dari entitas usaha kecil dan menengah:
  1. Model pengelolaan manajemen UKM yang mayoritas masih one man show atau single fighter.
  2. Belum dikenal pemilahan antara aset dan kepentingan pribadi dengan bisnis.
  3. Sebagian besar struktur modal UKM masih di dominasi modal pendiri.
  4.  Transparansi dan pengelolaan keuangan secara profesional belum menjadi suatu kebutuhan.
  5. Pola pikir jangka pendek, mudah puas, dan tanpa perencanaan usaha yang matang dan terarah.
Kelima kondisi di atas menghambat efektifitas penerapan konsep GCG di sektor usaha kecil-menegah mengingat kondisi tersebut berlawanan dengan lingkungan yang disyaratkan untuk terlaksananya prinsip GCG secara baik. Contoh yang paling utama adalah, untuk mewujudkan nilai transparansi, akuntabilitas, dan fairness, konsep GCG menghendaki adanya pembagian fungsi dan kewenangan antara komisaris dan manajemen. Bila tidak, maka efektifitas kerja akan terganggu dan memungkinkan terjadinya conflic of interest diantara kedua fungsi yang memang berbeda itu. Meskipun demikian, pada sektor UKM, kedua fungsi dan peran tersebut sering kali dilakukan oleh satu individu. Seseorang bisa menjabat sebagai direktur sekaligus pemilik perusahaan, bahkan tak jarang fungsi-fungsi yang lain pun dirangkapnya. Contoh lain yang signifikan, hampir sebagian besar sektor kecil dan menengah belum memberi perhatian khusus untuk menerapkan sistem keuangan yang standar dalam perusahaan.

Iyuk Wahyudi (2008) mengemukakan beberapa peluang untuk “melegitimasi” dimungkinkannya prinsip GCG bagi sektor kecil dan menengah, diantaranya:
  1. Sektor usaha kecil dan menengah sangat concern dan responsif terhadap berbagai isu sosial yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh keberadaan usahanya. Bagi pengusaha UKM, yang ditakutkan bukan sanksi hukum formal, melainkan sanksi sosial yang terkadang justru dirasakan lebih “kejam”.
  2. Motif sektor kecil dan menengah lebih bersifat social-entrepreneurship, sehingga umumnya tidak melakukan praktik usaha yang melanggar hukum. Dengan skala usahanya yang kecil, maka prinsip GCG seperti fairness, keterbukaan informasi, jujur, dan integritas umumnya dilakukan dengan sangat baik. Sebenarnya selama ini sektor kecil dan menengah telah menerapkan sebagian dari prinsip-prinsip GCG.
2.4 Structural Equity Modeling (SEM)
Berbeda dengan penelitian dalam bidang eksak, salah satu masalah utama dalam penelitian sosial, prikologi, dan ekonomi adalah bagaimana mengukur suatu objek untuk memperoleh data yang akurat dan informatif sehingga dapat mengambil keputusan yang benar dan dapat dipercaya. Structural Equation Modeling (SEM) adalah salah satu analisis statistik populer yang banyak digunakan dalam lingkup penelitian sosial, psikologi, ekonomi, dan bidang lainnya tersebut. SEM dapat digunakan untuk mengukur besarnya hubungan (pengaruh) di antara serangkaian (kompleks) variabel, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung yang dilakukan secara simultan. Pada sub-bab ini, beberapa istilah umum yang berkaitan dengan SEM akan diuraikan.

2.4.1 Jenis Penelitian
Sugiyono (2009) menyatakan bahwa jenis penelitian dapat dikelompokkan menurut bidang, tujuan, metode, tingkat penjelasan (level of explanation) dan waktu. Secara spesifik dari segi waktu, suatu penelitian dapat dibagi menjadi:
1. Penelitian cross-sectional
Penelitian cross-sectional (cross-sectional research) adalah penelitian yang melibatkan observasi terhadap populasi atau sampel yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Penelitian ini hanya digunakan dalam waktu yang tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.

2. Penelitian longitudinal
Penelitian longitudinal (longitudinal research) adalah jenis penelitian yang mengamati perubahan subjek penelitian dalam periode waktu yang lama. Umumnya, penelitian jenis ini digunakan untuk penelitian jangka panjang. Karakteristik dan cakupan utama dari penelitian longtudinal meliputi:
  • Data dikumpulkan untuk setiap variabel pada dua atau lebih periode waktu tertentu.
  • Subjek atau kasus yang dianalisis sama, atau setidaknya dapat diperbandingkan antara satu periode dengan periode berikutnya.
  • Analisis melibatkan perbandingan data yang sama dalam satu periode dengan antar metode yang berbeda.
2.4.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2009). Oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Sugiyono, 2009).

2.4.3 Skala Data
Dalam ilmu statistik dikenal empat skala dilihat dari jenis data yang digunakan dalam penelitian sebagaimana dituliskan oleh Kurniawan dan Yamin (2009), yaitu:
1. Skala Nominal
Skala ini sering juga disebut sebagai skala kategori atau skala atribut. Dalam skala nominal, data hanya dapat dibedakan berdasarkan sifat fisiknya. Sebagai contoh: data jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan data warna (merah, kuning, hijau, dan sebagainya). Apabila skala nominal dikonversikan menjadi angka, misalnya 1 untuk laki-laki dan 0 untuk perempuan, maka tidak menjadikan bahwa 1 lebih besar daripada 0. Pemberian angka yang diberikan hanya bersifat sebagai label saja.

2. Skala Ordinal
Skala ini sering disebut juga sebagai skala peringkat atau skala tingkatan. Contoh dari skala ordinal adalah data tingkat pendidikan atau tingkat preferensi/persetujuan. Dalam tingkat pendidikan, terdapat SD, SMP, SMA, dan Sarjana, sedangkan dalam tingkat preferensi/persetujuan terdapat Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Netral, Setuju, dan Sangat Setuju. Angka yang diberikan untuk skala ordinal menunjukkan nilai peringkat dari objek. Misalnya, 1 untuk Sangat Tidak Setuju, 2 untuk Tidak Setuju, 3 untuk Netral, 4 untuk Setuju, dan 5 untuk Sangat Setuju.

3. Skala Interval
Skala interval adalah suatu pemberian angka kepada set dari objek yang mempunyai sifat-sifat ukuran ordinal dan ditambah sifat lainnya, yaitu jarak yang sama. Pengukuran skala interval memperlihatkan jarak yang sama dari ciri atau objek yang diukur. Sebagai contoh adalah data frekuensi, yaitu 1x, 2x, 3x, 4x, dan seterusnya.

4. Skala Rasio
Skala rasio adalah ukuran yang mencakup semua ukuran di atas ditambah satu sifat lagi, yaitu skala yang diukur memberikan keterangan tentang nilai absolut dari objek yang diukur. Ukuran rasio mempunyai titik nol, sehingga ukuran rasio ini dapat dilakukan perkalian ataupun pembagiann. Angka pada skala rasio menunjukkan nilai sebenarnya dari objek yang diukur. Contoh dari ukuran ratio: ukuran timbangan berat badan, ukuran tinggi badan, dan lain-lain.

2.4.4 Analisis Faktor
Analisis Faktor (Factor Analysis) adalah salah satu keluarga statistik multivariat yang bertujuan untuk meringkas atau mereduksi variabel amatan secara keseluruhan menjadi beberapa variabel atau dimensi baru, namun variabel atau dimensi baru yang terbentuk tetap mampu merepresentasikan variabel utama (Kurniawan dan Yamin, 2009). Analisis Faktor memungkinkan untuk memeriksa interrelasi diantara variabel-variabel yang banyak jumlahnya dan menjelaskannya menurut dimensi. Analisis Faktor digunakan ketika seorang peneliti berusaha untuk memahami struktur interrelasi diantara variabel dalam sebuah kumpulan data. Terdapat dua pendekatan utama dalam Analisis Faktor, yaitu:
1. Explanatory Factor Analysis
Menggunakan teknik multivariat untuk menguji sebuah hubungan yang belum diketahui. Explanatory factor analysis digunakan jika jumlah faktor yang akan terbentuk tidak ditentukan terlebih dahulu melainkan berkembang selama periode penelitian (Kurniawan dan Yamin, 2009).

2. Confirmatory Factor Analysis
Yaitu analisis faktor yang melibatkan pengujian secara empirik bagi signifikansi dan ketidaksignifikansian satu atau banyak variabel yang telah ditentukan sebagai penganalisis suatu hipotesis. Confirmatory factor analysis digunakan bila faktor yang terbentuk telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada aplikasinya, SEM menggunakan confirmatory factor analysis.

2.4.4.1 Dimensi
Dalam praktiknya, para peneliti sosial, psikologi, dan ekonomi mengembangkan suatu dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengukur suatu objek amatan. Dimensi didefinisikan sebagai alat ukur yang memenuhi kriteria valid, reliabel, praktis, dan ekonomis. Dimensi sebaiknya merupakan suatu alat ukur yang baik dan mampu memberikan informasi yang benar, baik secara logis maupun teoritis.

2.4.4.2 Konstrak
Menurut Kurniawan dan Yamin (2009), konstrak adalah konsep yang dapat didefinisikan secara konseptual namun tidak dapat diukur secara langsung oleh peneliti sehingga harus diukur dengan perkiraan dalam bentuk indikator. Konstrak adalah dasar pembentukan hubungan kausal (sebab-akibat). Dalam praktik penelitian berbasis kuesioner, sebuah konstrak didefinisikan sebagai suatu hipotesis permasalahan yang akan diteliti. Sebagai contoh, peneliti meneliti hubungan kualitas proyek terhadap motivasi donatur crowdfunding untuk menyumbang. Mengingat hubungan ini tidak dapat diukur secara langsung, maka didefinisikan sebagai suatu konstrak atau konstrak laten. Kurniawan dan Yamin (2009) mendefinisikan variabel konstrak laten sebagai operasionalisasi suatu konstrak dalam model persamaan struktural dimana sebuah konstrak laten tidak dapat diukur secara langsung tetapi dapat direpresentasikan atau ditentukan oleh satu atau lebih indikator.

2.4.4.3 Variabel Manifest (Indikator)
Kurniawan dan Yamin (2009) mengutip definisi Hair et al. (1995) mengenai variabel manifest yaitu sebagai suatu nilai observasi untuk bagian spesifik yang dipertanyakan, baik dari responden yang menjawab pertanyaan (misalnya melalui kuesioner) maupun observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dalam teori statistik, variabel manifest lebih umum disebut sebagai indikator. Meskipun demikian, buku-buku mengenai SEM lebih umum menyebutnya sebagai variabel manifest. Berhubungan dengan sub-bab sebelumnya yang membahas mengenai konstrak, diketahui bahwa suatu konstrak laten tidak dapat diukur secara langsung sehingga membutuhkan indikator-indikator untuk mengukurnya. Dalam format kuesioner, variabel manifest merupakan item-item pertanyaan dari setiap variabel yang dihipotesiskan.

2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Berglin dan Strandberg (2013) serta Ordanini, Miceli, Pizzetti, dan Pasuraman (2011). Atas penelitian kualitatif yang dilakukan Ordanini, Miceli, Pizzetti, dan Pasuraman (2011), dilakukan penelitian kuantitaitf oleh Berglin dan Strandberg (2013). Penelitian ini kemudian menguji kembali secara kuantitatif variabel penelitian Berglin dan Strandberg (2013) tersebut, sebagai berikut:
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: