BEBERAPA ISTILAH DIPLOMASI
Ancient Diplomacy
Diplomasi Kuno. Diplomasi yang dijalankan oleh negara-negara yang ada dan berdiri pada masa sebelum Masehi (BC—Before Christ, sebelum Kristus lahir) seperti misalnya India Kuno, China Kuno, dan Mesir Kuno. Sayangnya banyak informasi yang belum tergali dari praktek diplomasi pada jaman kuno ini. Diplomasi kuno umumnya mengambil bentuk diplomasi matrimonial (diplomasi melalui perkawinan) seperti dijalankan oleh Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, atau yang dilakukan oleh Ratu Cleopatra dari Mesir dengan menikahi Jenderal Romawi Anthony untuk mencegah Mesir diserang Roma. Bahkan jauh sebelum jaman Cleopatra, yaitu sekitar 3.500 SM, di Mesir diyakini sudah ada korespondensi diplomatik dengan ditemukannya “letter from Amara” yang berisi daftar barang-barang yang dikirimkan kepada seseorang yang diyakini sebagai pejabat. Hal ini menandakan bahwa praktek diplomasi sudah ada jauh sebelum jaman Yunani yang dijadikan akar peradaban Eropa. Dalam epos Mahabharata India Kuno misalnya ada cerita tentang Kresna Duta, sebuah epos tentang diutusnya Prabu Kresna dalam sebuah misi Pandawa meminta kembali negara yang dikuasai Kurawa. Kautilyapada abad ke-4 sebelum Masehi juga sudah menulis Arthasastra yang berisi tentang hubungan internasional dan diplomasi.[1] Kita juga yakin bahwa di Cina tentunya sudah berkembang praktek diplomasi mengingat Cina juga mempunyai peradaban yang sangat tua, termasuk konsep “the Middle Kingdom.” Berkait dengan definisi modern tentang diplomasi, diplomasi kuno merupakan upaya untuk mengatur hubungan dengan negara lain melalui jalinan persaudaraan yang tanpa peperangan karena tentunya akan lebih mudah berunding dengan saudara sendiri dari pada dengan orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali. Diplomasi melalui perkawinan, misalnya, juga digunakan untuk mencapai tujuan diplomasi seperti yang dikemukakan Kautilya yaitu acquisition (perolehan wilayah baru) atau augmentation, perluasan wilayah atau sekedar perluasan sphere of influence.
Aristocratic Diplomacy
Sebuah pengertian bahwa diplomasi adalah dunianya kaum aristokrat alias kaum bangsawan. Salah satu sebabnya adalah pada masa lalu syarat untuk menjadi diplomat sangat berat dan umumnya susah dipenuhi oleh mereka yang non-bangsawan alias rakyat biasa. Misalnya syarat untuk mampu berunding, menguasai pengetahuan yang cukup tentang sejarah dan budaya bangsa lain, adalah syarat-syarat yang memerlukan kecakapan khusus dan atau pendidikan tinggi. Selain itu, diplomat masa itu hidup dalam strata masyarakat “budaya tinggi” (Bhs. Perancis: haute couture) dengan tata cara pergaulan, berbahasa, bahkan tatacara makan yang bukan merupakan kebiasaan masyarakat awam. Dan memang sudah sejak semula urusan kenegaraan adalah urusan kelompok elit. Dengan dominasi kaum bangsawan ini maka diplomasi seolah-olah urusan intern di antara kaum bangsawan sendiri sehingga tidak ada tanggungjawab sama sekali kepada rakyat. Dunia diplomasi menjadi sangat elitis. Elitisasi diplomasi dengan menjadikannya hanya milik aristokrat inilah yang mendorong munculnya praktek secret diplomacy alias diplomasi rahasia, yaitu perjanjian-perjanjian dengan negara lain hanya beredar di, atau terbatas diketahui oleh, kalangan bangsawan dan tetap menjadi rahasia diantara mereka. Meskipun dunia diplomasi modern sudah jauh lebih terbuka dalam menerima rakyat biasa ke dalam jajaran diplomatik, namun masih banyak dijumpai adanya kasus di mana posisi tertentu, khususnya Duta Besar, diisi oleh “aristokrat modern” seperti misalnya pensiunan Jenderal.
Cashbox Diplomacy
Arti harfiahnya adalah diplomasi kotak uang. Dalam definisi KM Panikkar, diplomasi terutama digunakan untuk “forwarding one’s interest in relations to other states” (mengedepankan kepentingan nasional sebuah negara dalam hubungan internasional). Dalam mengedepankan kepentingan nasionalnya, sebuah negara akan memilih cara-cara diplomatis lebih dulu, khususnya menjalankan pengaruh dengan berbagai sarana. Diplomasi lalu menjadi “a by which a state directly influences another.” Sebagai sebuah sarana atau alat, maka diplomasi bisa memanfaatkan instrumen apa saja, apakah itu uang, minyak, bahkan sampai pada militer. Dengan menggunakan uang, minyak, atau apapun sebagai alat, sebuah negara bisa secara langsung mempengaruhi negara lain untuk menjalankan keinginannya. Amerika Serikat (AS) misalnya, terkenal sebagai negara yang menjalankan diplomasi dengan menggunakan uang dan dikenal dengan istilah dollar diplomacy.
Diplomasi dengan menggunakan uang telah dijalankan AS setelah diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) pada abad ke-19 menjadikan AS negara paling berpengaruh di benua Amerika. Dengan diplomasi kapal perang tersebut AS berani menantang negara-negara Eropa dengan mengatakan “America for the Americans” melalui the Monroe Doctrine tahun 1823. Doktrin Presiden James Monroe tersebut telah efektif mencegah interferensi Eropa dalam persoalan-persoalan yang terjadi di benua Amerika, khususnya Amerika Latin. Presiden William Howard Taft lalu menggagaskan dollar diplomacy untuk mempertahankan kehadiran AS di Amerika Tengah dan Latin. Sepanjang sejarah politik luar negeri dan diplomasi Amerika, diplomasi dollar, yaitu penggunaan uang untuk mempengaruhi negara lain merupakan tulang punggung kebijakan luar negeri AS. Ketika Perang Dunia II selesai, AS semakin gencar menjalankan diplomasi dollarnya melalui program-program seperti Marshall Plan (juga dikenal dengan European Recovery Program) dan Colombo Plan. Pemberian pinjaman kepada negara-negara lain sering dimanfaatkan oleh kelompok industrialis militer dengan memboncengi program tersebut dengan memasukkan program bantuan militer. Sebagian dari hutang luar negeri yang diberikan, kepada Indonesia misalnya, berbentuk paket persenjataan dan amunisinya atau program lain seperti military assistance untuk melatih personil atau perwira militer. Diplomasi dollar Amerika telah berhasil membentuk blok anti komunis selama Perang Dingin berlangsung.
Begitu pula dalam perpolitikan internasional kontemporer yang diberi label “war against terrorism” pasca penyerangan gedung WTC di New York pada tanggal 11 September 2001, AS dengan gencar menjalankan diplomasi uang dengan memberikan dana untuk memerangi terorisme. Apa yang dilakukan AS itu dijuluki cashbox diplomacy, diplomasi kotak uang alias diplomasi brankas. Dengan brankas yang dimilikinya (khususnya anggaran darurat yang telah diberikan Konggres sebanyak 50 milyar dollar), Amerika membagi-bagi isi brankasnya kepada negara manapun yang mau diajak untuk berkoalisi dalam memerangi terorisme. Misalnya, lebih dari 850 juta dollar hutang 13 negara telah dijadwal ulang. Bahkan untuk mengajak negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Islam, AS cukup dermawan mengeluarkan isi brankas. Misalnya saja, Indonesia diberi 45 juta dollar. Lalu banyak uang dialirkan ke Pakistan, Yordania, Algeria, Filipina, atau siapapun yang bersedia masuk ke dalam barisan perang melawan terorisme. Akibatnya, penjara di negara-negara tersebut dipenuhi oleh orang-orang Islam yang umumnya dicap anti pemerintah, radikal, fundamental, atau teroris. Sungguh ironis.
Dalam praktek yang dijalankan Jepang, diplomasi yang menggunakan uang disebut checkbook diplomacy (diplomasi buku cek) karena Jepang sangat sering menggunakan uang untuk ‘membungkam’ Indonesia, Korea, atau Cina ketika menuntut Jepang dalam persoalan warisan Perang Dunia II seperti skandal jugun ianfu, pembunuhan massal dengan senjata gas, atau romusha, serta pembantaian seperti di Nanjing. Dalam istilah lain yang pernah dimuat Asian Survey, dijumpai istilah ATM diplomacy yang mempunyai pengertian sama dengan brankas. Begitulah dunia politik internasional, mirip dengan politik nasional, banyak menggunakan uang untuk mencapai tujuan politik. Untuk rujukan, kunjungi alamat website berikut ini: www.counterpunch.org/cashbox.html.
Coercive Diplomacy
Cara-cara paksaan yang dilakukan oleh satu negara A kepada negara B agar negara B tunduk pada apa yang diinginkan negara A. Cara-cara pemaksaan itu umumnya menggunakan sanksi perdagangan, embargo untuk bisnis atau investasi dengan jumlah tertentu, boikot, bahkan sampai pada larangan bepergian bagi pejabat tertentu, alias kalau pejabat tersebut mengunjungi negara yang memberlakukan larangan atau ke negara yang ikut mendukung larangan tersebut maka akan segera dideportasi karena tidak akan diberi visa kunjungan. Banyak contoh bagaimana Amerika Serikat sebagai pelaku utama diplomasi paksaan ini melarang Yasser Arafat ke PBB selama Otoritas Palestina tidak mau menghapus pasal dalam konstitusinya yang menyebut penghancuran atau penghapusan negara Israel. Ratusan kasus bisa dilihat dari cara-cara AS memaksa negara lain tunduk. Undang-undang Anti Iran dan Contra sampai pada kasus yang mutakhir berupa sanksi yang diberlakukan kepada Iran karena tidak mau menghentikan program pengayaan uranium adalah contoh bagaimana Coercive Diplomacy dijalankan. Efektivitas jenis diplomasi ini sangat bergantng pada seberapa tinggi ketergantungan negara yang dikenai sanksi pada jejaring internasional. Ketika sanski AS dijatuhkan kepada Iran karena melakukan penyanderaan korps diplomatik AS di Teheran ternyata sanksi itu tidak efektif. Meski diembargo senjata, ekonomi, dan perdagangan selama 19 tahun, ternyata Iran tetap mampu bertahan bahkan hal itu mendorongnya untuk mencukupi sendiri kebutuhan militernya dengan beralih ke negara lain atau mengembangkan sendiri. Sebaliknya ketika AS melarang penjualan senjata, khususnya suku cadang pesawat seperti F-16 dan pesawat transport Hercules, kekuatan militer Indonesia menjadi sangat menurun drastis karena tidak punya kemampuan untuk membeli dari sumber lain atau mengembangkannya sendiri.
Coercive diplomacy yang dilakukan Uni Soviet pada masa Perang Dingin lebih vulgar dalam hal unjuk kekuatan. Ketika ada unsur-unsur yang membangkang perintah Moskow, segera saja Kremlin mengirim pasukan dengan dalih latihan—sebagaimana dialami Cekoslovakia—dan kemudian masuk ke negara tersebut untuk mengamankan rejim yang mereka dukung dari unsur-unsur yang menentangnya. Pada masa lalu penguasa China Kublai Khan melakukan hal yang sama dengan mengirim pasukan ke Singasari untuk menekan Raja Kertanegara agar mengakui supremasi China dan bersedia membayar upeti agar tidak dijajah. Sangat mungkin diplomasi paksaan ini merupakan praktek yang sudah lama dijalankan negara-negara sebagai langkah sebelum perang.[2]
Cultural Diplomacy
Sebenarnya istilah yang lebih baku seperti diperkenalkan SL Roy adalah “diplomacy by cultural performance.” Namun orang terlanjur membuat istilah yang sederhana yaitu “diplomasi kebudayaan” untuk memberi pengertian diplomasi dengan menggunakan kegiatan-kegiatan budaya seperti pengiriman misi kesenian ke negara lain untuk menimbulkan dan memperoleh kesan atau citra baik. Diplomasi dengan menggunakan sarana budaya tidak mesti harus dengan budaya kuno atau lama. Kalau Indonesia mengirimkan misi kesenian atau pertunjukan seperti tari Jawa atau budaya Suku Asmat, misalnya, kesan yang muncul bisa saja kebalikan dari yang diharapkan. Misalnya, ketika hasil budaya suku Asmat ditampilkan keliling Eropa dan disertai dengan beberapa wakil suku dengan berpakaian adat yang menunjukkan keterbelakangan, mungkin kesan yang muncul bisa lain, yaitu justru citra yang negatif (ada yang menyebutnya stone age alias jaman batu). Oleh karena itu pilihan atas misi budaya harus didahului dan kemudian didasarkan pada studi tentang budaya negara yang akan dituju, tidak semata-mata hanya ingin menunjukkan apa yang kita punya dengan keyakinan bahwa yang tradisional itu mesti menarik minat bangsa lain. Dalam sebuah kesempatan penampilan misi budaya yang digelar di Washington, DC pada akhir tahun 1999 oleh KBRI, masyarakat Amerika, yang notabene adalah masyarakat yang dinamis, ketika melihat tampilan tari Jawa, atau nyanyian lagu dangdut, memberi penghormatan biasa dengan tepuk tangan. Tetapi ketika mereka melihat penampilan tari Syaman dari Aceh dengan ritme yang cepat, dinamis dan sangat terorganisasi, mereka memberi penghormatan dengan standing ovation. Dengan demikian, untuk menimbulkan citra positif yang diinginkan, Atase Kebudayaan harus jeli melihat jenis budaya apa yang harus tampil.
Deceit Diplomacy
Diplomasi Tipu daya, adalah sebutan yang pada masanya lebih melekat kepada diplomasi yang dipraktekkan oleh para negarawan Byzantium (Romawi Timur). Diplomasi tipu daya akhirnya menjadi karakteristik utama diplomasi Byzantium. Praktek diplomasi tipu daya dijalankan Byzantium karena harus menghindari upaya negara-negara lain yang lebih kuat, misalnya Persia, agar tidak menguasainya. Dalam perkembangan mutakhir, diplomasi tipu daya dijalankan oleh semua negara dengan kadar tertentu atau modus operandi tertentu untuk mencapai kepentingan nasional sebuah bangsa. Satu adagium pernah muncul dengan mengatakan bahwa “a diplomat is an honest man sent abroad to lie for his country” (seorang diplomat adalah orang jujur yang dikirim ke luar negeri untuk berbohong bagi negaranya). Paul Findley menyebut diplomasi tipu daya yang dilakukan oleh Yahudi Israel dengan sebutan Diplomasi Munafik, yaitu demi memperoleh simpati dunia seolah-olah mereka menginginkan perdamaian dengan Palestina, tetapi begitu sampai pada keharusan pelaksanaan perjanjian, tidak satupun yang mereka tepati. Lihat saja kesepakatan seperti Oslo Accord, Wey River, sampai pada Road Map, tidak satupun yang dilaksanakan. Kasus yang sangat baru adalah ketika Duta Besar Amerika Serikat untuk Irak bertemu dengan Presiden Saddam Hussein sebelum ada invasi Irak ke Kuwait. Ada kesan bahwa Saddam Hussein dijebak untuk menyerang Kuwait agar ada alasan bagi Amerika untuk mengurangi kekuatan militer Irak yang merupakan ancaman terbesar bagi Israel saat itu. Bahkan sesungguhnya diplomasi tipudaya dijalankan oleh Amerika dan anteknya Inggris dengan menyebarkan kabar bohong bahwa Irak mempunyai WMD (Weapons of Mass Destruction) yang dengan alasan itu Amerika menggalang opini dunia agar mendukung rencana invasi ke Irak. Setelah sekian lama barulah Amerika dan Inggris mengakui tidak menemukan apa yang mereka gunakan sebagai alasan menyerang Irak. Namun dunia, terutama negara-negara Barat yang dikenal sebagai penghormat hak azasi, kemerdekaan, hak menentukan nasib sendiri, bungkam terhadap agresi telanjang yang dilakukan AS. Bahkan umumnya mereka ikut menjarah Irak dengan mengirim pasukan, baik tempur maupun sekedar pendukung. Jepang, misalnya, ikut terlibat di Irak sebagai penyuplai bahan bakar.
Democratic Diplomacy
Diplomasi demokratis adalah sebutan bagi diplomasi Amerika Serikat (AS) yang baru pada abad ke-20 (tahun 1919) ikut berkecimpung dalam percaturan politik internasional melalui kehadiran Presiden Woodrow Wilson di Konggres Versailles untuk menyelesaikan persoalan Perang Dunia I. Dalam pertemuan itu Presiden Woodrow Wilson mengusulkan gagasan 14 Pasal untuk perdamaian dunia (dikenal dengan Wilson Fourteen Points) dan salah satunya adalah gagasan untuk mewujudkan “open covenant openly arrived at” alias “perjanjian terbuka yang dicapai secara terbuka.” Pengertian demokratik di sini merujuk kepada pola pertanggungjawaban pelaksanaan politik luar negeri yang berlaku di AS, atau proses politik yang berlaku di AS berkaitan dengan keterlibatan internasional pemerintahnya. Mengingat Amerika adalah negara dengan sistem pemerintahan demokratis, maka semua kebijakan luar negeri harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui Konggres (DPR-nya Amerika) karena lembaga ini memiliki hak ratifikasi (persetujuan). Ketika Presiden Woodrow Wilson menandatangani Piagam Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) maka ia harus mempertanggungjawabkannya kepada Konggres, yang ternyata menolak meratifikasinya. Karena Piagam LBB tidak diratifikasi oleh Konggres, maka dengan sendirinya AS tidak berkewajiban melaksanakan alias tidak menjadi anggota Liga. Dalam perkembangannya sekarang ini diplomasi demokratis sering justru digunakan untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya apabila sebuah negara tidak mau menandatangani sebuah perjanjian internasional. Amerika, misalnya, menjadikan alasan tidak diratifikasinya beberapa konvensi atau kesepakatan internasional oleh Konggres sebagai pembenar untuk tidak menjalankan konvensi hukum laut internasional, Protokol Kyoto, dan lain-lain. Israel juga menggunakan alasan persetujuan Parlemen untuk menganeksasi beberapa wilayah Arab yang ia rebut melalui Perang Enam Hari tahun 1967. Jadi, di sini diplomasi demokratis hanya istilah semata, atau hanya berlaku untuk hubungan antar kekuasaan di dalam negeri meskipun keputusan itu bisa sangat tidak demokratis bagi orang lain.
Diplomacy, hardware
Piranti keras diplomasi misalnya gedung. Dalam satu kejadian, gedung kedutaan yang disediakan oleh negara di mana sebuah misi akan ditempatkan bisa memunculkan insiden diplomatik karena adanya upaya penyadapan (bugging) oleh negara yang menyediakan gedung tersebut. Gedung yang disediakan Pemerintah Soviet untuk Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow pernah diketahui dipenuhi oleh alat penyadap yang dipasang oleh pemerintah Soviet. Pada masa Perang Dingin bugging bahkan menjadi kegiatan terselubung paling utama dan menggunakan kedutaan sebagai basis kegiatan. Dengan alasan kekebalan diplomatik, gedung kedutaan tidak boleh digeledah oleh aparat keamanan negara penerima misi. Di Indonesia juga pernah terjadi kasus di mana Kedubes Australia di Indonesia melakukan penyadapan pembicaraan telpon Kedubes Jepang. Bahkan tidak mustahil jika memata-matai juga dilakukan terhadap Indonesia. Kegiatan memata-matai yang memang merupakan salah satu kegiatan ilegal kedutaan ini merupakan kegiatan yang sangat rahasia. Umumnya kegiatan spionase ini merupakan bagian dari tugas diplomat yaitu information gathering. Tidak banyak yang bisa diketahui dari kegiatan ini kecuali yang kemudian terungkap karena memunculkan insiden diplomatik. Penggunaan gedung kedutaan untuk kegiatan spionase menurunkan kehormatan diplomasi alias merendahkan nilai (depresiasi) diplomasi karena tempat yang sangat terhormat justru digunakan untuk kegiatan yang tidak terhormat.
Diplomacy, software
Piranti lunak diplomasi. Yang dimaksud adalah manusia pelaksana kegiatan diplomatik alias para anggota corps diplomatique. Mereka adalah penentu keberhasilan sebuah misi diplomatik. Karena itulah KM Panikkar menekankan definisi diplomasi pada “the art of forwarding one’s interest in relations with other states.” Apabila diplomasi dijalankan oleh seorang “seniman” diplomasi, alias diplomat yang pandai, maka tingkat keberhasilan diplomasi akan sangat tinggi. Sebaliknya apabila yang melaksanakan adalah orang-orang yang tidak tepat alias tidak ahli dalam bidangnya, maka kepentingan nasional sebuah negara tidak akan tercapai dengan baik. Indonesia memilih Adam Malik yang wartawan sebagai Menteri Luar Negeri karena posisi Adam Malik lebih kepada figur untuk memperkenalkan Indonesia, semacam tugas public relations. Namun ketika Indonesia ingin mencapai kepentingan berupa pengakuan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) berkait dengan wilayah Indonesia dalam hukum laut dan perairan internasional maka yang ditugaskan sebagai seniman adalah Mochtar Kusumaatmadja. Begitu pula ketika Indonesia ingin memperjuangkan persoalan Timor Timur (East Timor Question) agar tidak masuk kedalam agenda sidang Majelis Umum PBB, maka orang yang tepat adalah Ali Alatas yang memang mempunyai pengalaman sangat cukup dalam hal lobbying di antara negara-negara anggota PBB. Setiap jaman ada diplomat yang sangat cemerlang dalam melaksanakan tugas seperti Kardinal Mazarin (Perancis), Von Metternich (Austria), Bismarck (Prussia/Jerman), Henry Kissinger (AS) dan lain-lain. Dalam jaman teknologi informasi sekarang ini seorang diplomat yang tidak menguasai keahlian bantu seperti keahlian dalam teknologi informasi (menguasai program komputer, misalnya) akan sangat tertinggal dengan diplomat dari negara lain dalam hal penguasaan informasi. Ketinggalan dalam penguasaan informasi bisa menghambat tugas-tugas diplomatik bahkan merugikan negara. Kasus terbaru adalah munculnya kritikan masyarakat internasional terhadap para diplomat Indonesia bahwa “diplomat Indonesia tidak menguasai informasi tentang Aceh”[3] akibat buruknya koordinasi bantuan internasional untuk penanganan pasca bencana Tsunami di Aceh 26 Desember 2004.
Diplomasi Asap
Secara istilah, mungkin diplomasi asap tidak tepat apabila dianggap sebagai sebuah sebuah kegiatan resmi dan terencana dari suatu negara. Hanya saja istilah ini pernah muncul di sebuah media massa dengan membahas bagaimana dampak kebakaran hutan Indonesia yang melanda beberapa negara tetangga khususnya Singapura dan Malaysia yang mengganggu tidak hanya penerbangan tetapi juga kehidupan sehari-hari kemudian mendorong beberapa negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia, untuk ikut memecahkan persoalan kebakaran hutan kita. Meskipun demikian, pada kebakaran hutan tahun 2004 ini tidak ada lagi kerjasama untuk memadamkan kebakaran hutan. Selain tidak sehebat tahun 2001, asap akibat kebakaran hutan sudah merupakan bisnis rutin Indonesia alias kesengajaan yang tidak perlu dibantu memadamkannya.
Diplomasi Beras
Merupakan salah satu implementasi dari diplomasi prestis. Pada tahun 1960an, saat Presiden Soekarno tidak lagi bersikap bersahabat dengan Barat sebagaimana tampak dalam politik Anti Nekolim, Ganyang Malaysia dan Rebut Irian Barat, maka citra Indonesia di mata internasional dicoba diruntuhkan dengan menyebut gejala kekurangan makan di beberapa daerah di Indonesia sebagai bencana kelaparan yang seolah-olah terjadi di seluruh Indonesia. Kesempatan untuk memulihkan citra atau prestis Indonesia muncul ketika kemudian India mengalami krisis pangan dan Indonesia—yang disebut-sebut mengalami kelaparan—justru membantu dengan pengiriman sekian ribu ton beras untuk diberikan kepada India. Diplomasi beras ini cukup efektif untuk menepis berita buruk tentang kelaparan di Indonesia.
Diplomasi Matrimonial
Dengan arti harafiah diplomasi perkawinan, diplomasi matrimonial sepertinya adalah pola diplomasi yang paling awal dan dominan menjadi sarana untuk mengatur hubungan antar negara dan atau mencapai kepentingan sebuah negara pada masa lalu. Contoh yang paling klasik adalah ketika Nabi Sulaiman menikahi Ratu Balqis, lalu jaman Islam dan diikuti jaman Eropa seperti misalnya Spanyol yang bersatu dengan pernikahan Ferdinand dari Aragon dengan Isabella dari Castillia. Dalam sejarah Indonesia, kerajaan Majapahit merupakan contoh kuat bagaimana diplomasi matrimonial diupayakan sebagai alat mencapai kepentingan Majapahit berupa penyatuan Nusantara oleh Patih Gadjah Mada meski tidak selalu mendatangkan keberhasilan, bahkan Majapahit terpaksa harus melakukan perang Bubat ketika diplomasi matrimonialnya yang ditujukan kepada Kerajaan Pasundan berubah menjadi blunder. Diplomasi matrimonial merupakan fenomena diplomasi yang sangat menonjol dalam sejarah perang dan diplomasi di Eropa mulai tahun 1500 sampai abad ke-18. Bahkan pernah negara-negara kerajaan Eropa mengalami masa diperintah oleh raja atau ratu yang seluruhnya sesungguhnya masih saudara.
Diplomasi Munafik
Istiah yang secara khusus diberikan pada sikap Israel yang selalu mengingkari perjanjian yang sudah disepakatinya. Semua perjanjian yang berkait dengan kemerdekaan Palestina, misalnya, tidak ada yang terlaksana sepenuhnya mulai dari Oslo Accord 1991, Gaza-Jericho First, Wey River, sampai Road Map alias Peta Perjanjian Perdamaian. Bahkan perundingan Annapolis yang diprakarsai Presiden Bush, dilaksanakan pada awal bulan Desember 2007 juga sudah banyak disikapi secara skeptis mengingat tidak adanya kesungguhan Israel untuk memerdekakan Palestina. Secara rinci diplomasi munafik ala Yahudi bisa dibaca dalam karya Paul Findley dengan judul yang sama. Intinya, Israel selalu tidak sejalan antara omongan dengan kenyataan. Seribu alasan disiapkan untuk tidak menjadikan Palestina sebuah negara merdeka. Amerika, yang sering diharapkan menjadi honest broker alias penengah yang adil jelas tidak bisa bersikap adil apabila sudah menyangkut kepentingan Yahudi Israel. Akibat pengaruh kuat lobby Yahudi di Washington, Amerika juga menjalankan politik luar negeri yang berstandar ganda—yang itu juga bisa berarti munafik—terhadap bangsa Palestina.[4] Kalau invasi Irak ke Kuwait segera mendapat respon penuh dengan kekuatan militer, maka invasi Israel ke beberapa negara Arab di tahun 1967—walaupun sudah melahirkan Resolusi 242 yang menuntut Israel agar mengembalikan wilayah yang didudukinya—atau invasi ke Libanon tahun 1982, tidak memunculkan tanggapan apapun dari Amerika.
Diplomat Dunhill
Kalau anda mengamati bungkus rokok dengan merek tersebut akan anda jumpai tulisan “London-Paris-New York” di bagian depan. Diplomat Dunhill adalah sebutan bagi diplomat yang memilih atau hanya mau ditempatkan di kota-kota besar tadi dengan alasan tertentu (karena mantan pejabat tinggi militer, atau ada kendala bahasa, atau karena fasilitas yang lebih bagus, atau akses untuk pulang yang lebih dekat). Diplomat Dunhill memang tidak hanya di tiga kota tersebut, namun ia berlaku pula untuk tempat-tempat khusus yang seolah-olah merupakan jatah diplomat yang berasal dari militer seperti Kuala Lumpur atau Singapura.
Diplomatic Bluff
Gertakan diplomatik. Didalam melaksanakan negosiasi, terkadang pihak yang berunding susah sekali mencapai kesepakatan. Kesulitan itu misalnya karena sikap keras kepala pihak yang kuat dengan tidak mau menerima aspirasi pihak yang dianggap lebih lemah sehingga pihak yang lebih inferior kemudian menggertak dengan tidak ingin melanjutkan perundingan. Gertakan diplomatik pernah dilakukan Indonesia saat ingin merebut Irian Barat (sekarang Papua) dengan melakukan move untuk mendekati Soviet agar Barat, khususnya Amerika, membantu Indonesia menekan Belanda agar segera keluar dari Irian Barat. Bahkan gertakan juga dilakukan dengan menarik diri dari keanggotaan PBB. Dalam contoh lain pihak yang menggertak adalah fasilitator perundingan. Konflik di bekas negara Yugoslavia, khususnya antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia sudah diupayakan didamaikan oleh Amerika dan difasilitasi. Setelah beberapa kali pertemuan tidak menghasilkan keputusan berarti, maka ketika sesi perundingan dilaksanakan di Dayton, Ohio, Amerika mengancam tidak akan meneruskan memfasilitasi pertemuan dan perundingan damai selanjutnya apabila tidak segera dicapai kesepakatan. Dengan gertakan itu akhirnya kesepakatan bisa dicapai. Bisa saja gertakan diplomatik adalah gertakan kosong sekedar untuk menjajagi seberapa tinggi bargaining position yang bisa diperoleh dan sangat mungkin gertakan itu tidak mempan.
Dollar Diplomacy
Diplomasi yang melekat pada sifat Amerika yang sangat sering menggunakan bantuan ekonomi dalam memodifikasi perilaku negara lain. Istilah ini pertama kali muncul dalam kebijakan Presiden Howard Taft yang menginginkan kehadiran permanen Amerika di wilayah Karibia dan Latin sesudah mereka menjalankan gunboat diplomacy. Kebijakan ini berlanjut sampai kini. Kebijakan yang terkenal berkait dengan diplomasi dollar misalnya Marshall Plan alias ERP (European Recovery Program) dan program sejenis yang ditawarkan ke seluruh dunia seperti Colombo Plan. Lihat juga cashbox diplomacy.
Funeral Diplomacy
Diplomasi Pemakaman. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Indonesia. Ketika menghadiri acara pemakaman Kaisar Jepang Hirohito, Presiden Soeharto menggunakan kesempatan tersebut untuk mematangkan kontak dengan wakil pemerintah Cina yang juga hadir dalam upacara pemakaman tersebut dalam rangka normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia-Cina. Diplomasi yang dilakukan di sela-sela acara pemakaman ini kemudian membawa kedua negara menyepakati pembukaan kembali hubungan diplomatik yang sempat dibekukan pasca pemberontakan G-30-S/PKI. Diplomasi Pemakaman ini termasuk kedalam apa yang disebut sebagai quiet diplomacy alias diplomasi diam-diam. Quiet harus dibedakan dengan secret. Diplomasi diam-diam dilakukan untuk mencegah agar upaya diplomatik tidak mengalami kegagalan pada tahap awal alis prematur mengingat kemungkinan penolakan oleh berbagai pihak di luar pemerintah, atau bahkan keberatan oleh negara lain. Apabila nanti hasilnya sudah siap dilakukan, hasil diplomasi ini akan diumumkan terbuka. Diplomasi rahasia tidak pernah diumumkan kepada rakyat sampai kapanpun kecuali ada pergantian rejim secara paksa dan oleh rejim baru diplomasi rahasia itu diungkap ke umum untuk membangun opini publik. Kasus ini pernah terjadi di Russia ketika kaum Bolshevik pimpinan Lenin berhasil menggulingkan pemerintahan kerajaan Russia.
Gunboat Diplomacy
Diplomacy kapal perang yang dilakukan Amerika untuk membuat agar negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Latin tidak menentang politik Amerika, khususnya dalam ambisinya memperoleh wilayah yang mereka anggap sebagai “American destiny.” Sampai sekarang teknik diplomasi ini masih dijalankan AS dengan sarana-sarana modern berupa armada kapal induk yang beroperasi dan berpatroli di seluruh samudra. Ketika ketegangan antara Cina dengan Taiwan meningkat dengan Cina melakukan latihan militer di Selat Taiwan (lihat diplomasi peluru kendali), maka AS segera mengirimkan kapal induknya ke sana sebagai deterrence yang ditujukan untuk meredam keinginan Cina untuk menyerbu Taiwan. Begitu pula kalau ada kawasan lain yang bergejolak, misalnya di perairan Teluk Persia, maka AS segera akan mengirimkan armada kapal induknya mendekati wilayah tersebut. Dengan kehadiran armada yang berkekuatan tempur sampai 12 kapal dan 100 pesawat tempur termasuk mempunyai kemampuan darurat berupa perang nuklir, gunboat diplomacy ini diharapkan mempunyai efek menakut-nakuti alias deterrence. Penggunaan kapal tidak terbatas hanya yang tampak di permukaan, tetapi juga manuver kapal selam yang pada masa Perang Dingin sering dilakukan oleh Uni Soviet.
Military Diplomacy
Penggunaan sarana militer—bukan kekuatan nyata militer—sebagai alat untuk mempengaruhi negara lain secara langsung. Diplomasi militer bisa dijumpai dalam beberapa peristiwa seperti misalnya parade militer yang dulu secara rutin dilakukan oleh Uni Soviet dalam rangka memperingati hari Revolusi Bolshevik. Uni Soviet menggunakan parade militer di lapangan Merah, Kremlin, untuk menunjukkan kekuatan militernya, khususnya produk-produk baru peralatan militer. Tujuan strategisnya adalah untuk deterrence (menggentarkan) lawan agar berpikir dua kali kalau ingin menyerang Soviet atau agar negara-negara anggota Pakta Warsawa sendiri tidak coba-coba menentang Soviet. Dari parade itulah kemudian NATO (North Atlantic Treaty Organization) memberi sebutan bagi peralatan militer Uni Soviet. Nama-nama pesawat seperti Frogfoot, Badger, Bear, Foxbat, Foxhound, dsb. adalah sebutan pemberian NATO. Begitu pula untuk nama-nama tank dan peluru kendali, termasuk peluru kendali antar benua. Pameran alat militer ini kemudian direspon oleh negara-negara lain dengan menciptakan alat tandingan sehingga muncul fenome action-reaction formation, semacam perlombaan senjata. AS sering menggunakan cara yang sama berupa show of force melalui armada terapung, misalnya Armada Ke-7, yang rutin berlayar dari satu lautan ke lautan yang lain dan kadang-kadang melewati Terusan Suez. Negara mana yang tidak gentar ketika melihat sebuah kapal induk dengan 100 buah pesawat tempur, ratusan buah rudal jelajah, bahkan rudal nuklir, dan beberapa buah kapal pengawal lainnya yang membawa kemampuan tempur yang melebihi kekuatan militer sebuah negara? Muhibah kapal perang, pameran kedirgantaraan (air show), juga merupakan sarana yang efektif untuk menjalankan diplomasi militer. Dalam sebuah pameran kedirgantaraan, sebuah negara bisa memamerkan peralatan tempur terbaru mereka dan menjadikan negara lain terpengaruh untuk memilikinya. Di sini kemudian muncul fenomena pasar sebagai tambahan dari efek terpengaruh kehebatan sebuah produk militer. Bahkan lebih jauh pameran seperti itu bisa membangun pendapat umum untuk mengagumi kemajuan teknologi suatu negara sehingga soft power menjadi sangat efektif mempengaruhi.
Missile Diplomacy
Diplomasi peluru kendali. Istilah ini merujuk kepada gertakan Cina kepada Taiwan agar Taiwan tidak memproklamasikan kemerdekaan. Ketika para pemimpin Taiwan pemilihan presiden mencoba bermain dengan isu proklamasi kemerdekaan, maka Cina segera menggertak disertai dengan melakukan latihan militer di Selat Taiwan khususnya latihan penembakan rudal untuk menunjukkan keseriusan Cina menghalangi kemerdekaan Taiwan. Tidak hanya berupa latihan penembakan rudal, Cina juga menempatkan sekian ratus batere rudal yang diarahkan ke Taiwan untuk “directly influences” para pemimpin Taiwan bahwa Cina serius mencegah Taiwan merdeka. Apabila diplomasi rudal ini dilakukan Amerika, maka istilah yang sering muncul adalah Tomahawk diplomacy karena nama peluru kendali jelajah (cruise missile) Amerika bernama Tomahawk, yaitu nama kapak perang Indian. Yang pernah dilakukan Amerika misalnya adalah ketika Presiden Clinton memerintahkan penembakan rudal Tomahawk untuk meredam aksi Slobodan Milosevic membantai etnis Muslim Bosnia atau yang pernah dikirimkan kepada Presiden Irak Saddam Hussein. Rudal jelajah juga pernah dikirimkan kepada pemimpin Libya Mouammar Khadaffi oleh Ronald Reagan dan menewaskan anak angkatnya. Korea Utara menggunakan ujicoba penembakan rudal Rodong dan Taepodong agar Amerika tidak terlalu memanja Korea Selatan dengan peralatan militer atau mau membantu kesulitan ekonomi Korut. India dan Pakistan sama-sama menggunakan sarana ujicoba rudal nuklir mereka untuk saling mengirim pesan bahwa apabila salah satu negara mendahului menyerang maka akan terjadi situasi MAD (mutually assured destruction). Iran pada masa Khomeini juga melakukan penempatan rudal Silkworm di Selat Hormuz agar negara-negara Barat tidak seenaknya melewati wilayah itu. Irak membeli rudal Scud dari Uni Soviet juga untuk menaikkan posisi tawar-menawarnya menghadapi AS. Bahkan Perang Dingin di Eropa adalah suasana diplomasi rudal karena masing-masing menempatkan rudal yang mengarah ke pihak lawan.
New Diplomacy
Sering juga disebut open diplomacy (diplomasi terbuka). Ketika Presiden Amerika Woodrow Wilson ikut datang dan berpidato dalam Konferensi Versailles untuk mencapai perjanjian mengakhir Perang Dunia I, ucapannya yang mengatakan tentang “open covenant openly arrived at” (perjanjian terbuka yang dicapai secara terbuka) dianggap sebagai satu era yang disebut diplomasi baru, khususnya untuk membedakannya dengan era sebelumnya (diplomasi lama) yang berkarakteristik tertutup, elitis, dan sering menjerumuskan rakyat kedalam peperangan. Meskipun kemudian muncul perdebatan tentang sifat terbuka dalam diplomasi yang dalam prakteknya susah dicapai, namun ide Woodrow Wilson setidaknya semakin meningkatkan akuntabilitas pejabat pemerintahan dalam membuat perjanjian dengan negara lain yang bisa berdampak besar terhadap rakyat sebuah negara. Peningkatan tanggungjawab pejabat pemerintahan ini adalah dengan melaporkannya kepada parlemen alias dewan perwakilan rakyat. Meskipun demikian, Indonesia di bawah Orde Baru, meski sering menyebut dirinya demokratis, justru tidak pernah menggunakan hak ratifikasi DPR secara kritis untuk meratifikasi perjanjian luar negeri khususnya hutang sehingga akibatnya sangat buruk bagi rakyat. Era diplomasi baru tidak terlalu berhasil mengintroduksikan diplomasi terbuka, namun adanya diplomasi parlementer merupakan salah satu bentuk diplomasi yang secara terbuka dibahas dan menjadi urusan banyak bangsa.
Oil Diplomacy
Diplomasi minyak bisa mempunyai dua makna. Yang pertama adalah apa yang dilakukan negara-negara untuk mencari sumberdaya minyak sebagai upaya pemenuhan akan kebutuhan minyak untuk industrinya (forwarding one’s interest in relations with other states). Yang kedua adalah apa yang dilakukan khususnya oleh negara-negara Arab pengekspor minyak yang pada tahun 1974 melakukan embargo terhadap negara-negara Barat dengan tujuan agar Barat tidak membela Israel secara membabibuta (the use of oil as a means by which a state directly influences another). Pada kasus yang pertama tidak banyak contoh yang spesifik politik kecuali informasi lama bagaimana negara-negara Eropa berlomba dengan Russia untuk memecah-belah Daulah Usmaniyah yang wilayahnya (negara-negara Arab sekarang) banyak mengandung minyak. Diplomasi mencari minyak, seperti juga bahan alam lainnya, masuk kedalam bagian besar diplomasi geopolitik seperti yang dilakukan Soviet dengan “politik air hangat” atau yang dilakukan AS dengan gunboat diplomacy-nya. Pada kasus diplomasi minyak yang berwujud embargo, konsekuensi embargo berhasil memaksa AS khususnya untuk membawa Israel ke perjanjian damai dengan Mesir di Camp David, Amerika.
Old Diplomacy
Adalah sebutan untuk era diplomasi Eropa mulai tahun 1500 sampai mulainya Perang Dunia I (1914). Karakteristik diplomasi lama adalah rahasia, tertutup, elitis (aristokratik), penuh tipudaya, bahkan cenderung menerapkan prinsip Machiavelli. Beberapa istilah lain sering muncul untuk menyebut era diplomasi lama ini, misalnya sebutan “diplomasi genderang dan terompet” ketika menyebut rivalitas Dinasti Habsburg (Austria) dengan Dinasti Bourbon (Perancis). Ada juga yang menyebut diplomasi Von Metternich dalam Konferensi Wina tahun 1811-1815 dengan sebutan “intrik-intrik gincu dan kamar hias.” Untuk bahan lebih banyak baca sejarah dan perang Eropa 1500-1914.
Open Diplomacy
Diplomasi Terbuka merupakan gagasan Presiden Amerika Woodrow Wilson untuk mencegah kembalinya praktek-praktek diplomasi lama jaman Eropa yang tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat. Diplomasi terbuka tidak mudah dilaksanakan karena persoalan teknis. Apabila dilakukan perundingan secara terbuka, mungkin akan terlalu banyak pihak yang ingin ikut campur dan dengan demikian meningkatkan resiko kegagalan. Apabila dalam perundingan tersebut dibicarakan hal-hal strategis, atau keamanan militer seperti misalnya berkait dengan jumlah peluru kendali (contohnya perundingan SALT, strategic arms limitation talks), maka dikuatirkan hal itu akan berdampak pada persoalan keamanan yang sangat serius karena pihak lawan menjadi tahu kekuatan militer sebuah negara. Lihat juga entry New Diplomacy.
Prestige Diplomacy
Diplomasi yang dijalankan sebuah negara untuk memperoleh prestis atau status dan atau penghormatan tertentu. Adalah normal apabila ada sebuah negara besar atau mempunyai potensi untuk menjadi sebuah negara besar, akan berusaha melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencerminkan sekaligus memperkenalkan potensinya kepada negara lain. Ini dikenal dengan istilah power projection. Cina, misalnya, tidak ingin diremehkan oleh Vietnam meskipun Vietnam bisa mengusir tentara Amerika keluar dari negara itu. Oleh karena itu ketika Vietnam membantu salah satu faksi di Kamboja, Cina kemudian aktif membantu Sihanouk, termasuk menggempur pasukan Vietnam di perbatasan dengan Cina dan mengatakannya “memberi pelajaran.” Indonesia sebagai negara yang berpotensi menjadi negara besar di Asia Tenggara, bahkan di Asia, juga tidak ingin dipandang sebelah mata dan lebih rendah dari beberapa negara Amerika Latin. Maka dari itu Indonesia berusaha keras untuk memperoleh prestis tertentu, seperti dengan menjadi ketua GNB dan sebagai “big brother” dalam sistem organisasi regional ASEAN yang sifatnya big-brother system. Indonesia juga sangat aktif untuk berinisiatif menjadi payung ASEAN seperti memfasilitasi perdamaian Kamboja, Moro, atau Laut Cina Selatan. Dengan peran seperti itu Indonesia memperoleh prestis yang tinggi. Lihat Diplomasi Beras.
Preventive diplomacy
Diplomasi yang dilakukan khususnya oleh negara-negara Dunia Ketiga untuk mencegah keterlibatan superpower atau negara-negara besar dalam sebuah konflik lokal atau regional dengan cara berusaha menyelesaikan sendiri persoalan ketegangan atau konflik regional tersebut. Contoh utama di Asia Tenggara adalah konflik Laut Cina Selatan (kepulauan Spratly atau persoalan garis batas terluar) yang melibatkan antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, bahkan Cina. ASEAN berusaha keras mencegah agar konflik tidak meruncing dengan keterlibatan aktif Cina, atau mungkin nanti negara besar lain mengingat Filipina masih punya pangkalan militer AS dan begitu pula Vietnam masih punya hubungan baik dengan Uni Soviet yang memanfaatkan pangkalan angkatan laut bekas milik AS di Teluk Cam Ranh. Untuk tujuan mencegah intervensi superpower tersebut ASEAN membentuk ARF (Asean Regional Forum) sebagai wadah konsultasi persoalan-persoalan keamanan agar bisa diselesaikan dengan “the ASEAN Way” alias cara ASEAN. Mencegah keterlibatan superpower atau negara besar lain dalam sebuah konflik sangat penting mengingat apabila ada keterlibatan mereka konflik akan meningkat intensitasnya, atau menjadi semakin sulit diselesaikan, dan bahkan semakin luas skala konfliknya.
Public diplomacy
Diplomasi Publik mempunyai pengertian sebagai upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara terhadap publik sendiri maupun masyarakat internasional untuk memperbaiki citra. Citra buruk yang diperoleh pemerintah Amerika dari kebijakan luar negerinya ke Timur Tengah (misal dengan munculnya istilah standar ganda atau unhonest broker), serta akibat yang dialami seperti diserangnya berbagai fasilitas, properti dan peralatan serta personil militer Amerika oleh “teroris” sampai pada runtuhnya gedung WTC September 2001, mendorong munculnya gagasan untuk memperbaiki citra tersebut. Meskipun diplomasi publik mempunyai dua arah yaitu publik dalam negeri serta publik internasional, yang lebih terkait dengan hubungan internasional adalah yang kedua. Pada saat Amerika “diserang” (karena sampai sekarang baru dugaan kepada) Usamah bin Ladin Presiden Bush berpidato mengucapkan kalimat—yang tentu saja kemudian diralat sebagai keseleo lidah—bahwa Amerika sedang mengalami “crusade” alias perang salib, sebuah konotasi perang agama, antara agama Amerika yang notabene Kristen Protestan dengan Islam. Kekeliruan inilah yang kemudian ingin diperbaiki dengan berbagai cara termasuk kalimat bahwa Amerika tidak memusuhi Islam, penerbitan berbagai media yang menggambarkan bahwa umat Islam baik-baik saja di negara paling demokratis di dunia itu, dan seterusnya. Informasi tentang Islam di Amerika atau kehidupan beragama di AS ini disebarluaskan melalui USIS (United States Information Service) ke negara-negara yang berkomunitas Muslim berupa film atau buku dan program-program TV seperti VOA (Voice of America).
Resource diplomacy
Mirip dengan oil diplomacy yang dijalankan untuk memperoleh sumberdaya baik alam maupun bahan mentah. Apabila ruang lingkupnya kita perluas, ia bisa mencakup diplomasi untuk memperoleh financial resources seperti yang dilakukan Indonesia, atau yang dilakukan para pemimpin negara lain untuk mengundang investasi asing. Bahkan pernah ada sebutan bahwa sesungguhnya seorang presiden atau perdana menteri adalah “the first salesperson” negaranya dalam pengertian seorang presiden atau PM harus menjadi orang pertama yang mampu ‘menjual’ negaranya agar negara lain tertarik, baik membeli produk, memasarkan produk, atau menanamkan modalnya. Presiden Soeharto begitu terpilih sebagai Ketua GNB berkeliling ke Eropa untuk menagih komitmen negara-negara Eropa dalam program ODA (Official Development Assistance) yang telah dijanjikan kepada negara-negara berkembang sebesar 0,7 persen dari GDP mereka namun baru direalisasikan sebesar 0,3 persen.
Reunion Diplomacy
Diplomasi Reuni. Lee Teng Hui, waktu itu Presiden Taiwan, mengalami kesulitan diplomatik apabila ingin melakukan kunjungan ke negara lain terutama ke Amerika mengingat masih adanya persoalan pengakuan satu Cina, yaitu bahwa yang diakui dan dengan demikian mempunyai hubungan diplomatik formal, adalah RRC. Dengan status sebagai kepala pemerintahan, sudah seharusnya ia memperoleh fasilitas seperti pengawalan dan courtesy VVIP (very very important person) misalnya ditemui langsung oleh presiden atau PM negara yang dikunjungi dan diterima di Gedung Putih atau Downing Street no. 10. Tetapi karena kesulitan formal tadi, maka Presiden Lee Teng-hui tidak bisa mengunjungi Amerika dengan status presiden. Meskipun demikian Presiden Lee tetap berkunjung ke Amerika, dengan menggunakan alasan berkunjung karena akan hadir dalam sebuah reuni mengingat ia adalah lulusan salah satu perguruan tinggi di AS. Meski kunjungan itu sempat menuai protes dari Cina, Lee Teng-hui ternyata diterima di Gedung Putih dan ditemui Presiden Bush. Diyakini bahwa sesungguhnya kunjungan Lee tidak sekedar untuk reuni, melainkan untuk berunding mengenai pembelian senjata dan permintaan kepada AS agar Taiwan diperkenankan mempunyai reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir karena tidak lama setelah kunjungan itu Gedung Putih mengeluarkan statemen persetujuan penjualan pesawat dan peluru kendali anti rudal kepada Taiwan serta penjajagan pembangunan reaktor nuklir. Hal yang mirip pernah diajukan Wakil Presiden Taiwan kepada Pemerintahan Megawati untuk tujuan liburan ke Bali. Hanya karena protes keras dari RRC maka pemerintah Indonesia tidak berani menerima kunjungan liburan tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih berani dengan memberi kesempatan pesawat kepresidenan Taiwan yang singgah pada tahun 2006 lalu untuk melakukan pengisian bahan bakar di Batam. Rumor yang muncul adalah Wapres Jusuf Kalla juga menemui tamunya.
Secret Diplomacy
Diplomasi rahasia. Yang dimaksud adalah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah satu negara dengan negara lain tanpa memberitahukan dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat sama sekali, alias dirahasiakan selamanya. Semua perjanjian antar negara pada jaman raja-raja di Eropa abad Pertengahan dibuat tanpa diberitahukan kepada rakyatnya mengingat pada waktu itu sistem pemerintahan di Eropa umumnya monarki absolut. Kalau saja Lenin dengan gerakan Bolshevik-nya tidak membuka arsip-arsip kerajaan Russia dan membeberkannya kepada rakyat, perjanjian tersebut tidak akan diketahui rakyat. Di sini, selain Woodrow Wilson, Lenin termasuk berjasa menjadikan diplomasi, khususnya perjanjian antar negara, menjadi harus diberitahukan kepada rakyat. Keburukan diplomasi rahasia terutama terletak pada akibatnya yang harus ditanggung oleh rakyat karena seringkali rakyat tidak tahu apa-apa ternyata tahu-tahu diserang oleh negara lain, atau negaranya harus ikut berperang.
Silent Diplomacy
Diplomasi diam-diam, nama lainnya quiet diplomacy. Berbeda dengan diplomasi rahasia, diplomasi ini sengaja dilakukan tanpa publikasi lebih dahulu, sampai pada tahap sedemikian rupa sehingga ketika sudah dirasa aman dalam mencapai kesepakatan, barulah hal ini dipublikasikan. Tidak dipublikasikannya upaya diplomatik ini dimaksudkan agar opini publik, khususnya dalam negeri, tidak merusak atau mungkin menggagalkan rencana pemerintah. Rencana Indonesia untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Cina dijajagi lebih dulu melalui pertemuan tanpa publikasi antara Presiden Soeharto dengan wakil pemerintah Cina saat pemakaman Kaisar Hirohito. Setelah semuanya matang, maka ketika normalisasi itu dilakukan, resistensi dalam negeri sudah tidak begitu berpengaruh pada proses. Seandainya proses ini dipublikasikan, dipastikan pemerintah Indonesia akan menuai protes dari umat Islam yang niscaya didukung kelompok militer yang mungkin bisa menggagalkan upaya normalisasi. Apabila diplomasi rahasia sama sekali tidak dipublikasikan baik proses maupun hasil akhirnya, maka diplomasi diam-diam hanya menghindari publikasi dalam prosesnya, tetapi apa yang kemudian menjadi kesepakatan akhir diketahui oleh masyarakat. Apabila demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang normal, bisa saja normalisasi itu ditolak dengan tidak diratifikasi oleh DPR. Tetapi karena DPR Orde Baru sekedar ‘bantalan stempel’ kebijakan pemerintah, maka seandainya ada penolakan pun tidak akan membatalkan perjanjian tersebut. Contoh terbaru adalah perjanjian kerjasama militer dengan Singapura melalui DCA (Defence Cooperation Agreement). Ketika penolakan di dalam negeri demikian kerasnya, DCA tidak segera diajukan ke DPR untuk diratifikasi. Sangat mungkin pemerintah menunggu agar situasi mendingin sehingga hiruk-pikuk penolakan terhadap DCA bisa dibuat minimal. Namun cara seperti ini sesungguhnya licik karena pemerintah tetap tidak membatalkan DCA.
Shopkeeper Diplomacy
Diplomasi Penjaga Toko. Ini adalah diplomasi yang dilakukan Perancis dalam masa rivalitas dengan Inggris pada abad ke-18 dengan berkonsentrasi pada persoalan-persoalan Perancis di benua Eropa mengingat pentingnya Eropa bagi eksistensi Perancis. Karena itu Perancis melepaskan urusan dan keterlibatannya di Amerika khususnya mengingat akan besarnya biaya yang harus ditanggung apabila ia berperang dengan Inggris di benua baru itu.
Soft Diplomacy
Merupakan istilah yang berkembang sebagai modifikasi dari diplomasi budaya. Soft diplomacy lebih ditujukan pada pengertian diplomasi yang digunakan Jepang dengan menggunakan budaya sebagai sarana mempengaruhi negara lain untuk meningkatkan citra Jepang. Komik Jepang yang dikenal dengan nama manga, film-film kartun seperti doraemon, atau animasi (populer dengan sebutan anime) seperti Pokemon menghasilkan apresiasi luar biasa terhadap Jepang. Orang tidak alergi lagi dengan budaya Jepang, tidak lagi dominan anggapan bahwa Jepang adalah bangsa yang kejam, rakus dalam hal ekonomi (economic animal), dan lain-lain. Bagi Jepang soft diplomacy penting karena umumnya film-film AS mencitrakan sisi negatif Jepang melalui cerita kerakusan pengusaha Jepang sebagaimana bisa dilihat dalam film The Rising Sun, Robocop, atau Aliens. Dalam perkembangan selanjutnya soft diplomacy juga diterapkan pada upaya Taiwan untuk bisa menjalin hubungan dengan masyarakat internasional meskipun hanya ada satu pengakuan formal bagi Cina. Apabila soft diplomacy juga dikaitkan dengan populernya istilah soft power belakangan ini maka orang akan mengagumi kekuatan pengaruh soft power. Banyak orang dari berbagai belahan dunia sempat memimpikan AS sebagai negara yang mereka kagumi, dengan “American way of life” yang ingin mereka tiru, serta semangat Amerika yang mereka ingin punyai. Banyak orang ingin sekolah di AS, atau menikmati kehidupan ala Amerika, dan menyukai berbagai produk AS, baik teknologi maupun budaya. Namun seiring dengan makin seringnya AS menggunakan kekuatan militer pada masa pasca Perang Dingin (dan ini aneh), kekaguman terhadap AS semakin berkurang dan lama kelamaan berubah mejadi ketidaksukaan dan akhirnya kebencian. Ketika AS “diserang Usama bin Laden”, satu pertanyaan yang mereka lontarkan adalah “why do they hate us?”
Technology Dilomacy
Diplomasi Teknologi. Pengertian ini lebih merujuk kepada upaya yang dilakukan oleh negara-negara maju teknologi untuk mempengaruhi negara lain agar mau menggunakan teknologi yang mereka kuasai. Pada awalnya adalah teknologi militer yang ingin dijual kepada negara lain oleh beberapa negara yang bersaing yaitu AS, Soviet, dan Perancis. Untuk menjual pesawat tempur dan atau perlengkapannya seperti peluru kendali, misalnya, masing-masing melakukan kunjungan kepada negara yang punya potensi membeli. Upaya ini bisa juga menggunakan sarana berupa parade militer, pameran produk pertahanan, atau undangan resmi untuk menyaksikan uji coba produk militer. Bahkan sebuah analisis mengatakan bahwa sesungguhnya kalau salah satu superpower (waktu itu) terlibat dan menyeponsori peperangan, maka perang itu hanya untuk mengujicoba senjata baru dalam perang nyata. Ini bisa dibuktikan dari bagaimana Amerika menyuplai rudal tenteng (portable) Stinger kepada gerilyawan Mujahidin Afghanistan untuk menjatuhkan pesawat-pesawat Soviet. Begitu pula penggunaan rudal jelajah AS Tomahawk untuk membom Libya, pesawat siluman F-117 Black Hawk yang berhasil ditembak jatuh di Yugoslavia, bom superbesar yang disebut MALB (mother of all bomb) yang digunakan di Afghanistan untuk meruntuhkan gua-gua tempat persembunyian pasukan Taliban, dan daftar panjang contoh lain, merupakan upaya menjual teknologi. Maka ketika pesawat Super Etendard Argentina menggunakan rudal Exocet Perancis berhasil menenggelamkan kapal Inggris di Malvinas, rudal Exocet dikagumi dan angka penjualannya naik. Sekarang teknologi tinggi bergeser ke teknologi sipil mulai dari teknologi informasi sampai pada rekayasa genetika. Kasus bagaimana MNC Inggris Monsanto menyuap beberapa pejabat Indonesia agar mengijinkan penanaman kapas transgenik merupakan salah satu contoh bagaimana diplomasi teknologi sekarang lebih banyak merambah ke low politics.
Weird diplomacy
Diplomasi yang aneh. Maksudnya adalah, pada jaman di mana kemajuan teknologi sudah demikian pesat, atau di saat kemampuan akademis para diplomat yang sudah semakin mumpuni, atau di mana ada situasi yang demikian krusial yang harus segera diambil keputusan, diplomasi masih ternyata masih tergantung pada the chief diplomat alias kepala pemerintahan. Insiden penembakan di Santa Cruz Timor Timur pada tahun 1991 menunjukkan betapa “aneh” pola diplomasi Indonesia. Dengan situasi yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan, ternyata tugas menjelaskan insiden tersebut dan persoalan Timtim pada umumnya hanya diserahkan kepada Menlu Ali Alatas yang harus berkeliling dunia. Ini aneh karena sesungguhnya tugas Duta Besar dan korps diplomatik terkait di satu negara adalah termasuk memberi informasi kepada negara yang ditempati. Akibat yang cukup serius bagi para diplomat adalah, mereka hanya akan bekerja apa bila ada instruksi dan sebaliknya takut melakukan satu insiatif tertentu karena kuatir dipersalahkan dan kehilangan jabatan, bahkan karir di dunia diplomatik.
Wired Diplomacy
Wired bisa berarti dikirimi wire (telegram) atau diikat kawat seperti boneka dalam pertunjukan seni boneka Eropa. Dengan pengertian pertama berarti diplomat sangat tergantung pada perintah atasan dan hanya sekedar menyuarakan apa yang diperintahkan atasan melalui telegram. Akibatnya diplomat tak lebih adalah petugas lapangan yang tidak punya inisiatif dan bahkan takut membuat keputusan karena kuatir akan tidak sesuai dengan keinginan pejabat di atas, alias pejabat di negaranya sendiri. Apalagi kalau pejabat tertingginya militer dan downlines-nya juga militer atau pensiunan militer. Jadi semuanya serba atas petunjuk. Dalam pengertian kedua, pejabat diplomatik melakukan tindakan seperti telah disebutkan namun bukan sekedar karena perintah tetapi kalau pun ada diplomat yang mampu atau pandai tetap tidak diperbolehkan melakukan inisiatif pribadi.
SUMBER ARTIKEL:
- [1] http://www.wsu.edu:8080/~wldciv/world_civ_reader/world_civ_reader_1/arthashastra.html
- [2] Beberapa karya tentang Coercive Diplomacy misalnya pernah ditulis oleh Stephen S. Kaplan yang membuat daftar diplomasi paksaan yang dilakukan Uni Soviet. Sumber-sumber internet juga menyediakan informasi yang dilakukan AS
- [3] Harian sore Wawasan, 2 Januari 2005.
- [4] Banyak tulisan tentang lobby Yahudi, misalnya karya Paul Findley, Mereka Berani Bicara (Bandung: Mizan, 1993), atau Edward Tivnan, The Lobby:
Post A Comment:
0 comments: